Recruitment

2K 19 0
                                    

SESUM

Tema : Agen Ganda
Genre : Misteri, Action (ditambah Thriller)
Keyword : pengkhianat, akting, tampon
.
.
“Aah, kau nikmat sekali, Kezia.”
Dengkur pria gendut botak itu penuh syahwat. Ia memainkan bongkah kenyal sang wanita yang sedang menunggangnya. Dengan posisi tak berhadapan—cowgirl, wanita itu memutar bola mata bosan. Kelamin lelaki gendut ini kecil, sedari tadi belum masturbasi. Bohong jika ada yang berkata lelaki Arab kelaminnya pasti besar. Nyatanya lelaki ini ukuran di bawah rata-rata, tak berbulu lebat pula. Lelaki itu tetap berdusta dengan menggunakan kata-kata kotor, berbeda dengan kelaminnya yang ciut seakan tak ereksi.
Berbeda dengan isi hatinya, Kezia tetap mempertahankan akting. Ia mendesah, menggeliat, dan menaikturunkan tubuh sekalnya. “Ka-kau juga nikmat, Om .... Apakah aku lebih nikmat dari istrimu?”
‘Tentu, tentu! Kau—hnnh, begitu ... ahh, nikmat. Lebih kencang lagi!”
Menyembunyikan seringai, wanita berambut gelombang cokelat itu pun semakin mempercepat gerakan. Masa bodoh jika lelaki ini sama sekali tak buatnya puas, yang penting dompetnya gemuk dan keras.
Ketika lelaki itu bergemetar dan mencengkeram pahanya, tanda ia telah mengeluarkan mani, Kezia pun mendesah lega. Ia segera beranjak dari ranjang. Mengipasi diri dengan kibasan tangan, lalu mengikat rambutnya yang tergerai, ia pun berjalan tenang ke arah kamar mandi. Lelaki itu masihlah telentang di ranjang, efek kepuasan yang telah ia dapati.
Saat kembali dari kamar mandi, Kezia mengernyit ketika lihat lelaki itu masih dengan posisinya semula. Kondom masih di kelamin kecil, peluh membanjiri tubuh gemuk. Bekas mani yang mengumpul di ujung kondom, buatnya jijik hingga berjengit.
“Om, kondomnya tidak dilepas?”
“A-Ane masih lemas, Baby. Kamu yang nakal. Kenapa tinggalin ane sendirian? Tahu enggak ane butuh apa?” keluhnya manja.
“Butuh apa memangnya?”
“Butuh kesaktian mandraguna yang buat hati juga rindu ane melanda kala andromeda mengarungi cinta.”
Kezia tersenyum manis.
Mengabaikan omongan absurd om-om aneh, ia pun mendekatinya, meraba ujung kaki hingga pangkal paha dengan jemari lentik. Kemudian menyentil kelamin sambil mengembus napas geli. Dikecupnya pelan, hingga lelaki itu kembali bergairah. Senyum tak tanggal dari bibir bergincu merah.
‘Babi kampret,’ pikirnya. Namun senyum tetap tergaris di paras cantik sang wanita jalang.
“Daddy .... Daddy, ‘kan, tahu gimana sibuknya Kezia. Hari ini aku bisa temani sampai jam segini aja. Minggu depan Daddy mau ketemu Kezia lagi, ‘kan?”
Anggukkan bak anak kecil ditunjukkan sang pria. Jemari gembulnya tak kuasa untuk tak menggerayangi dada besar Kezia. “A-ane mau lagi sama kamu.”
‘Dan jangan lupa tinggalkan istrimu’. Kezia tetap tersenyum dengan mata menyipit.
“Om Fantum pintaarr ...,” Kezia bersenandung. Ia melepas kondom dan membuangnya di lantai. Disentuhnya lagi kelamin lelaki hingga ia mendesah. Menaikturunkan jemari lentik hingga sang pria melenguh nikmat dan menggoyangkan pinggulnya berlawanan dengan gerakan tangan. Kecupan demi kecupan diberikan hingga liur lelaki itu mengaliri pipi juga dagu berlipat. Ketika mani kembali keluar, Kezia pun mengecup bibir dan meninggalkannya di ranjang.
Mencuci tangan di wastafel, ia pun memakai bra juga celana dalam berenda hitam. Gaun sepaha dipakainya secepat kilat, tak lupa mengambil tas juga ponselnya. Ia melepas ikatan rambut dan menggerai rambut cokelatnya. Bau white musk pemberian Fantum menyerbak di ruang hotel VIP.
“Bye, bye, Om! Jangan lupa transfer, ya!”
Ketika pintu ditutup, paras cantik berubah datar. Ia menyibakkan rambutnya, lalu berjalan ke arah pintu ke luar. Sepuluh menit ia harus tiba di peron 6, ia harus buru-buru untuk bertemu klien di Shortdown. Ketika ia melangkah melewati kawanan pemuda juga pria di dekat tangga, semua mata tertuju padanya.
Tak ada lelaki yang tidak melihat dirinya.
Berbeda dengan tampilan bak primadona, dirinya adalah seorang pelacur kelas kakap. Menggoda tak sembarang orang, ia hanya fokus pada lelaki beristri juga beruang. Menyukai akan reaksi istri ataupun keluarga sang suami hingga menangis penuh derita. Mengambil hak milik hingga mangsanya hidup terlunta-lunta bak pengemis jalanan. Dia adalah pelakor—jika mau sebutan dirinya yang lebih pas.
Sialnya, hari ini bukanlah hari baik untuk Kezia.
“Hai, Nona. Jalan sendirian?”
Lelaki berambut cepak hitam menyapanya di jalan. Perawakannya rapi, terlalu rapi untuk seseorang yang senyumnya bak hidung belang. Kezia menatapnya atas bawah. Bukan tipenya, juga tidak tahu apakah ia memiliki istri atau tidak. Namun ia pernah melihatnya entah di mana. Uh, oh, lelaki hidung belang tentu banyak ia temui, bukan?
Maka dilewatinya, berjalan pongah meninggalkan lelaki yang masih menyengir lebar. “Oh, oh, oh, Nona Manis meninggalkanku?” Ia masih mengejar dengan tungkainya yang panjang.
Oh, bagus sekali. Pagi hari setelah bergulat dengan om gendut botak, sekarang dengan lelaki hidung belang. Kezia masih mempercepat langkahnya. Mengabaikan derap langkah tenang yang mengikuti dari belakang. Berdecak kesal, ia pun segera berbelok ke arah minimarket terdekat. Ia mendekati rak tengah, sengaja memilih tempat yang pastinya buat pria tak nyaman.
Bukannya pergi, lelaki itu justru mendekati dirinya yang sedang memilih pembalut wanita.
“Aku sarankan jangan pakai pembalut biasa. Pakailah tampon,” ujarnya sambil menunjuk produk tampon di sebelah kanan. Kezia mengernyit, menyipit memandang lelaki yang tersenyum kecil.
“Apa maksudmu?”
Didekatkannya wajah tampan ke telinga Kezia, lalu dibisiki dengan suara mendayu pelan, “Karena tampon seperti penis yang menancap lama di dalam kelamin perempuan gatal.”
Ditamparnya wajah itu namun sungguh sial lelaki itu lebih cepat berkilat. Lelaki itu menangkap lengan kecil Kezia, lalu mencengkeram kuat. Senyum tak meninggalkan paras tampannya. Ia masih bersikap selayaknya memainkan seorang gadis mungil tak berdosa.
“Berlaku kasar, Nona? Apa kau tak tahu wajah rupawan ini begitu digilai wanita dan pria?”
Kezia mendesis, “Mana kutahu, Berengsek. Jika kau tak lepas tanganku, aku akan menjeri—”
“Kezia Raisya, saudari dari Alice, sang mata-mata, bukan?”
Sontak, wanita itu terdiam. Gelagat aneh ia tahan, tatap bengis kembali ia perlihatkan. “Oh, kau stalker ternyata?”
“Lebih baik stalker dibanding mata-mata.” Senyum tak terlepas dari bibir sang pria. Mata cokelat kehitaman menusuk tajam, bagai menelusup ke rahasia terdalam. “Stalker hanya menguntit demi kepuasan pribadi, mata-mata menguntit demi kepuasan organisasi. Ah, bisa dibilang ... stalker untuk masturbasi, mata-mata untuk bukkake. Tahu bukkake? Hujan mani di tubuh objek masturbasi.”
“Mulut kotor! Otak kotor! Pergi, Bedebah!” Kezia mencoba melepaskan tangan, namun percuma.
“Akuh kothor, kamu penuh dosyah. Aw, jangan keras-keras, Nona. Kau mau tangan mungilmu ini patah?”  
“Aku akan menjerit—TOL—”
“Sssshh. Nona, sekalipun kau menjerit, aku rasa bawahanku justru akan menyerangmu segera. Kau benar-benar tak tahu aku? Wow, kakak seorang mata-mata tapi tak tahu apa yang diincar adiknya? Apa kau hanya berpatokan pada laporan adikmu belaka? Menggelikan.”
“Bukan urusanmu, Biadab. Memangnya lelaki hidung belang sepertimu punya bawahan?!”
Dengan senyum merendahkan, lelaki itu menegakkan punggungnya. Ia mengedarkan pandangan, lalu mengangkat tangan yang tak mencengkeram. Tak lama kemudian, orang di sekitar minimarket seluruhnya menatap ke arah mereka berdua. Ibu-ibu menggendong bayi, bapak dengan remaja, pegawai kasir, kakek-kakek yang membungkuk—semuanya terdiam dan menatap kaku selayaknya boneka lilin.
Kezia membelalakkan mata.
Bahkan orang di luar minimarket pun melirik ke arah dalam menembus kaca. Semuanya diam mengamati gerakan dirinya juga sang lelaki jahanam. Dia terpojok. Tak ada jalan keluar. Keringat dingin mengalir di leher, kepalan tangan basah. Namun, ia bukanlah wanita yang gampang menyerah.
Tungkai jenjangnya ia tendang ke arah selangkangan sang pria. Cengkeraman terlepas, Kezia lari sekuat tenaga. Beberapa tangan menangkapnya namun ia pukul dengan tas kecilnya. Kaki tertahan, ditendang hingga lawan tersungkur. Ia menubruk orang yang berdiri di depan pintu, sengaja mendorong hingga beberapa orang awam berteriak. Dengan sigap, beberapa orang bawahan telah berlari mengejar, meninggalkan bos yang sedang membungkuk sambil mengelus selangkangan.
“Duh, aduh, nyaris saja adikku tertendang,” lelaki itu terkekeh geli. Pria yang menyamar menjadi petugas kasir, mendekatinya yang menyengir lebar.
“Kau tak apa, Vyn? Bisa berdiri? Adikmu masih bisa menegak?” Pria itu berkomentar.
“Sialan kau, Sius. Dean kuberi nutrisi apa kalau adikku tidak bisa tegak?”
“Salah sendiri malah memainkan incaran. Madam tidak mau mendengar incaran terlepas, bukan?” Sius mendengkus, menggeleng-geleng.
“Kupikir ia sama dengan adiknya, putri lemah. Nyatanya ia memang lebih galak—walau galak di mulut saja.”
“Si Gendut Botak sudah kauurus?”
Vyn bersedekap, “Kau masih bertanya hal sekecil itu? Aku ini Panglima Tempur Mafia ‘Ranjang Ternoda’. Menghadapi informan kutil seperti itu mana mungkin aku gagal.”
“Yah, siapa tahu berkat Dean kau jadi beg—”
Dengungan ponsel pintar membuat Vyn memutus pembicaraannya dengan Sius. Ia tekan tombol di ponsel, lalu mendengar gemeresak di seberang telepon. “—lo? Vyn?”
Alis hitam Vyn terangkat. “Buttplug? Ada apa?”
“Kau sudah menyelesaikan tugas Madam?”
Vyn menyipitkan mata. “Sebentar lagi.”
“Fuh, aku, si Agen Ganda saja bisa menyelesaikan dengan cepat dan akurat. Kau belum juga, heh, Titit Hamster? Kaisar memujiku, kauta—”
Pip. Sambungan ia matikan.
“Ketapel juga, nih, Buttplug Sialan.”
Mengabaikan kekesalan sebab agen tak faedah, Vyn pun berjalan ke arah pintu keluar, melambaikan tangan ke pegawai kasir yang menggeleng kepala. Ia pun tak mengacuhkan beberapa pandangan aneh orang awam kepada pemuda juga bawahannya yang kini menapak dengan satu tujuan.
Menangkap tikus got yang nakal.
.
Napas Kezia terengah-engah. Ia berlari ke arah peron stasiun, tanpa berani melihat ke belakang. Ia tahu lelaki itu pasti menyuruh bawahan untuk mengejarnya. Tapi tak masalah. Ia biasa berkelit jika ada istri atau anak yang menuduhnya sebagai selingkuhan. Dikejar lelaki hidung belang dan antek-anteknya pun pasti sama.
Ia tidak apa-apa. Ia tidak apa-apa. Kezia merapal doa dalam hati.
Ia kembali berlari ke arah kerumunan. Setidaknya para antek itu pun akan kesulitan mencari dirinya yang bersembunyi di antara banyak orang. Kereta menuju Shortdown akan tiba dalam waktu 5 menit. Baginya 1 menit pun terasa 1 jam. Ia mengetukkan hak, kentara panik jika ia tertangkap oleh para antek sialan.
Bagaimana bisa lelaki itu tahu adik dan pekerjaannya?
Adiknya memang lebih dulu masuk ke dalam organisasi yang diketuai Mother. Ia hanya mengikuti atas saran sang adik yang meminta kerjasamanya untuk memata-matai. Para lelaki yang ia mangsa adalah sumber informasi bagi organisasi. Walau memang, pelakor itu sendiri juga kesenangan pribadi. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.
Ia dan adiknya satu profesi. Bedanya, ia dikhususkan untuk lelaki beristri, adiknya menyusup ke dalam sebagai gadis polos yang butuh diayomi. Pesona keduanya tentu sangatlah berbeda. Tak heran adiknya bisa memikat hati lelaki di organisasi sana, bahkan hingga ke jenjang pernikahan. Banyak informasi yang telah didapat oleh sang adik yang polos juga ramah. Bukan rahasia jika Mother begitu sayang pada sang adik ketimbang dirinya.
Fuh, tak masalah.
Kezia bukanlah wanita yang membutuhkan belaian dan jilatan dari Mother. Ialah wanita tangguh yang bisa berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Ia adalah ia, adiknya adalah adiknya. Dikulumnya senyum kecil yang terpatri di paras cantik. Ia ketahui sekarang bukanlah saat yang tepat untuk memikirkan sang adik.
Kezia merunduk ketika lihat seorang pria yang mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia pun berjalan menelusup, menghindar dari tatapan pria yang kini berbalik arah.
Tak berselang lama, kereta datang. Buru-buru, Kezia menaiki dan berjalan ke tempat ramai. Menemukan tempat duduk yang kosong, ia segera mendudukinya dan menghela napas panjang. Ia pun mencari ponsel di tas kecilnya, ingin bertanya pada adiknya mengena—
“Sudah petak umpatnya, Nona?”
Tubuh Kezia seperti diguyur air dingin. Sontak ia mendongak. Lelaki itu—lelaki berengsek itu kembali hadir tepat di depannya. Dengan topi hitam juga jaket—berbeda dengan tampilan sebelumnya yang memakai jas, ia menyengir lebar.
Sejak kapan ia ada di dalam kereta?!
“Kau pasti bingung, bukan, Nona? Tak mengapa, aku selalu mengerti hati wanita yang bingung akan cintanya yang tertambat. Sayangnya, perlu kusampaikan ... kalau hati ini sudah ada yang punya.” Kedipan nakal buat Kezia meringis jijik.
Buru-buru ia berdiri dari tempat duduknya. Namun mendadak lengan kecilnya digenggam erat oleh ibu bertubuh gemuk di kanan, juga gadis remaja di kiri. Mata Kezia membelalak panik saat pintu kereta tertutup. Lagi, seluruh lelaki perempuan yang berada dalam gerbong, menatap dirinya juga sang lelaki dengan tatapan bak manusia lilin.
Kereta meninggalkan peron stasiun dalam hitungan detik. Sama seperti nyawa Kezia yang bisa menghilang dalam hitungan menit.
Keringat dingin mengucur dari balik lehernya. Ia menahan agar giginya tak bergeremetuk panik. Diambil lalu diembusnya napas pelan untuk menenangkan jiwa. Jika ia tak salah duga, mungkinkah lelaki dan para anteknya adalah orang dari organisasi yang adiknya susup? Bukankah organisasi itu hanya kumpulan manusia tak berguna yang hidup di kalangan kumuh?! Lalu mengapa—
“Apa—apa kalian dari Kelompok Ranjang Ternoda ...?”
Alis hitam Vyn terangkat penuh antusias. “Aaah! Akhirnya kautahu juga! Aku bingung kenapa dirimu sama sekali tidak tahu posisi kami padahal kau dari organisasi adikmu.”
Kezia mengabaikan rentetan omongan tak penting. Ia menelan ludah, kembali mengulur waktu kematian. “U-Untuk apa kau ingin menangkapku? Membunuhku? A-ata—”
“Oh, tenanglah, Nona. Kenapa kau bergemetar? Apa keadaan sesak ini buatmu gugup? Baiklah,” Vyn menjentikkan jari, “kuberikan waktu dan tempat khusus untuk kita berdua.”
Orang-orang meninggalkan tempat hingga menyisakan Vyn dan Kezia di satu gerbong kereta. Lelaki itu pun duduk di sebelah wanita yang kini duduk memberi jarak. Mata cokelat sang wanita memeriksa ke arah dua pintu. Keduanya sama-sama dijaga, satu-satunya jalan keluar hanyalah jendela di belakang tubuhnya. Yang tentu saja sangat tidak mungkin ia lewati hanya untuk menjauhi si Lelaki Hidung Belang.
“Apa maumu?” Kezia kembali bertanya, setelah mencoba mengatur napas.
“Hmm. Aku tak suka berbasa-basi ... jadi, lebih baik langsung kutunjukkan saja bukti ini.”
“Bukti?”
Vyn mengeluarkan ponsel pintarnya, lalu menggeser layar. Tak lama kemudian ia memperlihatkan sebuah gambar yang ia perbesar hingga buat Kezia membelalak.
“Alice!!”
Disambarnya ponsel namun tak sempat karena lelaki itu segera menjauhkan dari genggaman. Kezia menatap nyalang. Ia masih mencoba menarik lengan lelaki yang lebih besar darinya. Kesal tak bisa raih, ia pun menjerit, “Apa yang kalian lakukan pada Alice!!”
“Menghukum anak nakal.”
“Menghukum!? Dia—dia ... oh, Tuhan! Kalian biadab!”
Vyn melebarkan senyuman, mendekatkan parasnya tepat di depan wajah Kezia hingga berjengit ketakutan. “Aku heran kau masih punya simpati padanya, Nona Kezia.”
“A-Apa?!”
“Ooh? Bukankah kau yang paling tak menyukai keberadaan sang gadis polos? Bukankah kau yang ingin menggeser posisinya? Bukankah kau yang justru sekarang senang di atas penderitaan adik kandungmu sendiri?”
“TIDAK! Apa maksudm—”
“Hm, aku tahu kalian lebih menyukai kebohongan manis dibanding kenyataan pahit. Saling menjilat satu sama lain hanya demi kepuasan pribadi. Tapi tak kusangka kau sebegitu dustanya menyembunyikan rasa bahagia akan hilangnya penghalang.”
“KAU GILA!”
“Tidak, kau yang lebih gila. Kau lebih takut dimarahi Mother, ketimbang kehilangan saudarimu sendiri.”
“KAU—”
“Aku bisa membantumu untuk mendapatkan posisi yang kauinginkan, Kezia Raisya.”
Dalam sekejap, lidahnya kelu tak bisa berucap. Mata cokelatnya mencari-cari kebohongan di wajah tampan yang tetap tersenyum keji. Tidak ada. Tapi mana mungkin ia semudah itu percaya pada lelaki yang sudah melukai--atau mungkin membunuh adiknya?!
“Aku tak seperti dirimu yang suka berbohong. Jika tak percaya, baiklah ... silakan, Madam,” Vyn menggaruk kepalanya yang tak gatal. Melirik ke arah layar di atas langit gerbong, yang berubah menjadi sosok wanita berbaju hitam bersedekap. Wajahnya tak terlihat, layar hanya memperlihatkan hidung hingga kedua lengan di atas meja.
“Kezia Raisya, senang bertemu denganmu.”
Kezia tak menjawab. Ia hanya diam mendengarkan, menatap sosok wanita yang tersenyum simpul seakan mengejek dirinya yang tak bisa mengucap.
“Aku, Madam Gorila. Kau tentu sudah mengenal Vyn, anak semata wayangku, bukan?” Kepalanya mengedik ke arah lelaki yang kini duduk santai di sebelah Kezia. Tanpa melihat lelaki di sebelahnya, wanita berambut cokelat menganggukkan kepala.
“Dia adalah panglima tempur dari Ranjang Ternoda. Suatu hal yang aneh, kau tak menyadarinya dengan sekali pandang,” mendengarnya, Kezia memutar bola mata kesal, “dan ... tentu kau sudah tahu apa yang terjadi dengan adik kandungmu, Alice.”
Kezia menyipitkan matanya. “Apa mau kalian?”
“Aah, tak suka basa-basi juga rupanya. Aku suka sikap menggebumu. Baiklah, tujuan kami menangkapmu adalah ....”
Entah sejak kapan Kezia menahan napas.
“... Menjadi agen ganda di organisasimu sendiri.”
Kezia mengerutkan alis, penuh tanya. “Agen ganda?”
Madam menganggukkan kepala pelan. “Kau ditugaskan untuk mengamati, melaporkan, dan juga menghancurkan organisasimu secara perlahan.” Belum sempat Kezia membuka mulutnya, Madam memotongnya dengan cepat, “Perlu kau ketahui aku tak menginginkan penolakan. Jika kau menolak, maka nyawamu akan menghilang. Jika kau berbuat sedikit pengkhianatan, kau akan disiksa pelan-pelan. Jika kau menyetujuinya, kau bisa menggantikan Mother di dalam sana.”
“Mother?”
“Hm, bukan rahasia lagi, bukan, ambisimu untuk meraih posisi Mother juga menyingkirkan adik kandungmu?”
Kezia menipiskan bibirnya.
“Datanglah padaku, Kezia. Kau akan kujadikan ‘ibu’ yang pantas bagi anak-anaknya. Kau adalah kau, Mother adalah Mother. Bukan begitu, Keiza Raisya?”
Sejenak, Kezia terdiam.
Sejak dulu dirinya memang menginginkan posisi yang telah digenggam sang adik. Tapi ia juga tak mengelak jika posisi Mother begitu menggugah ego juga harga diri. Sudah lama ia mengemban pribadi Kezia si Anak Baik. Kini, Alice tak mengganggunya. Mother juga akan goyah sebab tangan kanannya menghilang.
Kezia adalah Kezia. Ia akan menjadi ‘ibu’ yang disegani anak-anaknya.
Maka didongakkan kepala, menatap sosok Madam yang menaikkan senyum seiring nada tegas bergaung pelan,

“Aku terima tawaranmu, Madam.”

end
.
.
   

SeSum - Selasa MesumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang