==============Hutan ini begitu gelap dan suram. Pepohonan menjulang tinggi, daunnya yang lebat dan jarak dari satu pohon ke pohon lain yang berdekatan meminimalkan cahaya yang masuk. Semak belukar hampir memenuhi setiap sudut hutan, menyisakan jalan setapak yang nyaris tak terlihat.
Kakiku terpacu dengan cepat menerobos alam yang nyaris tak tersentuh tangan manusia. Napasku memburu akibat terlalu lama berlari, keringat membasahi pakaian dan membuat rambutku menjadi lepek. Dalam pelarian, kuedarkan pandangan ke segala penjuru, mencari jalan keluar sekaligus memastikan sosok itu tak mengejarku lebih jauh.
Entah apa yang mendorongku untuk memilih melarikan diri ke hutan belantara saat dikejar sosok murka yang menginginkan diriku celaka. Pikiran mendadak buntu kala kepanikan melanda. Prioritas utamaku menyelamatkan diri dari ancaman, tapi justru aku lari ke tempat yang jelas lebih berbahaya.
'Masa bodoh! Yang penting aku lolos dari dia,' batinku.
Semua ini terjadi karena kesalahanku sendiri. Karena terlanjur mencinta, aku nekat merebut suami orang. Katakanlah aku gila atau jahat, terserah. Tapi aku membutuhkan cintaku, maka dari itu, melakor pun aku rela.
Semua ini bermula saat aku bertemu dengan pemuda manis di sebuah toko perbelanjaan. Ia yang kesulitan membawa barang belanjaan membuatku bergerak dari tempatku untuk menolongnya.
Kutawarkan bantuan untuk membawakan barang belanjaan ke parkiran mobil. Ia mengangguk dengan semangat, senyum lebar terpatri di wajah memesona saat mengucap kata terima kasih.
Jantungku berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya, pipi terasa memanas dan aku terpaku. Atensi sepenuhnya terpusat pada pemuda yang baru kutahu memakai cincin emas di jari manis.
'Mungkin itu cincin biasa, untuk gaya,' pikirku, mengenyahkan pikiran lain yang melintas.Aneh juga mendapati diriku tidak rela membayangkan pemuda yang baru kutemui kurang dari satu jam telah memiliki orang spesial, tak seperti biasanya.
Kali kedua tatapan kami bertemu, barulah kusadari, aku telah terjerat pesonanya. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama.
Sebelum berpisah, kuberanikan diri meminta kontaknya. Untungnya, ia orang baik—atau polos?—yang dengan mudah memberikan kontaknya padaku. Dari sanalah kami mulai akrab, semakin banyak kami saling bertukar sapa membuat kami menjadi semakin dekat. Janji bertemu pun sering dilakukan.
Ia sering kali bercerita mengenai kegiatan sehari-hari, termasuk kehidupan rumah tangganya yang terkadang tak sesuai keinginan pemuda manis itu. Usianya yang masih terbilang muda, membuatku dengan mudah menyusupi hatinya kala ia terpuruk. Berbagai kata manis kuucapkan sebagai dukungan, perhatian-perhatian kuberikan. Hingga pada akhirnya, aku mendapatkan hati dan tubuhnya.
Yah, itu sepenggal kisah yang menjadi sebab musabab nasibku kini yang harus berlari tak tentu arah di hutan belantara. Semakin dalam aku masuk, semakin minim pula pencahayaannya. Cahaya bulan pun tak mampu menembus rapatnya pepohonan.
Hening, tak ada satu suara pun yang terdengar, baik itu hewan maupun angin yang menggesek dedaunan. Ketegangan semakin menguasaiku. Heningnya hutan ini justru membuatku tak tenang. Aku bahkan bisa mendengar degup jantungku yang terpacu.
Aku menoleh ke belakang, mencari sosok yang tadi mengejarku. Tidak ada. Berpikir bahwa aku sudah aman membuatku menghentikan laju kaki kemudian menghela napas lega.
"Aku ... butuh istirahat." Melangkahkan kaki mendekati sebuah pohon beringin besar di tanah lapang tanpa semak, kududukkan diri kemudian meluruskan kakiku yang lelah akibat terlalu lama berlari.
"Ketemu." Suara berat dan dingin terdengar bagai lonceng kematian bagiku.
Suaranya begitu dekat di belakangku, terpaan napas pun dapat kurasakan di telinga kanan. Aku menelan ludah susah payah, tenaga hilang entah ke mana. Ingin berlari, tapi kaki tak bisa bergerak. Suatu benda dingin menyentuh leherku. Membuat keringat dingin semakin deras mengalir.
Secara tiba-tiba, ia mendorong tubuhku hingga telungkup di tanah. Kedua tanganku dengan mudah ia tahan di atas kepalaku dalam satu genggaman. Aku meronta, kaki menendang membabi buta.
"Lepaskan, Brengsek!" seruku sembari menoleh susah payah ke belakang, mempertemukan pandanganku pada seorang lelaki tinggi besar yang menatapku lapar.
Lelaki itu adalah suami dari pemuda manis. Beberapa waktu lalu dia memergokiku dan pemuda manis tengah bercinta. Dari mana ia tahu kami di sana, mungkin dia menyewa seorang mata-mata. Padahal aku sudah sering mendapati satu orang yang sama di tempat dan hari yang berbeda. Hanya saja, orang itu muncul jika aku sedang bersama pemuda manisku.
'Ah, bodohnya aku yang tidak berpikiran ke sana.'
Sekali lagi, aku mencoba menendangnya.
"Kubilang, lepaskan aku!"Namun, bukannya melepas, justru lelaki yang tak kutahu namanya itu melepas ikat pinggangku. Dengan kasar ia memelorotkan celana serta dalamannya. Aku panik dan berusaha melawan lebih keras. Tapi sayang, kini kakiku ia tahan menggunakan kedua lututnya.
Satu tangannya yang bebas merogoh tas kecil di pinggangnya. Kepanikan semakin menguasaiku saat ia mengeluarkan buttplug dari sana.
"Mau apa kau dengan benda itu? Jauhkan!" teriakku antara panik dan murka.
Aku merasa harga diriku sebagai dominan terlecehkan. Kenyataan bahwa tenagaku kalah jauh dari lelaki yang kini menyingkap kemeja dan menciumi punggungku menjadi tamparan keras bagiku.
"AH! KELUARKAN ITU DARI SANA!" Aku berteriak kesakitan.
Lelaki itu menusukkan buttplug pada bagian belakangku tanpa persiapan. Bahkan langsung menghujamkan benda itu hingga bagian terdalam.
Lelaki ini menakutkan! Jauh lebih menakutkan dari kemarahan fans novelis yang karyanya diplagiat. Dia bisa melakukan apa yang ia mau demi kepuasannya sendiri. Aku tahu itu, tak butuh saling mengenal untuk mengetahuinya. Perbuatan tak masuk akalnya ini sudah membuktikan semuanya.
Menggerakkan maju-mundur buttplug di dalamku, lidahnya tak henti menelusuri punggung dan pundakku. Ia bahkan menggigit leherku hingga berdarah sebelum kemudian menghisapnya.
Aku mendesah lega saat ia menghentikan gerakkan benda yang tertanam di bagian belakangku, walaupun tidak ia keluarkan, setidaknya rasa sakitnya sedikit mereda.
"AARRRGGGHHH!"
Belum sempat aku mendesah lega, kini kedua telapak tanganku yang merasakan perih luar biasa. Lelaki brengsek itu menusuk punggung tanganku menggunakan belati yang ia bawa hingga tembus sampai tanah, mengunci pergerakkanku.
Ia mencabut buttplug dari lubangku dalam sekali tarikkan.
"Ugh ...." ringisku saat benda itu menggesek rektumku.Hembusan napas kembali kurasakan di daun telinga.
"Inilah akibatnya jika kau berani merebut suami orang," bisiknya dengan nada penuh intimidasi."AAHHH! SAKIT! Ugh ...." Lagi-lagi aku menjerit.
Benda keras yang lebih besar memaksa menerobos masuk dalam satu kali hentakan. Aku merasa seperti terbelah dua sekarang. Apalagi, ia tak mengizinkanku untuk terbiasa terlebih dahulu. Tanpa memedulikan darah yang mulai mengalir, ia hujamkan benda keras itu berkali-kali.
Aku menyesali semua perbuatanku. Aku salah, dan sekarang, aku hanya bisa pasrah dalam kungkungan.
Aku, disetubuhi oleh suami korbanku.
End.

KAMU SEDANG MEMBACA
SeSum - Selasa Mesum
AcakKompilasi cerita Mesum untuk yang berumur 21++ Makasih banget buat yang dengan setia dan sabar menunggu hingga hari Selasa, menunggu Apdet Sesum. *geleng geleng pala*