Bagian 6

5.6K 245 11
                                    

Takdir terus saja memiliki celah untuk mempertemukan walaupun kita saling menghindar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Takdir terus saja memiliki celah untuk mempertemukan walaupun kita saling menghindar.

"Perang dimulai," bisik Felicia kepada dirinya sendiri saat melihat seorang dosen bertubuh tinggi dan berkulit sawo matang memasuki ruangan kuliah.

Felicia menoleh ke arah Devano yang duduk sebanjar dengannya di kursi terdepan, mereka hanya di batasi oleh satu meja berpenghuni.

Devano memelotot saat pandangan mereka saling beradu kemudian dua membalikkan jempolnya ke bawah. Felicia membalasnya dengan cengiran tidak suka kemudian membuang muka.

Saat ini mereka akan bertempur untuk membuktikan siapa yang paling pintar di mata dosen sesuai dengan pernyataan mereka minggu lalu yang ternyata mengarah pada tantangan.

"Selamat pagi anak-anak, apa kabar?" sapa Remor, dosen yang mengajar pada mata kuliah psikologi eksperimen.

"Selamat pagi pak, kabar baik pak," jawab seluruh penghuni ruangan serempak.

"Sudah siap belajar?"

"Siap, Pak."

Remor menjelaskan sedikit pengantar materi mengenai psikologi eksperimen sebab pada pertemuan pertama minggu lalu, dia hanya membahas kontrak perkuliahan yang sepanjang tembok raksasa Cina, sampai-sampai jam kuliah telah usai namun materi pembelajaran belum dimulai.

"Ada yang bisa menyimpulkan pengertian psikologi eksperimen?" tanya Remor memutar pandangan ke seluruh penghuni kelas.

"Saya pak," ucap Felicia dan Devano berbarengan.

"Gue duluan," sahut Devano memelotot ke arah Felicia.

"Terserah bapak dong mau pilih siapa," balas Felicia sinis.

"Hus, jangan bertengkar," Remor memandang Devano dan Felicia secara bergantian, "takutnya kalian saling membenci tapi pada akhirnya saling suka," goda Remor tertawa hingga kumisnya yang tebal turun naik.

"Cie cie cie," ledek penghuni kelas heboh.

Sebagian cewek yang mengaku sebagai fans berat Devano, mendadak goyang-goyang di kursi seperti cacing tanah yang disiram air garam karena cemburu dan tidak rela.

Baik Felicia maupun Devano keduanya saling membuang muka.

"Cinta apaan, najis gue," Devano mendecih.

"Biar di kata seluruh cowok di dunia ini punah dan cuma tinggal lo, lebih baik gue perawan tua," tegas Felicia.

"Gue doain lo perawan tua sampai cacing tanah makan daging lo di liang lahat," ledek Devano terbahak.

"Kampret lo," Felicia geram sampai-sampai rahangnya mengeras menahan gertakan giginya.

"Udah puas?" Remor menautkan alisnya menatap Devano dan Felicia secara bergantian.

"Maaf Pak," ucap Felica dengan kepala tertunduk.

TERNYATA CINTA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang