Air mata seorang perempuan adalah Berlian yang sayang sekali kalau tidak dipungut seorang laki-laki. Jadilah penopang baginya dan ambil Berlian itu.
➕➖
Dua minggu berlalu tanpa perubahan yang berarti, Alba kian berubah. Memperbaiki diri dan berusaha memperbaiki keadaan.
Mencoba bertahan dengan rasa bersalahnya, merancang segala persiapan. Alba tidak mengejar Wafa yang semakin menjauh selama dua minggu. Dan kini Alba sedang makan bakso bersama penasihatnya belakangan ini, Mama.
"Huh! Nendang abis!" Mama menyeka peluhnya yang bercucuran. Mama meneguk es teh manis sampai es batu pun ikut ditelan. "Mas dua dibungkus ya, saos sambel pisah! Oh ya, jangan pake toge ya!"
Alba hanya geleng-geleng kepala, menahan malu.
"Buat Papa," Mama terkekeh ringan.
Alba setelah pulang sekolah diajak makan bakso di pinggir jalan oleh Mamanya. Dan Alba tidak protes. Kata Mama, makanan pinggir jalan itu nggak ada duanya.
Murah soalnya, tambah beliau.
"Oh ya, dua minggu ini gimana?" Mama mengalihkan perhatian Alba. Alba setiap harinya selalu diajukan pertanyaan semacam ini dan jawaban Alba hanya kedikan bahu malas. Setelah itu Alba bertopang dagu dan membiarkan baksonya tersisa.
Mama tidak mau buang-buang makanan, jadi mama menggeser mangkuk Alba ke hadapannya. "Harus cari cara, Ba,"
Alba hanya bisa berkata buset, pantesan aja Mama tiap hari berat badannya nambah, di benaknya. "Nggak tau Ma,"
Mama menambahkan dua sendok sambal, tiga tetes cuka, dan mengambil dua kerupuk kaleng. Dan langsung melahapnya dengan cepat, soal lipstick yang akan luntur bisa diatasi nanti.
Setelah mendapat surat dari Joan atau lebih tepatnya dari Rav melalui perantara Jerry, Alba menceritakan keluh-kesahnya ke Mama. Sejauh ini Mama adalah pendengar yang baik juga turut memberi nasihat. Penasihat Alba. Salah satu nasihatnya adalah biarkan Wafa menenangkan diri, dipatuhi Alba sampai saat ini.
Nyatanya Wafa semakin tenang dan Alba semakin gelisah. Bagaimana kalau ia tidak bisa mengabulkan permintaan Rav yang terakhir kalinya? Bagaimana kalau dia harus melihat Wafa yang tumbuh dewasa sebagai pembenci dan pendendam? Bagaimana kalau ia gagal? Alba memijat pelipisnya yang berkedut.
"Mama akan ngomong ke Om Arga," lanjut Mama. Bibir tebal Mama diramal Alba akan makin tebal dan merah karena Mama itu penggila pedas. Kalau saja Alba tidak sedang galau-merana mungkin dia akan menertawai bibir Mama yang jontor sesaat.
"Ngomong apa Ma?" Alba melirik bingung.
"Wafa kan selama ini kurang yang namanya perhatian dari orang tua, Arga selalu masuk-keluar kota, ya nggak heran deh kalau Wafa jadi apatis begitu," Alba menyenggol lengan mamanya. Mama mendengus lalu melanjutkan bicaranya. "Wafa kalo dilihat dari wajahnya dia adalah sosok penyayang, cuman belum kebuka aja segelnya."
"Dikira barang kiriman JNE kali," Alba menimpali. "Om Arga sibuk, Mama gimana ngomongnya?"
"Mama minta ketemuan secepatnya, kalau perlu mama samperin om Arga keluar kota!" tukas Mamanya.
"Mama kuat nyetir sampe keluar kota? Nganterin ke sekolah aja Mama udah pegel-pegel badannya," ledek Alba sembari mengekori Mama membayar semuanya dan beranjak naik ke mobil.
"Mama bakal pake jasa sewa sopir," timpal Mama tak mau kalah.
Setelah perut kenyang dan hati senang mereka berdua bergegas pulang. Alba akan menghadapi berbagai ulangan salah satunya matpel favoritnya saat ini, Matematika.
![](https://img.wattpad.com/cover/98651647-288-k293102.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Wafa and The Girl [Completed]
Teen FictionPeringkat 1 dalam hashtag #masaabuabu ( 24 Juni 2018 ) Peringkat 1 dalam hashtag #introvert ( 03 April 2019 ) Cerita ini menceritakan tentang seorang siswa SMA yang berkepribadian introvert dan asosial. Ia tidak suka berkelahi, meski pandai bela dir...