Bagian 36

2.1K 120 24
                                    

Kamu yang selalu menyita perhatiannku, kamu yang membuat air mataku menetes dan kamu yang pertama aku sebut disetiap hela nafasku.
—Felicia Azkya

●□●

Felicia mengurungkan niatnya untuk mengambil remote TV di samping meja TV, ia lebih memilih untuk mengambil iphone-nya yang berdering tidak jauh dari pantatnya yang sedang menduduki sofa.

"Tante Mona?" gumam Felicia heran saat melihat di layar iphone-nya tercantum nama Mama Devano.

"Halo tan?"

Tidak ada jawaban.

"Halo?" ulang Felicia.

"Hiks hiks hiks." terdengar suara isakan wanita dibalik telepon.

"Halo, tan. Halo tante kenapa?" tanya Felicia sedikit khawatir.

"Fel, hiks hiks."

"Iya Tan, ada apa?" tanya Felicia semakin penasaran.

"Felicia, hiks hiks," Suara Mona yang diiringi isakan tangis dan sesenggukan yang semakin kencang membuatnya susah berbicara.

"Tan, sebenarnya ada apa?" Felicia mulai khawatir. Berbagai prasangka buruk mulai menghantui pikirannya.

"Fel, Devano hiks hiks." Tangis Mona semakin kencang.

"Devano kenapa, Tan?" tanya Felicia mulai khawatir tingkat dewa. Tubuhnya serentak sedingin mayat yang disimpan di dalam kulkas. "Tan, please. Devano kenapa?"

"Devano mengalami kecelakaan mobil, Fel," Jelas Mona sambil sesenggukan.

"Terus bagaimana keadaanya sekarang, Tante? dia baik-baik aja kan, nggak ada yang luka. Devano pasti akan ba—"

"Fel, kita semua harus ikhlas," Potong Mona dengan nada pilu.

Deg. Jantung Felicia berdetak sekali dengan keras kemudian berpacu semakin kencang.

"Maksud tante apa?" Tanya Felicia gugup.

"Devano meninggal Fel."

Deg. Rasanya jantung Felicia berdetak sekali lalu berhenti untuk selamanya. Tubuhnya yang sejak tadi menegang kini jatuh terkulai. Tulang-tulangnya terasa lemah seperti nutrijel. Iphone-nya yang berada di genggamannya kini jatuh terhempas di atas sofa.

"Devano meninggal Fel!"

Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di dalam ingatan Felicia seperti alunan kaset di dalam radio.

"Dev, ini nggak mungkin kan?" ujarnya lagi dengan air mata yang berderai.

"Dev, kenapa secepat ini?" batin Felicia membekap mulutnya agar tangisnya tidak kedengaran tetapi bahunya terguncang karena sesenggukan menyertai tangisnya.

"Fel, kamu kenapa?" Tanya Anetta mengguncang tubuh Felicia.

Felicia masih bergeming.

"Fel, kamu kenapa sayang, ayo bangun." Sahut Anetta kembali mengguncang tubuh Felicia lebih keras.

Perlahan-lahan Felicia membuka kelopak matanya yang dibasahi oleh air mata. Ia menatap Anetta dengan tatapan kosong. Tubuhnya masih berusaha mengumpulkan nyawa yang belum sepenuhnya pulih.

"Hayo mimpi apa, kok tiba-tiba nangis?" goda Anetta menyipitkan mata.

Serta-merta Felicia terbangun dari posisinya dan meraba matanya. "Gue beneran nangis, untunglah semuanya cuma mimpi," batin Felicia menghela nafas lega.

"Mimpi apa hayo kok nangis dan meracau nggak jelas. Lagi mimpiin Devano yah?" goda Anetta mengedipkan mata.

"Apaan sih Ma," kelit Felicia dengan wajah semerah kepiting rebus. "Mama kayak tukang ramal aja yang bisa nebak bener." batin Felicia membuang muka menghindari tatapan Anetta.

TERNYATA CINTA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang