Sudah tidak jarang kalau yang dulunya sering bertengkar akan menjadi selengket ini. Buktinya Alba dan Wafa. Mereka menepikan egonya masing-masing sehingga yang berlabuh hanyalah ketulusan dan kebersamaan.
➕➖
"Belakangan ini Ayah perhatikan, kamu jarang memegang buku," Arga membuka suaranya dengan penuh kepedulian.
Wafa yang berkutat dalam pikirannya tersentak. Buru-buru ia sembunyikan foto tak senonok itu ke dalam saku celananya. Wafa sudah mengamati foto itu sejak semalam dan Ayahnya tak berhak tau. "Maaf, Yah," hanya dua patah kata yang mampu Wafa ucap.
"Masa putih abu-abu akan segera berakhir," Arga duduk di sebelah putranya. "Jadi sebaiknya kamu lebih giat belajar,"
Wafa mengangguk. "Pasti, Yah,"
Arga telah menunjukkan perubahan yang baik seminggu ini. Ia tahu kesalahannya terdahulu dalam mendidik Wafa, ia kini jauh lebih perhatian dan betah tinggal di rumah daripada di Apartemen. "Afa akan jadi kebanggan Ayah," Arga mengacak-acak rambut putra semata wayangnya itu.
Wafa merasa kehangatan kini mulai menjalari hatinya dan juga hidupnya. Sayang, Ibu tidak bisa ikut duduk dan berbincang bersama. Ibu nggak sempat lihat Wafa yang sudah besar seperti ini. Sayang sekali, tapi Wafa selalu tahu apa yang terbaik dari yang Tuhan rencanakan. "Afa, nggak akan ngecewain Ayah!" sergap Wafa seraya menampilkan senyum termanisnya.
Arga menyambut senyuman itu dengan suka cita. "Afa kalau butuh sesuatu tinggal bilang, Ayah siap mendengar keluh kesah kamu,"
Wafa mengangguk.
"Kalau kamu nggak ada yang mau diomongin, ayah mau tanya sesuatu nih," sorot mata Arga menjadi serius. "Kamu udah ada rencana setelah lulus SMA?"
Wafa menggeleng. "Kuliah sih Yah, pastinya,"
"Udah cari-cari kampus?"
"Belum,"
"Persiapkan dari sekarang, kalau bisa cari yang terbaik untuk kamu dan tentunya sesuai dengan minat dan bakatmu," Arga memberi wejangan agar masa depan Wafa penuh kecerahan. "Kalau semua sudah direncakan dengan teratur, sangat mungkin hasilnya juga akan teratur dan tentunya baik. Jadi?"
"Jadi apa, Yah?"
"Kamu mau kan merencanakan mau kuliah dimana dari sekarang?" Ayah mengusap bahu Wafa, seolah-olah memberinya rangsangan untuk menguatkan.
Dengan senyum canggung Wafa membalas, "iya Yah, hehehe!"
"Ayah sih tidak mau menuntut dan membebani tapi Ayah hanya memberi nasihat,"
"Pasti Wafa akan patuhi nasihat Ayah yang super keren!" kelakar Wafa, keduanya larut dalam gelak tawa. Suasana kekeluargaan yang seperti ini yang telah lama hilang dan kini Wafa bisa menikmatinya.
"Bagaimana dengan luar negeri, Yah?" tanya Wafa tiba-tiba.
"Bagus," Arga mengangguk mantap. "Itu pilihan yang sangat baik!"
"Tapi-"
"Kenapa?" potong Arga spontan.
Alba. "Nggak papa kok Yah," Wafa menutupi raut wajahnya agar tidak dicurigai. "Wafa akan merencanakan yang terbaik, sesuai nasihat ayah,"
"Bagus, kalo gini Ayah jadi tambah sayang sama Afa!"
Keharmonisan ini, kebahagiaan ini, Wafa berharap akan menjadi abadi. Tempat bersandarnya adalah ayahnya sendiri.
Setelah wejangan pagi hari, Ayah bergegas pergi bekerja. Tak peduli sesibuk apapun, kebersamaan dengan anak adalah priotitas utama bagi pria empat puluh tahun itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wafa and The Girl [Completed]
Ficção AdolescentePeringkat 1 dalam hashtag #masaabuabu ( 24 Juni 2018 ) Peringkat 1 dalam hashtag #introvert ( 03 April 2019 ) Cerita ini menceritakan tentang seorang siswa SMA yang berkepribadian introvert dan asosial. Ia tidak suka berkelahi, meski pandai bela dir...