29. Mendapat Sandaran

50 4 0
                                    

Sudah dua jam Gebi mengelilingi kota Bandung dengan motornya. Dia tidak tau ingin ke mana, pikirannya kacau. Hatinya hancur berkeping-keping menerima fakta yang baru saja dia terima. Gebi menangis di atas motornya sambil berusaha fokus mengendarai motor yang tidak tau akan dia bawa ke mana.

"AAAAAAAAAA...." Gebi berteriak di atas motornya tanpa peduli sekarang dia berada di mana. Orang-orang yang juga berkendara di sekitar Gebi melihatnya dengan terkejut ketika mendengar teriakan putus asa Gebi.

*****

Adi berlari memasuki rumah Gebi dengan terburu-buru. Dia khawatir dengan keadaan Gebi setelah mengetahui fakta itu. Hati siapa yang tidak hancur melihat keluargany sperti itu, bahkan papanya... bahkan sudah memiliki anak dari wanita lain.

Bilal dan Sasa beserta Udin memasuki rumah Gebi dengat raut eajah khawatir. Setelah Adi memberitahu Sasa bahwa Gebi sedang kacau mereka langsung menuju rumah Gebi. Udin entah bagaimana bisa ikut mereka.

"Tan... Gebi pergi dari rumah dari kapan?" Adi bertanya cemas. Dia datang menghampiri mama Gebi yang terduduk sedih di sofa. Mamanya tidak beranjak setelah meneriaki Gebi berulang kali tadi.

"Adi!! kamu cari Gebi ya, Di. Tanye mohon." Mama Gebi berdiri memegang lengan Adi dengan erat. Dia takut dengan keadaan Gebi. Dia tidak ingin terjadi hal yang tidak-tidak pada anaknya. Padahal tanpa dia sadari, dia yang sudah membuat anaknya seperti itu.

Bilal bergegas keluar rumah Gebi setelah mama Gebi memohon mencari Gebi. Tanpa di minta Bilal akan mencarinya, masalahnya dia tidak tau Gebi pergi ke mana. Bilal langsung menghidupkan motornya dan melaju dengan cepat. Udin yang mengejar Bilal berteriak memanggil dirinya, tapi sayang Bilal tak mendengarnya. Pikirannya sudah di penuhi dengan nama Gebi.

"Kamu di mana, Geb?" Bilal melihat sekeliling jalan raya yang dia lalui. Matanya tidak hanya terfokus ke depan. Dia harus segera menemukan Gebi sebelum terjadi hal yang buruk padanya.

*****

Gebi meresa lelah berkendara, sudah lebih tiga jam dia memutari jalan yang tidak dia kenali. Matanya melihat pasar malam yang berada di tengah lapangan. Dia meminggirkan motornya untuk menuju ke sana. Lagi pula dia tidak punya tujuan, dari pada harus ke tempat yang tenang Gebi memilih tempat yang ramai. Dia takut melakukan hal yang tak terduga bila di tempat yang tidak ada orangnya.

Gebi turun dari motornya, membuka helm dan meletakkan helm itu sembarangan di atas stang motornya. Gebi melangkahkan kaki memasuki area pasar malam tersebut. Dia berkeliling-liling di sekitar. Matanya banyak melihat anak kecil yang tertawa bahagia bersama orang tuanya ketika menaiki wahana yang mereka inginkan.

Gebi menjadi sedih, dia tidak pernah ke pasar malam bersama orang tuanya. Menaiki permainan yang ada di sana saja dia tidak pernah hingga dewasa. Gebi lelah, dia memilih duduk di bangku yang ada di bawah lampu. Dia duduk di sana sendirian, menatap kosong ke arah keramaian.

"Kenapa Tuhan jahat sama gue." Gebi terisak, dia tidak bisa membendung air matanya yang sudah berkumpul dari tadi.

"APA SALAH KU, KENAPA KAU TEGA MELAKUKAN INI PADA KU TUHAN. KENAPA AKU MEMILIKI PAPA SEPERTI ITU. LEBIH BAIK AKU TIDAK PUNYA PAPA DARI PADA HARUS MEMILIKI PAPA BRENGSEK SEPERTI DIA." Gebi berteriak di dalam hati melihat ke arah langit. Dia tidak mungkin berteriak di tempat ramai.

Gebi menangis sejadi-jadinya, punggungnya bergetar hebat. Akibat tangisannya yang seperti itu Gebi tersedak air liurnya sendiri. Dia tidak bisa berkata. Gebi terkejut ada yang memeluknya tiba-tiba. Dia mendongak dan melihat Bilal menatapnya penuh khawatir.

Bilal terkejut melihat penampilan Gebi yang sudah menyedihkan. Apalagi tangisan yang dia keluarkan sungguh memilukan. Dia tidak sanggup melihat Gebinya seperti itu. Langsung saja dia memeluk Gebi dengan erat.

Gebi semakin menangis di pelukan Bilal. Tidak peduli dia sedang menangis di hadapan cowok yang iya suka. Tidak peduli Bilal akan berpikir apa tentangnnya. Tidak peduli baju Bilal basah karenanya. Yang dia pedulikan adalah, sekarang dia memiliki sandaran dia tidak sendiri lagi.

Bilal meresakan hatinya berdenyut sakit melihat Gebi seperti itu. Dia menepuk-nepuk punggung Gebi dengan sayang. Sesekali dia mengecup rambut Gebi, dia berusaha membuat Gebi nyaman di dalam pelukannya.

"Kenapa Tuhan jahat sama gue, Bil? apa salah gue?" Gebi bertanya pada Bilal yang sedang dia peluk.

Sebelum menjawab, Bilal mengusap-usap rambut Gebi. "Tuhan sayang sama kamu, Geb. Makanya dia beri kamu cobaan, dia ingin menguji umatnya yang dia sayang. Mampukah umat yang dia pilih melewati ujian yang dia berikan. Semakin berat ujian yang dia beri, semakin sayang dia sama umatnya. Sama seperti kamu, Geb."

Untuk sesaat Gebi terdiam mendengar perkataan Bilal. Dia berusaha mencerna baik-baik apa yang di katakan mahluk berjambul itu.

"Kamu harus tau, Geb. Tidak mungkin dia memberi ujian yang tidak bisa di lalui umatnya. Dia yakin umatnya bisa melalui ini semua, sekarang tergantung kamu sendiri ingin berhenti di sayanginya atau ingin lebih dia menyayangi kamu." Bilal mengucapkan itu dengan lembut. Dia berharap Gebi berhenti bersedih.

Gebi mendongak menatap Bilal takjub. Tidak menyangka Bilal yang suka membuatnya kesal bisa mengatakan itu semua. Bahkan sekarang dia berada di pelukan Bilal. Gebi menjauhkan badannya untuk melepaskan pelukan mereka.

Bilal yang melihat pergerakan Gebi menurut saja. Lalu kedua tangannya menangkup wajah Gebi yang masih ada air matanya, lalu diusapnya dengan lembut.

"Kamu harus kuat, Geb. Aku tau ini berat buat kamu. Aku juga tidak mengerti dengan pemikiran orang dewasa karena kita belum memasuki usia dewasa. Tapi percayalah, keputusan yang orang tua kamu ambil itu sudah melewati pemikiran yang baik. Mereka tidak mungkin sengaja membuat kamu sakit, mungkin itu pilihan yang terbaik untuk saat ini. Kamu juga masih mempunya orang tua lengkap walau pun sudah tidak lagi tinggal serumah." Bilal menatap mata Gebi dengan sayang. Sungguh lega melihat Gebi sudah berhenti menangis.

Gebi memikirkan semua ucapa Bilal. Apa yang dikatakan Bilal memang ada benarnya. Gebi membalas tatapan Bilal yang sedang menatap matanya. Lalu dia mengangguk perlahan, untuk memberi tau Bilal bahwa dia mengerti apa yang dia katakan. Dia juga akan berusaha menerima semuanya, dia tidak ingin hatinya terbeban hanya karena ingin membenci orang tuanya. Termasuk papanya yang saat ini sangat dia benci. Cukup beban yang ada di hatinya sekarang adalah menyukai manusia yang berada didepannya ini.

Bilal tersenyum melihat Gebi yang sudah mengerti dan mencoba menerima apa yang sudah terjadi. Tangannya masih berada di wajah Gebi. Dia menarik Gebi kedalam pelukannya lagi.

"Terima kasih untuk tidak terluka, Geb." Bilal mengembuskan napas lega.

*****

Maaf typo dan segala kekurangan yang ada di dalam cerita ini.

Dumai, 12 April 2018

Gebi #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang