Bagian 32

2.8K 152 56
                                    

Bahagia itu sederhana, bersama denganmu saja itu sudah lebih cukup.
—FelDev

▪▪▪

Setelah memarkirkan mobilnya dengan cekatan di parkiran kampus, Felicia mengambil sebuah tote bag berwarna putih di atas dashboard mobil. Benda tersebut berisi jaket Devano yang dipinjamnya kemarin.

Blamm. Felicia menghempaskan keras pintu mobilnya tatkala mengingat insiden memalukan kemarin sore saat Ia kedatangan tamu bulananya. Bukannya marah hanya saja Ia malu dan bingung cara menghadapi Devano nantinya untuk mengembalikan jaketnya. Bertemu dengan pemiliknya saja serasa mau ngubur diri di rawa-rawa kemudian menghilang selamanya.

Felicia menarik nafas dalam-dalam dan mencoba menepis berbagai perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. Ia segera melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu.

"Felicia."

Suara bariton tetapi lembut itu spontan menghentikan langkahnya yang tinggal beberapa meter lagi akan memasuki kelas.

Jantung Felicia berdentuman keras seperti di dalamnya dipasangkan ribuan speaker. Wajahnya bersemu merah hingga ke telinga. Felicia ingin kabur bahkan menghilang dari dunia bila perlu. Namun, kakinya tidak sinkron dengan pikirannya. Langkahnya tetap berada di tempat itu.

"Fel, gue anterin sampai di kelas yah?" tawar Devano saat berada di hadapan Felicia.

Kepala Felicia seketika tertunduk dan mulutnya tidak menyahut sama sekali.

"Fel?" panggil Devano dengan alis bertautan. "Kok nunduk?" tanya Devano berusaha melihat wajah Felicia yang menunduk.

Felicia menggenggam erat tote bag yang dibawanya. Beberapa butir keringatnya mulai mengalir deras.

"Fel, lo marah yah sama gue?" tanya Devano mulai khawatir.

"Nih, cowok emang nggak peka, enak banget tuh kepalanya dibenturin di tembok biar nyadar situasi atau bagusnya kepalanya di tukar sama kepala kambing biar nggak ingat masalah kemarin," geram Felicia bermonolog di dalam hati.

"Fel, lagi puasa ngomong yah, pacar kok dianggurin?" Devano berdecak.

Dengan sisa keberanian yang Felicia punya, Ia mengangkat muka dan menatap Devano malu-malu.

"Nih, jaket lo," Felicia mengulurkan tote bag tersebut.

"Wah, cepat banget. Padahal bisa dikembaliin lain kali kok," Devano menerima tote bag itu kemudian memasukkannya ke dalam tas yang berada di punggungnya. Dasar laki-laki tidak mau repot untuk menentengnya.

"Gue takut lo buru-buru mau pake," jawab Felicia datar.

"Nggak kok, gue masih punya di rumahm" kilah Devano mengendikkan bahu.

Felicia ber-oh-ria. "Gue ke kelas dulu yah?" pamit Felicia terburu-buru.

"Tunggu, gue mau nganterin lo ke kelas." tegas Devano mau tidak mau membuat Felicia tidak kuat untuk menolak.

Aura cogan memang melemahkan fungsi saraf, otak dan hati, terasa berdosa dan sedikit menyesal jika wanita menolaknya.

"Eh, Fel lo liat tulisan itu nggak?" tanya Devano menghentikan langkah kakinya dan menunjuk sebuah papan himbauan di dekat taman yang bertuliskan Saya Cinta Kebersihan.

"Liat, emang kenapa?" jawab Felicia ikut menghentikan langkahnya dan melihat apa yang di maksud Devano.

"Lo bisa baca nggak?" tanya Devano memandang Felicia.

"Bisa, emang kenapa sih?" Felicia menatap Devano dengan kadar penasaran yang tinggi.

"Gue nggak bisa baca, lo bisa bacain buat gue kan?" pinta Devano menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

TERNYATA CINTA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang