4⃣1⃣ : Finding Out

1K 74 15
                                    

Biasanya air mata laki-laki adalah yang paling tulus, penanda kasih sayang jika sudah terurai untuk seseorang yang ditangisi.

➕➖

Sore ini sudah ketiga kalinya Wafa mondar-mandir ke rumah sakit untuk menengok pacarnya itu. Selepas penat belajar di sekolah ia pun harus merasakan penat lagi di tengah-tengah penantian yang tak bisa diperkirakan. Wafa menggigit bibir bawahnya, lalu harus bertindak seperti orang yang tegar meski nelangsa menjalari hatinya.

Semenjak kecelakaan tiga hari lalu, kecelakaan yang membuat Alba tidur dalam komanya, Wafa tak pernah absen untuk tidur di rumah sakit. Setiap shubuh baru ia pulang ke rumah untuk mandi lalu pergi ke sekolah dan setelah itu kembali ke rumah sakit. Rutinitas barunya, membuat pikiran Wafa bercabang antara kesedihan dan kepenatan.

Tak banyak yang bisa dilakukan Wafa. Wafa hanya diizinkan masuk ke ruang inap Alba pada jam-jam tertentu. Sisanya ia harus bertahan menunggu di lorong. Termasuk saat ini, dengan lutut kaku ia berdiri menatap iba pada Alba yang sedang terbaring di ranjang rumah sakit.

Jendela persegi panjang yang terdapat pada pintu tentu tidak cukup untuk Wafa melihat Alba. Seharusnya ia masuk dan berada di sebelah Alba, merapalkan doa atau melakukan hal apapun agar Alba tersadar dari komanya.

Wafa tak bisa menahan air matanya untuk tidak jatuh. Bulir demi bulir terus mengalir melewati pipinya dan berlanjut menjadi isakan yang mengoyakkan batin. Biasanya air mata laki-laki adalah yang paling tulus, penanda kasih sayang jika sudah terurai untuk seseorang yang ditangisi.

"Gimana kalau Alba koma sampe tahun depan?" bibir mama Alba bergetar dan tubuhnya bersisian dengan Wafa, ikut menatap Alba dari jendela kecil itu.

Wafa lantas mendekap seseorang yang tengah rapuh seperti dirinya. "Tante yang kuat ya," Wafa pun berusaha menguatkan.

"Alba anak tante satu-satunya, meskipun Alba itu nakal, nggak nurut, dan terkadang random, Tante nggak akan mau punya anak selain Alba!" sebegitu cintanya seorang ibu pada anak, seburuk apapun sang anak sang ibu tak akan ragu untuk mengakuinya sebagai anak. Mama Alba buktinya.

"Alba akan bangun... akan bangun,"

"Kapan... kapan Wafa?" suara mama Alba meninggi begitu juga dengan isak tangisnya yang makin pecah.

Wafa semakin mengeratkan rangkulannya. Ia menaruh dagunya di atas bahu mama Alba dan bernestapa bersama. Seandainya Alba bisa melihat kedekatan ibu dan pacarnya, Alba pasti akan sangat menyukainya.

Mama Alba membekuk tangan dingin Wafa yang menggantung di bahunya. "Wafa mau janji sama Tante?"

Wafa mengangguk meski belum tahu apa yang harus dirinya janjikan.

"Wafa harus jagain, nemenin, dan ngelindungin Alba sampai Alba sadar, Wafa mau?" ucap mama khawatir seperti Wafa tak akan bertahan untuk Alba.

Wafa tentunya mengangguk mantap. "Wafa janji dan Wafa nggak akan ingkarin itu. Wafa menyayangi Alba," ujar Wafa tulus dari lubuk hatinya. Wafa sudah bilang kepada Mama Alba jikalau dirinya menyayangi Alba, ia akan membuktikan bahwa dirinya tidak hanya sekadar bersilat lidah melainkan tulus. Amat tulus.

Meskipun jodoh hanya Tuhan yang memberi, selama Wafa belum diberi petunjuk oleh Tuhan siapa jodohnya, ia akan terus bertahan untuk Alba. Wafa berharap penug bahwa jodoh yang dimaksudkan Tuhan untuknya adalah Alba.

Papa Alba datang dan menepuk punggung Wafa. Ia pun melepas dengan lembut rangkulannya dan membiarkan mama Alba melanjutkan isak tangisnya. "Ada apa, Om?"

"Ayo ikut Om, Om mau bicara sebentar sama kamu," Wafa menurut dan berjalan beberapa langkah di belakang Papa Alba. Papa Alba sengaja menjauh dari istrinya itu, agar istrinya tak tahu menahu soal urusan ini. "Om dapat laporan dari polisi?"

"Jadi udah ketemu Om siapa yang nabrak Alba?" tandas Wafa.

Papa Alba menggeleng. "Polisi belum bisa mengungkap siapa tersangkanya," Papa Alba mengambil napas sebentar. "Tapi setelah diselidiki ternyata ini adalah pembunuhan yang disengaja,"

Wafa terperangah dan menutupi mulutnya yang terbuka lebar. Hatinya berkecamuk marah dan menajamkan tatapannya.

"Dari cctv yang ada di pinggir jalan dekat minimarket yang dikunjungi Leina dan Alba merekam bahwa mobil biru itu udah terparkir di ruko-ruko yang letaknya di sebelah minamarket itu," Wafa terus menyimak apa yang diceritakan Papa Alba. "Dan saat Alba dan Leina keluar dari minimarket mau nyebrang si mobil ini langsung tancap gas,"

"Jadi ini bukan tabrak lari yang nggak di sengaja?" geram Wafa.

Papa Alba hanya bisa mengangguk. Ia menyentuh bahu Wafa dan berusaha menenangkan remaja yang emosi ini. "Om harap kamu jangan ceroboh dan selalu waspada,"

Wafa menjatuhkan pandangannya ke bawah, lalu menatap Papa Alba lagi. "Wafa akan bantu cari tau siapa pelakunya Om,"

Papa Alba tersenyum saat Wafa berniat baik ingin membantunya.

Wafa harus segera mencari tahu motif si pembunuh, apa dosa Alba sampai tega-teganya ia menabraknya?

Papa Alba kemudian melenggang menuju Mama Alba. Wafa masih berdiri di posisinya hanya kepalanya yang menoleh saat suara familier memekaki namanya.

"Wafa!"

Leina datang menghampiri Wafa, tidak sendirian namun ditemani Rano dan Jerry, dua teman terdekat mendiang adiknya. "Fa kita abis dari kantor polisi dan katanya—"

"Iya tadi Om udah ngasih tau," potong Wafa.

Leina ber-oh paham dan mengangguk.

Mereka berempat melingkar di lorong rumah sakit yang lumayan sepi dari orang-orang yang berlalu-lalang. Diskusi tersirat pun dimulai.

"Kita harus segera selidikin siapa yang berani-beraninya nabrak sepupu gue, kalo gue ketemu sama tuh pelakunya bakal gue tabrak balik pake truk!" tukas Leina gregetan.

"Emang lo bisa bawa truk?" seloroh Rano.

"Yaaa... nggak sih," Leina nyengir dan menggaruk tengkuknya tanpa alasan.

Wafa ingin tertawa namun ini bukanlah saat yang tepat. Ia harus fokus pada si pelaku yang telah membuat Alba koma.

"Gue sama Jerry siap bantu Fa," ujar Rano.

Wafa tersenyum kepada mereka bertiga. Mereka sangat antusias untuk membantunya. "Oke," jawab Wafa. "Tapi kita harus mulai darimana?

Leina mengulum senyum menandakan ia tahu jawabannya. Satu nama berhasil terpampang di otaknya dan sepertinya memang akurat.

"Kenapa lo malah senyum Lei?" tanya Rano.

"Kayaknya gue tahu... siapa pelakunya," wajah sumringah Leina membuat mereka bertiga tidak sabar mengetahui siapa yang menjadi tebakan Leina. "Pasti lo semua nggak heran deh sama pelakunya,"

"Kasih tau dong Lei," pinta Rano tak sabaran.

Wafa hanya menyimak.

"Gue udah yakin banget seratus persen kalo ini semua ada hubungannya sama—" Leina memenggal kalimatnya membuat mereka bertiga semakin penasaran. "Alan,"

"Alan?!" ulang Wafa dengan nada marah.

Leina mengangguk. "Alan pasti bales dendam,"

"Kenapa harus si brengsek itu lagi?" kesal Wafa.

"Lo harus tau, dia itu licik dan mungkin bagi dia pembunuhan itu hal yang lumrah. Jadi dia nggak mikir dulu sebelum bertindak," papar Leina. Pendapatnya masuk akal.

Sejak Wafa memukulinya waktu itu semenjak ia tak bisa mendapatkan Alba kembali, ia sudah terputus dari yang namanya berpikir jernih. Iblis memang paling bisa menggoda umat manusia.

"Kita harus cari Alan kemana?" tanya Jerry.

"Bandung?" tebak Leina.

"Kita harus segera bertindak sebelum Alan yang bertindak duluan." Kukuh Wafa dan ia mengepalkan tangannya, penuh amarah membara.

📏BERSAMBUNG📐

komen ya sebanyak-banyaknya sebelum komen dilarang hehehe.

Di tempat, 14 Juni 2018.

Wafa and The Girl [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang