2⃣4⃣ : He called me a killer

1.3K 81 2
                                    

Beginikah rasanya memperjuangkan seseorang yang menjuluki kita sebagai pembunuh?

✖➗

"Kenapa?"

"Saya ingin fokus kepada hal lain."

Siang ini terasa begitu terik meskipun ruang wakil kepala sekolah dihadiri dua pendingin ruangan. Bu Fera sedang mengadili Wafa pada sidang pengunduran dirinya sebagai peserta Olimpiade Matematika.

"Dari daftar peserta yang lolos, kamu itu ada di urutan pertama Wafa. Apakah kamu akan meninggalkan kesempatan emas ini?" Guru yang menyayangi Wafa, tak mau Wafa berhenti. Bu Fera sangat mengharapkan Wafa berubah pikiran.

"Masih banyak kesempatan emas berikutnya,"

Bu Fera kini mulai putus asa berbicara dengan siswa yang pandai bicara. Sambil berpangku tangan ia menatap Wafa serius. "Memangnya kamu akan fokus ke hal apa?"

Wafa sedikit melebarkan bola matanya, ragu menjawab untuk beberapa saat. "Jika itu masih berhubungan dengan akademis kamu, mungkin saya bisa rela kamu mengundurkan diri." Lanjut Bu Fera.

Wafa terpaksa berbohong. "Saya ingin fokus mengejar beasiswa ke luar negeri,"

"Begitu?" Bu Fera mengangguk dan berpikir sejenak sebelum mendukung keinginan murid kesayangannya. "Kalau begitu saya sangat mendukungmu. Doa saya menyertai kamu," Bu Fera mulai menyentuh tangan dingin Wafa yang tergeletak diatas meja.

Refleks Wafa tidak sopan, ia menarik tangannya. Menimbulkan beberapa kecanggungan di antara mereka berdua. Wafa tidak bisa semudah ini disentuh oleh perempuan. Kalian harus tau betapa kecewanya Wafa pada kaum perempuan.

"Kalau begitu kamu bisa melanjutkan istirahat kamu." Secara tidak langsung Bu Fera meminta Wafa pergi dari ruangannya. Wafa tak acuh dan langsung pergi, lari dari kecanggungan yang barusan ia perbuat. Biarlah, agar Bu Fera berhenti memberinya perhatian dalam bentuk apapun. Begitulah katanya.

Wafa menarik napas sebentar, lalu kembali mengembuskannya. Pandangannya lurus dan tak pernah berpaling, ia hendak menuju kelasnya. Kelas XII IPA berada di lantai empat dan itu cukup menguras tenaga, tapi Wafa tak keberatan.

Wafa berjalan sambil menunduk dan ia menyadari bahwa ada dua sepatu hitam dengan sedikit garis berwarna merah muda, Alba. Tidak ingatkah dia atas apa yang Wafa lakukan kepada dirinya tempo hari? Bahkan ia menangis.

"Siang!" sapanya lembut.

Yang berubah darinya adalah penampilannya yang sudah tidak sedempul dulu. Rambutnya dipangkas hingga menyentuh bahu dan sudah memakai rok abu-abu sampai mata kaki. Sebenarnya perubahan ini sudah agak lama namun Wafa baru menyadarinya.

Wafa tidak menjawab tapi setidaknya ia masih mau menatap cewek di hadapannya ini.

"Selamat ya!" Alba mengulurkan tangan kanannya yang mulus tanpa ada goresan apapun. Namun Wafa tidak sudi menggapainya, untuk sekarang. Masa depan tidak ada yang tahu. Dengan sangat percaya diri ia menarik lagi uluran tangannya. Lalu berkata, "semoga olimpiade berikutnya lo lolos dan jadi juara, semangat!"

Wafa memalingkan wajahnya ke arah lapangan, mereka berada di lantai satu di tengah-tengah koridor.

"Nih gue ada cokelat khas Bandung," Alba mengulurkan tangan untiluk yang kedua kali dan kali ini ada sebatang cokelat berlapis warna hati bertengger di tangannya. Setidaknya mencoba begitulah katanya.

Masih belum ada tanggapan juga.

Saking gregetannya Alba ia langsung menarik tangan Wafa lalu diletakkanlah cokelat itu di telapak tangan cowok dingin itu dan buru-buru melepaskannya. Ide yang nekat.  Wafa menautkan satu alisnya dan membuat Alba menahan hidungnya agar tidak mimisan. Kadar ketampanan Wafa sudah melampaui batas. Namun bukan Wafa namanya kalau tidak andal untuk menolak. "Terima kasih sekali atas pemberiannya dan saya rasa Anda tidak perlu repot-repot begini karena saya tidak akan menerima apapun pemberian dari Anda." Wafa menghempaskan cokelat itu ke dada Alba dan ia langsung melenggang pergi.

Wafa and The Girl [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang