2⃣8⃣ : Thank You

1.4K 87 5
                                    

Hadirmu bagai surya yang menentang gulita
Kau berani bertarung lawan amukan badai
Jati diri barumu kau hadiahkan demi aku
Usahamu perjuanganmu buka mataku
Segala asa pelita kau bawa untukku
Sebait puisi tak mungkin mampu
Jelaskan rasa terimakasihku
Padamu, Duhai, Sinarku

➕➖

Leina merasa risih karena ujung rok yang ia kenakan ditarik-tarik oleh si sepupu yang sedang gundah gulana. Alba menangis sesenggukan dan bersandar pada lututnya, sedih hati, patah hati, sungguh kasihan derita cinta. "Udah ah, jangan nangis mulu!" lantai ruang tamu tertutupi oleh gumpalan tisu karena Alba menangis sudah lebih dari dua jam. Bahkan satu karton tisu nyaris habis.

"Gue menyerah aja deh, gue nggak sanggup!" keluh Alba.

"Jangan! Lo harus tetep lanjut perjuangin tuh cowok!" sahut Leina.

Alba menggeleng dan tetap menangis. "Nggak ada yang bisa nyadarin dia, Lei!"

Leina mengusap puncak kepala sepupunya yang sedang melankolis ini. Walaupun mereka jagonya bertengkar namun mereka tetap memiliki empati yang kuat. "Yaudah, yaudah. Mending tidur aja, jangan begadang, apalagi begadangnya nangis sampe shubuh!"

"Bawel lo!"

Leina mengerecutkan bibirnya, untung dia bisa menjaga perasaan sepupunya itu, kalau tidak mungkin sudah ditoyor.

Ting Nong!

"Eh, Ba, Mama lo dah balik tuh," Leina membantu mengangkat kepala Alba yang terkapar di lututnya. Kemudian Mama datang dengan mata sembab. "Tante kenapa?"

Sama seperti Alba, Mama datang dan langsung tersungut di lutut Leina. Nggak anak nggak ibu sama aja! Protes Leina dalam hati. "Ada apa Ma?" tanya Alba di sampingnya. Mama semakin kejer menangis saat ditanya begitu, namun Mama mencoba menjawab. "Mama baru ketemu Om Arga barusan!"

Baik Leina maupun Alba terperangah kompak. Akhirnya kabar suka yang ditunggu-tunggu—"tapi Mama nggak berhasil!" tangisnya kembali pecah. Leina sekali lagi merasa canggung di hadapan anak dan ibu yang sedang menangis.

"Om Arga terlalu sibuk sama urusan kerjaan, bahkan dia nggak tau kondisi Wafa gimana! Ah, kesel!" Mama menarik-narik rok Leina persis dengan yang dilakukan Alba tadi. Leina hanya bisa mengelus dada, mencoba untuk tidak mengumpat. Sementara Alba merangkul mamanya dan menangis bersama di bawah bayang-bayang Leina. Leina berpikir ulang harusnya ia datang ke Jakarta dua bulan lagi, bukan sekarang! Leina menggeramkan sederetan gigi putihnya menahan sabar, rasa iba bercampur dengan dongkol.

"Tante teleponnya bunyi tuh," ucap Leina spontan. Telepon Mama yang berada di atas meja berdenting dan Mama tak menghiraukannya.

"Kamu aja yang angkat," balas Mama di sela-sela kesedihannya.

Dengan bibir yang terlipat, Leina menggaet telepon itu. "Hallo?"

Tut... Tut... Tut....

Telepon telah ditutup dari nomor tidak dikenal. Namun ada pesan yang telah ditinggalkan dari nomor itu, Leina iseng membacanya.

Dari : +62894653xxxx

Selamat Malam.

Kalau tidak sibuk, besok kamu ajak Alba ya ke makam Safa. Saya juga akan ajak Wafa. Ini Arga.

Leina membacanya dalam batin. Bertanya-tanya Arga ini siapanya Wafa? Dan apa hubungannya dengan Mama? Daripada bingung Leina memutuskan untuk memberi tahu tantenya itu. "Tan, ada sms nih!"

Wafa and The Girl [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang