3. Terlambat

162 12 62
                                    

Gebi sedang duduk di angkot menuju sekolahnya. Dia duduk sambil menggoyangkan ke dua kakinya dan menggigit kuku tangannya. Gebi melirik jam tangan kesayangannya yang berwarna merah jambu itu, jamnya menunjukkan pukul tujuh tiga puluh pagi. Sedangkan di sekolah bel masuk berbunyi pukul tujuh lima belas menit. Gebi semakin cemas duduk di angkot.

"Padahal udah enggak mandi juga masih telat. Gimana kalau gue mandi setiap hari ke sekolah ya? mungkin telat tiap hari," kata Gebi di dalam hati, kakinya masih juga tidak bisa diam. Gebi terus menatap jalanan dari kaca supir angkot. Kebetulan dia duduk di belakang supir angkot.

"Kenapa, Adi ninggalin gue? jahat banget sih jadi sepupu," lirih Gebi pelan. "Bang!! berhenti di sini bang!!" Gebi menghentikan supir angkot ketika sudah sampai di depan gang sekolahnya.

Gebi bergegas turun, kemudian membayar ongkos angkotnya. Dia berlari secepat mungkin setelah membayar ongkos. "Boleh pinjem jurus seribu bayang nggak, Naruto?" teriak Gebi pada dirinya sendiri tanpa perduli di lihat para warga yang sedang berjalan di sekitar gang tersebut.

Gebi sampai di depan pagar sekolah. Dia mengembuskan napasnya yang ngos-ngosan. Bahunya turun ketika melihat pagar sekolahnya yang sudah tertutup dengan cantik. "Mati gue!" umpat Gebi pada dirinya sendiri. Matanya celingak-celinguk melihat sekitar pos satpam.

"Mang Udin!" teriak Gebi ketika melihat Mang Udin ada di pos satpam. "Bukain dong! Gebi mau masuk! bukain ya Mang Udin yang tampan." Mohon Gebi dengan muka melasnya.

"Neng Gebi kok bisa terlambat?" tanya Mang Udin.

"Yaa bisa, mang. Namanya juga manusia biasa. Bukain dong, Mang Udin!" Gebi menyatukan telapak tangannya memohon dan mengedip-ngedipkan mata kepada Mang Udin.

Kalau sudah begini, mana bisa Gebi irit bicara seperti ketika bersama Bilal. Sebenarnya Gebi bukan tipe anak yang irit bicara, cuman ketika bersama orang asing, dia bisa berubah menjadi pendiam. Tidak tau kenapa dan mengapa. Dia seperti malas ketika di ajak berbicara dengan orang asing, dia juga tidak tau mau merespon mereka seperti apa. Jadi seperti itulah ketika dia bersama Bilal.

Terdengar suara langkah kaki yang sedang berlari menuju di mana Gebi dan Mang Udin berada. Ketika suara langkah kaki itu berhenti di samping Gebi. Gebi melihat ke arah samping. Mukanya langsung berubah menjadi datar.

"Haii...," kata Bilal yang berada di samping Gebi. "Ketemu lagi kita." Bilal menyengir melihatkan giginya yang putih.

Gebi mengembuskan napas sabar. Kenapa dia ketemu lagi dengan mahluk seperti ini lagi. "Lo lagi ya," kata Gebi sambil tertawa miris.

"Keliatannya kita emang jodoh deh, selalu di pertemukan di manapun," ucap Bilal masih dengan cengiran konyolnya. "Gue anggap pertemuan ke tiga ini kebetulan, tapi kalau kita ketemu lagi, mungkin jodoh." Bilal terkekeh dengan ucapannya sendiri.

Mang Udin yang ada di sana hanya melihat bingung dengan apa yang mereka bicarakan. Mereka seolah lupa dengan ke hadirannya. Apa memang benar, kalau yang ketiga itu setan, makanya Mang Udin tidak kelihatan di mata mereka.

"Neng Gebi mau masuk enggak sama, Mas Bilal?" tanya mang Udin ke pada mereka. Seakan tersadar dengan ke hadiran mang Udin, mereka menoleh ke arah Mang Udin sambil mengangguk dua kali.

"Yaudah masuk, tapi lapor ke meja piket ya!" Suru Mang Udin sambil membuka pintu pagar. Mereka mengangguk sebanyak dua kali lagi. Kemudian masuk bersama melewati si orang ketiga tersebut.

Gebi tersadar, kepalanya menoleh ke arah Mang Udin yang sudah di lewati. "Makasih, Mang Udin yang tampan tapi bohong," teriak Gebi kepada Mang Udin. Gebi memberikan senyuman lebarnya kepada Mang Udin yang sekarang mukanya pura-pura masam.

Bilal yang di sebelahnya tertegun sebentar melihat senyuman Gebi barusan. Manis, pikirnya.

***

Setelah menghampiri meja piket, mereka di suruh mengutip sampah yang ada di halaman belakang sekolah. Di sekolah mereka banyak tumbuh pepohonan, apa lagi di halaman belakang. Kebayang seberapa banyak daun yang gugur.

Gebi melihat daun yang gugur dengan lemas. Kepalanya menunduk melihat tong sampah kecil yang ada di tangan kirinya, sedangkan sapu di tangan kanannya. Matanya beralih menatap Bilal yang tidak membawa apa-apa.

"Ck...," decak Gebi kuat. Dia menyodorkan sapu ke pada Bilal

"Apa?" tanya Bilal.

"Ambil!!"

"Apa yang di ambil? sapu?" tanyanya dengan raut muka yang ke bingungan.

"Iyalah! emang lo mau ngambil apa lagi," sewot Gebi masih menyodorkan sapu ke arah Bilal.

Bilal mengambil sapu tersebut masih dengan raut bingung. "Lo nyuruh gue nyapu?" tanya Bilal setelah mengerti maksud Gebi.

"Iya. Kenapa? lo gak bisa nyapu ya?!" tuduh Gebi dengan sinis. "Dasar anak Mami!" Sambungnya.

"Bisa lah," kata Bilal dengan cepat, takut harga dirinya di lecehkan. "Lagian gue emang anak Mami. Emang lo bukan anak Mami?" tanyanya pura-pura bodoh.

"Bodo amat apa kata lo. Mending lo sapu sekarang itu daun, biar gue yang ngutip. Abis itu gue buang ke tong sampah. Buruan!!" Perintah Gebi dengan mendorong bahu Bilal.

"Enak aja lo. Ini sih enak di lo susah di gue," sungut Bilal ke pada Gebi. Dia menyodorkan kembali sapu tersebut ke pada Gebi.

"Udah, sapu aja kenapa sih!! ngalah sama cewek dapet pahala lo entar. Apa lagi ceweknya kayak gue." Gebi mendorong sapu tadi kepada Bilal.

"Diih... gue pikir gue aja yang suka narsis, ternyata lo juga." Bilal menggeleng tak habis pikir. Padahal, ketika mereka bertemu lagi di Minimarket semalam, Gebi masih jutek padanya. "Jangan-jangan ini anak salah minum obat." Pikir Bilal di dalam kepalanya.

Gebi memutar bola matanya malas. "Udah sapu buruan!! biar cepat selesai." Gebi mendorong bahu Bilal lagi.

"Iya, iya. Cerewet dasar!" Malas beredebat lagi, Bilal menuruti saja apa kata Gebi. "Orang cakep ngalah aja mah." Puji Bilal pada dirinya sendiri. Tidak lupa dia mendirikan jambulnya yang tidak seberapa itu.

Gebi mendengus melihat Bilal melakukan itu. "Ada ya manusia kayak gini," gumam Gebi pelan dan menggeleng kehabisan kata-kata melihat kelakuan Bilal.

Mereka mulai mengerjakan tugas masing-masing. Bilal menyapu, Gebi mengutip daun yang sudah di kumpulkan Bilal. Begitu seterusnya sampai angin menghamburkan daun yang sudah di sapu.

"Kalau mau ngasih angin bilang-bilang dulu," teriak Bilal kesal entah kepada siapa. Dia menatap lesu daun yang berserakan lagi. Bilal berdiri tegak kemudian membungkuk lalu berdiri tegak lagi dengan tangan kiri di pinggang. Dia merasa pinggangnya mulai sakit. Soalnya, sapu yang di gunakannya lebih pendek dari sapu pada umumnya. Pegangan dari sapu tersebut sudah patah. Entah mahluk apa yang mematahkannya.

Gebi melihat Bilal miris. Lalu Gebi kembali mengutip daun yang berserakan.

Bilal melanjutkan menyapu daun sambil menggerutu. Sesekali dia melirik Gebi yang sedang berjongkok mengutip daun.

Gebi merasa ada yang melihat dirinya, dia melihat ke arah Bilal yang ternyata sedang menatap ke arahnya . Bilal mengedipkan sebelah matanya ke pada Gebi. Gebi yang melihat memasang ekspresi jijik.

Bel pelajaran ke dua berbunyi. Gebi bergegas membuang daun yang ada di tong sampah kecilnya ke tempat pembuangan sampah. Setelah selesai dia bergegas meninggalkan Bilal yang juga sedang meletakkan sapu sembarangan.

Bilal melihat Gebi pergi, kemudian dia memanggil Gebi. "Kerupuk sanjay." Gebi berhenti berjalan, dia menoleh ke arah Bilal. "Lo mau ke kelas?" tanya Bilal yang di angguki Gebi.

"Yaudah, hati-hati ya yang!" Cengir Bilal setelah mengatakan itu. Kemudian dia beranjak dari sana.

Gebi yang mendengar itu bergidik geli. Lalu berbalik melanjutkan perjalanannya menuju kelas.

***

Maaf typo dan segala kekurangan yang ada di cerita ini.

Dumai, 16 Maret 2018

Gebi #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang