Dua puluh sembilan

160K 16.8K 8.8K
                                    

"Jun! Temenin gue. Hari ini bokap gue bebas dari penjara. Gue mau jemput. Lo temenin gue, bisa?" pinta Aidan pada Juna yang masih duduk di atas motornya.

Cowok berkacamata minus di samping Aidan, membenarkan letak kacamatanya.

"Gue mau aja sih. Tapi gue udah ada janji sama Fika. Lo tahu sendiri sekarang Fika gimana semenjak kejadian di kantin sama Angel. Lo ngerti, kan?"

Hati Aidan mencelos. Juna menolak ajakannya secara halus. Cowok itu menghela napas berat.

"Gue ngerti."

"Mungkin Raffa bisa nemenin," usul Juna.

"Gue bisa sendiri kok. Raffa sibuk sama mantan gue," sahut Aidan ketus.

Aidan meraih helm miliknya. Untuk beberapa detik tubuhnya mematung dengan pandangan lurus ke depan. Juna yang penasaran, mengikuti arah pandang Aidan. Ternyata fokus Aidan terpatri pada Raffa dan Angel mantan kekasihnya yang tengah duduk berduaan di bangku taman. Nampak senyum Angel mengembang sempurna saat Raffa memetik senar gitar yang dipangkunya.

"Apa yang udah lo lepas, bukan lagi milik lo. Karena Lo bukan pemiliknya, maka lo nggak ada hak lagi," ucap Juna menepuk bahu Aidan cukup keras. Telapak tangan Juna yang masih bertumpu di bahunya, ditepis kuat oleh Aidan.

Cowok itu segera mengenakan helm dan melajukan motornya.

Remuk sudah hati Aidan. Bukan hanya kehilangan Angel, ia juga kehilangan sahabat terbaiknya Raffa. Secara keras, Raffa sudah terlihat jelas menjauhi Aidan. Tidak ada lagi Raffa diantara Aidan dan Juna. Bahkan Juna sudah mulai memperkikis tali sahabat.

Marah dengan keadaan yang menyiksanya, Aidan membelah jalanan dengan kecepatan penuh. Tidak peduli maut yang bisa saja menjemput saat ngebut seperti saat ini.

Sekelebat ingatan tentang papanya muncul. Tubuh yang dulunya gagah tegap berisi, kini semakin kurus. Sorot matanya pun semakin meredup. Pundak kanan kiri terlihat begitu terbebani. Saat mengingat papanya, Aidan memelankan laju motornya.

Masih ada papa yang membutuhkannya.

Menarik napas dalam-dalam, Aidan meyakinkan hati untuk tetap tegar dikala Tuhan mungkin sedang mungkar dan memberikan pelajaran untuknya.

***

Aidan nyaris menjatuhkan air matanya saat melihat tubuh Reyhan ayahnya yang semakin terlihat rapuh. Delapan tahun mendekam di balik jeruji besi memberikan dampak luar biasa bagi tubuh pria itu.

Tubuh Aidan bergetar saat memeluk Reyhan. Rasa bahagia bercampur duka berkecamuk di hatinya. Bahagia saat akhirnya Reyhan bisa terbebas dari penjara. Dan duka saat Aidan tahu jika gagal ginjal yang diderita oleh papanya semakin parah.

"Gimana kabar kamu, Dan? Sehat?" tanya Reyhan pada putra tunggalnya.

"Aidan sehat pa. Maafin Aidan nggak jenguk papa belakangan ini," sesal Aidan.

Larangan keras dari mamanya dan kesibukan yang terus saja menyita waktu membuat Aidan tidak bisa mengunjungi Reyhan untuk jangka waktu yang lumayan lama.

"Nggak papa. Mulai hari ini kamu nggak perlu jauh-jauh datang ke sini buat ketemu papa."

Dalam hati Aidan bangga pada papanya. Seberat apapun masalah yang tengah pria itu pikul, pria itu tetap menunjukkan senyum pada orang lain. Senyum menyembunyikan luka yang ingin dipendam sendiri.

"Papa pulang ke rumah mama. Nanti biar Aidan yang----"

"Nggak Dan. Kamu udah dewasa, kamu pasti ngerti kan tanpa papa kasih tahu."

"Tapi papa mau tinggal dimana? Rumah lama kita sudah dijual sama mama."

Reyhan diam sesaat. Pandangannya menatap ke arah langit. Dalam hati ia mulai bertanya-tanya. Mungkinkah langit akan menjadi atap rumahnya?

The Lady KillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang