Tiga Puluh

164K 16.5K 3.2K
                                    

"Ma! Papa bukan sakit biasa!" kesal Aidan saat ucapannya persoalan penyakit yang diderita Reyhan, tidak mendapatkan tanggapan apapun dari Meli mamanya. Meli nampak acuh dengan kabar buruk yang baru saja disampaikan putranya. Wanita itu sibuk menggeser layar ponsel dengan jari telunjuknya.

"Terus?"

"Mama masih punya hati, kan? Papa udah parah. Papa butuh biaya," ujar Aidan.

Meli meletakan ponsel miliknya di meja makan. Satu tangannya meraih apel dan yang satunya meraih pisau.

"Biaya? Maksudnya kamu mau minta buat biayayain papa kamu? Dalam mimpi pun nggak akan mana lakuin," ujar Meli setelah mengunyah irisan apel di tangannya.

"Ma!"

"Apa? Bisa nggak, sedikit aja punya rasa kasihan sama papa?! Mama ingat nggak kalau papa nyerahin diri buat menutup kasus korupsi yang mama lakukan. Sekarang apa balasan mama?!" geram Aidan.

Rasa kecewa dan marah mendominasi diri Aidan. Bagaimana bisa mamanya setega itu pada papanya setelah begitu besar pengorbanan yang sudah dilakukan.

Masih terekam dengan jelas bagaimana seorang Reyhan yang begitu mencintai istri dan anaknya. Bahkan sosok Reyhan rela mendekam dibalik jeruji besi selama delapan tahun demi menutup kasus penggelapan uang perusahaan yang dilakukan oleh istrinya. Delapan tahun bukanlah waktu yang singkat untuk dihabiskan di sangkar besi itu.

"Mama nggak pernah nyuruh papa kamu buat gantiin mama. Papa kamu aja yang terlalu bodoh. Berhenti meminta mama buat peduli sama papa kamu. Diantara mama sama papa udah nggak ada hubungan apapun. Kamu udah dewasa. Harusnya kamu mengerti."

"Ma, apa perlu Aidan sujud di hadapan mama agar mama mau bantu papa? Aidan akan lakukan apapun buat papa. Kalau bukan mama, ke siapa lagi Aidan harus minta ma?" ucap Aidan lirih. Cowok itu sudah menekuk kedua lututnya di samping Meli. Mendongkak menatap penuh harapan pada mamanya agar mau membantu.

"Jangan paksa mama. Mama nggak bisa. Sekali nggak bisa tetap nggak bisa."

Meli berdiri meninggalkan ruang makan. Perdebatan dengan putranya ia anggap sudah selesai dengan keputusan bulatnya yang tidak akan membantu suntikan dana sepeserpun pada mantan suaminya.

Kedua tangan Aidan terkepal kuat. Cowok itu berdiri menatap ke arah meja makan. Matanya sudah memerah dan berkaca-kaca. Dengan amarah yang semakin membara di dada, Aidan menyapukan kedua tangannya membuat apapun yang ada di meja makan terlempar jauh dan berakhir mengenaskan di lantai. Benda-benda yang terbuat dari beling, pecah berserakan di lantai.

Pikiran Aidan buntu. Ia tidak tahu lagi harus meminta bantuan dana ke siapa selain mamanya. Tabungannya tidak akan cukup untuk membayar pengobatan. Mungkin tabungannya hanya cukup untuk memenuhi keperluan pangan saja.

***

Dan saat inilah Aidan merasa sendiri. Dua sahabat terbaiknya, Raffa dan Juna sudah mulai menjaga jarak dengannya. Komunikasi antara mereka juga sudah merenggang. Apalagi kebersamaannya. Tidak ada lagi tiga sekawan yang selalu bersama saat di kantin. Tidak ada lagi tiga sekawan yang menjadi penghibur di kafe saat malam hari.

Mereka bertiga berjalan masing-masing. Raffa yang nampak semakin dekat dengan Angel. Juna yang semakin lengket dengan Fika. Dan Aidan yang terlihat selalu sendirian tanpa siapapun termasuk Raisya.

Aidan mengernyitkan dahi hingga membentuk lipatan jelas di dahinya saat banyak pasang mata yang menatap aneh ke arahnya. Seolah Aidan adalah mahasiswa yang asing di antara mereka.

Beberapa mahasiswi yang kebetulan berpapasan dengannya pun memilih menepi, menjaga jarak dengannya.

Dalam hati, Aidan mulai bertanya-tanya. Apa yang terjadi? Adakah yang aneh darinya? Aidan rasa penampilannya tidaklah aneh. Celana jeans panjang yang robek di bagian lutut. Kaus hitam berlengan pendek. Penampilan yang wajar untuk seorang Aidan.

The Lady KillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang