Alan dengan napas menderu mulai mencumbu leher manis Alba dengan kasar dan brutal. Alba tak bisa melawan karena kedua tangannya dililit oleh Alan. Ia tidak sabar untuk malam yang dingin ini dan juga keperawanan Alba yang dinanti-nanti.
➕➖
"I'm so sorry!"
Alba menuding kalimat itu dengan memutar bola mata tak percaya. Jadi kalau Alba nggak tahu dirinya dijadikan bahan taruhan, Wafa akan selamanya menjauhi dirinya?
"Gue cuma butuh waktu, nggak bermaksud ngejauhin lo," binar mata Wafa teduh untuk memohon minimal kepedulian Alba.
"Klise,"
"Gue terpaksa ngelakuin tantangan bodoh itu Ba, gue nggak mau Alan terus-terusan ganggu lo," Wafa menarik napasnya perlahan. "Oke gue emang kalah, gue harus jalanin konsekuensinya, karena apa? Kalo gue ngelanggar Alan akan makin nyakitin lo,"
"Oh gitu?" Alba menjawab dengan nada malas. Selera makannya kini hilang berganti rasa kesal. Ia terpaksa menanggalkan semangkuk bakso di meja kantin dan buru-buru mengasingkan diri dari pengaruh Wafa.
Wafa belum menyerah. "Ba percaya sama gue,"
Alba dengan tegas tanpa goyah pendiriannya terus melangkah, tak peduli Wafa yang mengejarnya dan memohon-mohon. Alba harus tahu seberapa besar perjuangan Wafa ketika ia sudah membuat Alba merasakan dalamnya kecewa. Dalamnya dibohongi, dijadikan bahan taruhan, dan keburukan lainnya.
"Ba, come on," Wafa berusaha menangkap tangan Alba tapi ia begitu lincah untuk menghindar.
Alba mengerucutkan bibirnya saat akhirnya Wafa menggengam kedua tangannya.
"Kita lagi diadu domba sama Alan, tolong lo percaya sama gue," sebisa mungkin Wafa berbicara selagi kesempatan masih ada. "Kalo kita nggak bersatu kita akan gampang dipecah belah—"
Alba memotong kalimat Wafa, tanpa pikir panjang. "Lo udah ngejauhin gue kan beberapa hari lalu, dan gue mau ngelakuin hal yang sama sekarang!"
Pernyataan itu sukses membuat tangan Wafa berhenti menyentuh meski seinch kulit Alba. Dengan tatapan kesal dan mata membulat, Alba pergi berlari dari Wafa dan tidak bertanya bagaimana jalan pulang.
Kalau sudah begini, akankah Wafa berpikir untuk berhenti? Berhenti menggapai tingginya, Alba, di antara harapan-harapan indah yang berguguran.
✖➗
Pagi ini adalah kemajuan yang sangat berarti untuk Alan. Pasalnya Alba mau untuk ditemui olehnya, meski secara sembunyi-sembunyi di depan rumah Alba.
Alba melongok ke area sekitar rumahnya, memastikan tidak ada yang melihat Alan karena ia tak mau Alan masuk ke dalam lingkungan Alba.
"Jadi gue harap lo mau dateng sebagai pasangan gue," pinta Alan.
Alba terlihat memijat pelipisnya. Sosok egois Alba tidak ingin mengingat Wafa dalam otaknya, kesempatan ini adalah cara ampuh untuk menjauh dari pengaruh Wafa untuk sementara. Lagipula tawaran Alan tak terlalu buruk. Ia cukup menemani Alan datang ke acara reuni SMP-nya di Bandung dan bernostalgia ria, sekaligus foto-foto untuk kenangan yang baru.
Meski Alba bukanlah siswi berprestasi di SMP namun ia rindu masa-masa itu. Dari situlah karakter Alba terbentuk, masa-masa awal Alba memulai kenakalan, dan faktanya Alan juga ikut andil dalam masa-masa ketika Alba menjadi cewek nakal.
"Hey, kok bengong?"
Alba tersentak. "Eh—hem,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Wafa and The Girl [Completed]
Ficção AdolescentePeringkat 1 dalam hashtag #masaabuabu ( 24 Juni 2018 ) Peringkat 1 dalam hashtag #introvert ( 03 April 2019 ) Cerita ini menceritakan tentang seorang siswa SMA yang berkepribadian introvert dan asosial. Ia tidak suka berkelahi, meski pandai bela dir...