7. Nasib Udin

78 5 0
                                    

Tidak terasa sudah satu bulan Gebi berada di kelas XI Ipa 1. Hari-harinya berjalan dengan cukup baik satu bulan ini. Tapi tidak tau apa yang akan terjadi dikemudian hari. Apa lagi Putri yang masih melihat Gebi sinis ketika mereka berpapasan. Untungnya Putri tidak melakukan bullying kepada Gebi. Tapi tidak tau untuk kedepannya. Gebi hanya mencoba menjalani harinya sebagai mana mestinya.

Saat ini Gebi sedang berada di kamar memakai seragam sekolah. Setelah di rasa cukup dengan penampilannya, dia menuju meja makan untuk sarapan. Gebi melihat sekitar meja makan, dan dia tidak menemukan papanya. Yang ada di sana hanya mamanya yang sedang menuangkan segelas susu putih.

"Papa ke mana, Ma?" Gebi bertanya ke pada mamanya. Dia menarik kursi dan duduk, lalu mengambil piring untuk di isi dengan nasi goreng buatan mamanya.

"Papa udah pergi kerja, Geb," ucap mama Gebi sambil memberikan segelas susu putih ke anak semata wayangnya.

Gebi mengangguk saja untuk menanggapi perkataan mamanya. Selalu seperti itu batin Gebi.

"Kamu enggak mandi lagi ke sekolah, Geb? kamu kok jorok banget jadi cewek sih!" omel mama Gebi. Mamanya selalu mengingatkan anaknya itu untuk mandi. Dia heran kenapa Gebi bisa malas mandi kalau pagi.

"Terlambat untuk memperhatikan aku. Waktu aku belum bisa mengurus diri aku sendiri Mama di mana. Di saat aku membutuhkan Mama ku untuk mengurusi aku ketika masuk sekolah dasar Mama di mana? kalian hanya sibuk dengan pekerjaan kalian. Sekarang aku sudah bisa mengurus diriku sendiri. Jadi tidak perlu repot-repot." Gebi manarik napasnya perlahan.

"Jadi jangan salahkan aku yang akhirnya menjadi seperti ini." Gebi beranjak dari kursinya. Lalu dia menghampiri mamanya untuk bersalaman dan pergi ke sekolah. Adi sudah menunggunya dari tadi dengan membunyikan klakson motor Scoopynya.

Mama Gebi melihat anaknya berjalan keluar rumah. Dia memandang anaknya sedih. Ini salahnya yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Seharusnya dia mendampingi Gebi di saat Gebi membutuhkannya. Dia jadi terbayang ketika Gebi yang masih duduk di kelas 2 sekolah dasar meminta dia memakaikan sepatu. Tapi malah dia abaikan. Tiba-tiba ingatan tentang dia yang menelantarkan Gebi menyerangnya untuk mengingat apa saja yang telah dia perbuat kepada Gebi anaknya. Mama Gebi terisak. Seolah tertampar dengan perkataan Gebi.

Sementara di luar rumah Adi mengomel kepada Gebi yang lama sekali.

"Lama amat sih! nanti telat gue lagi yang lo salahin." Adi menyemprot Gebi.

"Haha... maaf, yaudah jalan kang ojek!" seru Gebi ketika sudah menduduki motor matic Adi.

"Kang ojek pala lo." Adi kembali mengomel. Kemudian dia menarik pedal gas motornya menuju sekolah.

Gebi yang duduk di belakang mengusap air matanya yang jatuh di balik kaca helm yang di berikan Adi tadi. Sebenarnya dia tidak tega berkata seperti itu kepada mamanya. Tapi perkataan itu terlontar sendiri tanpa bisa di cegah. Gebi terisak di balik punggung Adi. Bahunya naik turun akibat isakannya. Adi yang melihat Gebi menangis hanya membiarkannya saja. Mungkin dengan menangis Gebi bisa merasakan sedikit bebannya hilang.

Tidak mau Gebi merasa sendiri, Adi menarik tangan Gebi untuk memeluknya dan menyandarkan kepala Gebi dipunggungnya. Setidaknya itu yang bisa diberikan Adi untuk saat ini.

Gebi semakin terisak di punggung Adi, pegangannya juga mengencang. Adi melepaskan satu tangannya dari stang motor, kemudian dia menepuk-nepuk tangan Gebi yang berada dipinggangnya.

***

Mereka sampai di parkiran sekolah dengan posisi yang sudah berbeda. Gebi tidak lagi memeluk Adi, tangisannya juga sudah tidak ada. Hanya mata sembab Gebi yang kelihatan habis menangis.

Adi turun dari motornya yang di ikuti Gebi. Dia melepaskan helmnya kemudian melepaskan helm yang di pakai Gebi. Adi menatap mata Gebi.

"Udah enggak apa-apa?" Adi bertanya sambil mengusap mata sembab Gebi.

Gebi hanya merespon pertanyaan Adi dengan mengangguk.

Adi meletakkan helm mereka di motor. Kemudian melihat ke arah Gebi. "Yaudah, ayok ke kelas kalau gitu." Adi menarik tangan Gebi.

Di sepanjang jalan menuju kelas Gebi hanya diam. Adi juga ikutan diam. Dia tidak tau harus berbuat apa di saat orang lain sedih. Jadi dia memilih ikutan diam. Lagi pula ada pepatah yang mengatakan "Diam adalah emas" pepatah ini pula yang menguatkan pilihan Adi untuk diam.

"Gebi...," teriak Sasa memanggil Gebi yang berjarak beberapa langkah darinya. Sasa berlari menghampiri Gebi.

"Ada, Sasa. Gue duluan ya, Geb." Adi mengusap kepala Gebi. "Jangan sedih-sedih lagi, oke!!" Adi mengacungkan dua ibu jarinya. Gebi mengangguk membalas perkataan Adi dengan memberi senyuman tipis.

Sasa sampai di hadapan Gebi. Dia memperhatikan muka Gebi yang berbeda. Kemudian matanya melihat Adi yang sudah berjalan menuju kelasnya.

"Lo kenapa, Geb? kok kayak habis nangis gitu." Sasa bertanya penasaran kenapa mata Gebi sembab.

"Gue enggak apa-apa kok, Sa." Gebi menjawab pertanyaan Sasa sambil menggadeng sahabatnya itu menuju kelas mereka.

"Bohong lo! lo di sikasa sama, Adi? kasih tau gue aja," tuduh Sasa kepada Adi yang sudah hilang di koridor.

"Bukan iih. Malu gue mau bilangnya."

"Loh, kenapa mesti malu sih?" Sasa bertanya heran.

"Ya gitu... gue nangis karena liat Oppa Goblin mati di tarik pedangnya." Gebi melirik Sasa takut kebohongannya terbongkar.

"Yaelah, Geb. Gue juga nangis kok waktu adegan itu. Sedih tau." Sedih Sasa ketika mengingat adegan drama korea tersebut.

Gebi mendesah lega. Untungnya Sasa gampang dibohongin. Sementara itu Sasa masih mengoceh bagaimana sedihnya pasangan Goblin itu ketika menyabut pedangnya. Gebi hanya mendengarkan Sasa, sesekali dia mengangguk-ngangguk merespon perkataan Sasa. Padahal sejujurnya Gebi tidak terlalu menyimak apa yang diceritakan Sasa.

***

Gebi dan Sasa sampai di depan kelas mereka. Udin yang baru saja datang tak sengaja menyenggol bahu Sasa ketika menuju kursinya.

"Eeh... maaf-maaf, Sa." Udin meminta maaf kepada Sasa.

"Iya enggak apa-apa," balas Sasa sambil tersenyum manis ke arah Udin.

"Subhanallah... nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan," gumam Udin menatap Sasa kagum.

"Huh?" Sasa bingung dengan apa yang dikatakan Udin. Gebi yang ada di samping Sasa tergelak mendengar perkataan Udin.

"Eeh... bukan apa-apa. Sekali lagi sorry," kata Udin yang di balas anggukkan oleh Sasa. Kemudian Udin melangkahkan kaki menuju kursinya yang sedang di duduki Bilal.

"Awas lo Badak berjambul!" usir Udin kepada Bilal yang masih berbicara dengan Rafi. Bilal berdiri dari kursi Udin meski dia enggan. Lagi seru-serunya cerita malah di ganggu.

Bilal yang masih berdiri di belakang kursi Udin menatap Udin heran. "Tumben lo pakek poni, Din. Biar apa kayak gitu?" tanya Bilal.

"Kenapa? ganteng gue 'kan." Udin nyengir ke arah Bilal. Dia meletakkan tasnya di sandaran kursi. Udin berniat untuk duduk. Tapi sayang, pantatnya tidak mendarat di kursi melainkan di lantai. Bilal yang berhasil mengerjai Udin terbahak. Gebi dan Sasa yang sudah duduk di kursi mereka terbahak melihat Udin yang terduduk di lantai. Jangan lupakan mahluk yang ada di kelas juga ikut tertawa melihat Udin.

"Bilal mahluk laknat!!" teriak Udin kesal. Udin mengejar Bilal yang sudah lari terlebih dahulu. Teman sekelas mereka yang melihat kelakuan Bilal dan Udin kembali tertawa.

"Enyah lo dari muka Bumi ini!" teriak Udin yang tidak berhasil menangkap Bilal.

***

Maaf typo dan segala kekurangan yang ada di dalam cerita ini.

Dumai, 20 Maret 2018

Gebi #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang