27. Tak Menentu

41 4 0
                                    

Gebi terduduk di kursi halte yang berada di gang rumahnya. Dia tidak tau ingin kemana, yang pasti dia tidak ingin bertemu kedua orang tuanya untuk saat ini. Dia menatap kosong jalanan yang dilalui mobil dan kendaraan lainnya. Di tengah ke ramaian ini, dia tidak merasa kebisingan. Seolah dia berada di dunianya sendiri.

Gebi merenung, di kepalanya berisi banyak pertanyaan kenapa orang tuanya ingin berpisah. Dia tau keluarga memang jarang berkomunikasi satu sama lain. Dan dia juga baru beberapa bulan ini sering berbicara dengan mamanya. Tapi apakah karena itu orang tuanya bercerai? Gebi bertanya-tanya di dalam hatinya.

Kenapa papanya ingin bercerai? berulang kali pertanyaan itu terpikir olehnya. Dan kenapa mamanya setuju, dan menanggapi hal ini biasa saja. Seolah ini semua sudah direncanakan. Tiba-tiba pikiran Gebi melayang saat dia melihat papanya bersama wanita lain. Pikiran buruk tentang papanya sudah berkeliaran di dalam kepala Gebi.

"Papa selingkuh," gumamnya. Matanya masih terus menatap kosong ke arah jalan raya. Di sekelilingnya orang berlalu-lalang. Sesekali mereka melihat Gebi seperti orang yang hidup segan mati tak mau.

"Lalu siapa anak kecil yang bersama mereka?" tanya Gebi pada dirinya sendiri. Kepalanya terus di hampiri dengan pikiran-pikiran negatif. Otaknya seakan tidak bisa berpikir dengan baik.

Gebi terisak ketika memikirkan keluarganya yang akan hancur. Isakkan itu lama-lama menjadi tangisan yang memilukan. Orang yang berjalan melewati halte tersebut melihat Gebi dengan bingung. Gebi juga tidak peduli dengan orang-orang yang melihatnya saat ini. Dia masih terus menangis.

"Belum cukup kah kau buat aku kekurangan kasih sayang dari kedua orang tua ku, Tuhan? Belum cukup kah kau buat aku merasa sendiri? dan saat ini kau membuat aku lebih sakit, harus kah mereka bercerai Tuhan?" Gebi menatap miris ke arah langit.

Dia menarik napas, lalu mengembuskannya. "Apalagi yang akan engkau renggut dari diriku? bahkan di saat aku belum memilikinya. Aku baru saja berbaikan dengan mamaku, dan sekarang aku harus merasakan sakit lagi." Gebi menangis menatap ke langit. Dia menyampaikan apa yang dia rasakan kepada sang pencipta.

Gebi berusaha menghentikan tangisannya, dia menyadari kalau dia menangis di tempat yang tidak seharusnya. Dia menghapus air matanya dengan punggung tangan. Lalu dia berdiri dan melangkahkan kakinya untuk pulang.

Gebi berjalan menunduk, dia melihat sendalnya yang berwarna hitam. Dia tau, jika sesuatu tidak cocok, maka lebih baik mereka berpisah. Sama seperti sendal, jika tidak sesuai dengan pasangannya, sendal itu akan aneh jika digunakan. Tapi sungguh dia tidak ingin kelurganya berantakan.

Dia masih mendambakan sesosok papa yang perhatian pada anaknya, mengantar anaknya, bermain dan melakukan hal lainnya bersama-sama. Dia ingin memiliki papa seperti papa Sasa yang selalu memperhatikan anaknya. Dia berharap waktu kecil papanya akan seperti papa temannya. Tapi hingga remaja dia belum merasakan sosok seorang papa pada diri papanya.

Gebi berhenti di depan pagar rumahnya. Dia menatap rumahnya dengan pandangan miris. Dia melihat halaman rumahnya, seketika bayangan waktu dia kecil bermain sendiri terbayang di kepalanya. Dia melihat pohon mangga yang ada di halaman rumahnya. Dia mengingat saat dirinya terjatuh di sana dan tidak ada yang membantunya. Semua dia lakukan sendiri.

Gebi menyentuh besi pagarnya, dia teringat ketika mendapat juara di kelas dua sekolah dasar pada saat itu. Dia bahagia dan ingin memberitahu kedua orang tuanya. Dia menunggu orang tuanya dari sore hingga malam di panggar rumahnya. Tanpa kenal lelah dia masih terus menunggu, hingga kedua orang tuanya pulang di malam hari. Dia memperlihatkan hasil juaranya dengan semangat, tapi apa yang dia dapatkan. Dia hanya mendapatkan satu kata dari kedua orang tuanya "bagus" kata mereka dengan muka datarnya. Tidak taukah mereka Gebi pada saat itu sangat antusian dan mereka hanya merespon seperti itu. Hati siapa yang tidak sakit, bahkan pada saat itu Gebi masih kecil. Tentu saja dia sangat ingin di puji oleh kedua orang tuanya.

Gebi menghela napas, dia bertambah sakit ketika mengingat kenangannya selama ini. Dia sumgguh benci melihat dirinya yang selalu sendiri. Dia benci melihat kedua orang tuanya sangat sibuk. Bahkan saat ulang tahunnya kemarin, papanya tidak ada mengucapkan sepatah kata pun. Dia tidak mengharapkan hadiah dari papanya, dia hanya ingin merasakan kasih sayang dari papanya. Tapi faktanya papanya terlalu cuek dengan dirinya.

Gebi melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul sembilan malam. Gebi mengurungkan niatnya untuk masuk. Dia memilih duduk di depan pagar rumahnya. Sekali lagi dia menatap pintu rumahnya yang tertutup. Lihat!! bahkan kedua orang tuanya tidak ingin repot-repot mencari dirinya. Sungguh tidak berharga kah dirinya.

Gebi kembali menitikkan air mata. "Kalau gue enggak berharga di mata mereka kenapa gue ada? kenapa mereka mempunyai gue? apa gue ini adalah kesalahan yang mereka buat? makanya mereka tidak menginginkan gue?" Gebi bertanya-tanya, dia menenggelaokan kepalanya di kedua lutunya. Dia memeluk dirinya sendiri, seolah dia tidak punya siapa-siapa kecuali dirinya.

"Hiks...hiks... salah ku apa? kenapa Tuhan memberikan aku cobaan seperti ini. Dosa besar apa yang aku lakukan?" Gebi bergumam lirih. Di tengah kesunyian ini, dia meluapkan semua beban yang dia derita selama ini. Dia menangis sepuasnya hingga larut malam.

Gebi merasakan kantuk akibat menangis. Dia melihat jamnya yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Dia menguap, lalu berdiri dari duduknya. Kemudian dia melangkahkan kakinya menuju pagar, dibukanya pagar tersebut lalu dia melangkah masuk.

Sampai di pintu rumah dia sedikit ragu ingin membukanya. Apakah orang tuanya masih berada di luar? dia tidak ingin bertemu. Perlahan Gebi membuka pintunya. Dia mengintip di balik pintu yang dia buka sedikit. Kepalanya melihat sekeliling ruang tamu, dia menghela napas lega. Orang tuanya tidak ada, dia masuk kemudian menutup pintu perlahan.

Gebi berjalan pelan-pelan agar tidak menimbulkan suara. Di tengah ruang tamu gebi berhenti sebentar. Matanya melirik poto keluarga, di sana papa dan mamanya menampilkan senyum menawan. Seolah mereka keluarga bahagia. Gebi mendungus melihat poto itu, kemudian dia melanjutkan perjalanannya menuju kamar.

Gebi membuka pintu kamarnya, lalu dia masuk dan berbaring di atas tempat tidurnya. Lihat 'kan orang tuanya tidak mencemaskannya. Mungkin kalau Gebi tidak pulang ke rumah mereka tidak akan khawatir.

Gebi lelah menghadapi hari ini, padahal dia baru bersenang-senang dengan sahabatnya. Tapi itu semua sirna ketika mendengar berita buruk. Gebi mengembuskan napasnya lelah, percuma dia menangis, tangisannya tidak akan merubah apa pun.

Gebi memejamkan matanya mencoba mencari ketenangan. Dia lelah fisik dan batin. Pikirannya juga tidak jernih. Dia menguap, lalu jatuh tertidur lelap. Mencoba melupakan sejenak masalah yang kini sedang dia alami.

*****

Maaf typo dan segala kekurangan yang ada di dalam cerita ini.

Dumai, 9 April 2018

Gebi #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang