Distance

714 116 24
                                    

I look at my face in the mirror and ask myself. "Are you angry now?"

My head said, "No."

But then my heart whispered, "Yes you do, stupid."

Then I kept staring at myself in front of the mirror.

And knowing that all this time, I keep lying.

I saved the truth.

And telling the lie, to myself.

***

Selama dua puluh lima tahun ini Chanyeol hidup berkecukupan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selama dua puluh lima tahun ini Chanyeol hidup berkecukupan. Cukup dalam bentuk materi maupun cukup dalam bentuk kebahagiaan. Meskipun hidupnya selama ini telah diatur bahkan telah terencana dengan jelas dan matang dalam benak kedua orang tuanya, Chanyeol bersyukur karena dia sama sekali tidak pernah merasakan apa itu yang namanya kurang atau susah.

Chanyeol pertama kali suka musik karena sering melihat dan mendengar mendiang neneknya bernyanyi sambil bermain piano. Dulu selama lima tahun hidupnya, Chanyeol tidak pernah tertarik hingga benar-benar mempunyai keinginan untuk melakukan sesuatu. Dan hanya karena rasa keingintahuannya yang besar Chanyeol berakhir menyukai tuts-tuts piano tersebut.

"Kenapa ayah ingin sekali aku menjadi seperti ayah?" Itu adalah pertanyaan yang Chanyeol ajukan pada mendiang neneknya pada usia sepuluh tahun. Pada saat itu ayahnya mulai menekankan kepada Chanyeol jika Chanyeol juga harus bisa meneruskan gelar dokter yang ada pada keluarga.

Neneknya memandang wajah Chanyeol sangat dalam sebelum mengalihkan pandangannya pada piano. "Karena ayahmu menginginkan yang terbaik untuk hidupmu."

Jawabannya singkat tapi Chanyeol saat itu sama sekali tidak mengerti arti dari jawaban neneknya.

"Chanyeol, hidup itu memiliki dua sisi. Ada sisi baik seperti tuts berwarna putih dan juga ada sisi buruk seperti tuts berwarna hitam."

Chanyeol mengamati tangan neneknya yang menekan-nekan tuts piano itu. "Jadi warna hitam itu merupakan warna yang tidak baik?" Dengan polosnya Chanyeol mengajukan pertayaannya hingga membuat nenek tertawa.

"Tidak. Tidak."

Chanyeol semakin tidak mengerti apa yang dimaksud neneknya.

"Tidak selamanya warna hitam itu berarti tidak baik, karena seperti piano yang mempunyai tuts berwana putih dan hitam. Hidup itu harus seimbang agar menghasilkan nada indah seperti piano."

Chanyeol pada usia sepuluh tahun itu hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa bisa mengerti makna yang ada pada ucapan neneknya. Tapi Chanyeol pada usia sepuluh tahun itu telah menganggap musik sebagai dunianya yang lain.

"Dunia yang hanya bisa Chanyeol mengerti." Begitu kata ayahnya.

Chanyeol mencoba menyesuaikan hidupnya, antara dunia nyatanya dan dunianya sendiri. Berat memang tapi Chanyeol ingin bisa menjalani hidupnya seperti tuts-tuts piano yang berdampingan hingga bisa menghasilkan nada yang indah.

First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang