15. Kacau

50 4 0
                                        

Gebi duduk sendiri di ruang BK. Dia menunduk melihat tangannya yang gemetar. Dia takut, bingung semua campur aduk. Matanya sudah berkaca-kaca dari tadi. Air matanya sudah menggenang di pelupuk mata.

Pintu di buka, Bu Yanti masuk lalu duduk di hadapan Gebi. Dia menatap Gebi lama. Mukanya melihatkan raut wajah tidak tega. Dia mendesah pelan.

"Kamu tau apa kesalahn kamu, Gebi?" Bu Yanti bertanya dengan tegas.

Gebi mendongak melihat Bu Yanti, lalu dia menggeleng.

"Terus kenapa uang kas ada di tas kamu?" Bu Yanti bertanya lagi dengan nada mengintrogasi.

"Saya tidak tau, bu" Gebi menggeleng, suaranya sudah gemetar, dia sungguh tidak tau kenapa uang kas berada di dalam tas nya. Siapa yang tega melakukan ini padanya. Dia mulai terisak.

"Kenapa kamu bisa tidak tau? ini tas kamu 'kan?" Bu Yanti bertanya lagi dengan nada sedikit naik.

Gebi mengangguk melihat tas yang ada di tangan Bu Yanti. Itu memang tasnya, tapi dia tidak melakukan hal seperti itu. Dia tidak mencuri.

"Bisa kamu jelaskan kenapa uang ini berada di tas kamu?" Bu Yanti menurunkan nada suaranya. Dia melihat Gebi yang sudah mengeluarkan air mata. Dia mendesah lagi, raut mukanya berubah menjadi tidak tega lagi.

"Saya tidak tau, bu. Saya tidak mencuri uang itu. Saya bingung, saya... saya tidak tau, bu." Gebi terisak, dia tidak tau harus menjelaskan apa kepada Bu Yanti. Punggungnya naik turun akibat isakannya.

"Ibu akan memanggil orang tua kamu," kata Bu Yanti. Dia iba melihat Gebi yang menangis.

"Jangan, bu!!" Gebi langsung mengangkat kepalanya. Dia menggeleng dengan kuat. Apa yang harus dia lakukan jika orang tuanya tau. Apa lagi dia baru berbaikan dengan mamanya. Mamanya pasti malu kalau tau anaknya melakukan kesalahan. Walau pun bukan dia yang melakukan ini.

"Terus saya harus apa,Gebi? kamu di tanya dari tadi tidak tau." Bu Yanti mendesah, dia memijit kepalanya yang mulai pusing.

Gebi terdiam, dia juga tidak tau harus melakukan apa. Isakkan tangisnya juga semakin menjadi. Ini pertama kali dia memasuki ruang BK selama dia sekolah.

"Beri saya waktu untuk membuktikan saya tidak bersalah, bu." Gebi menatap Bu Yanti penuh harap. Hanya ini yang dapat dia pikirkan untuk sekarang. Kepalanya tidak bisa berpikir dengan baik untuk saat ini.

"Kamu yakin bisa membuktikannya?" Bu Yanti melihat Gebi yang mengangguk dengan mantap. Dia mendesah lagi.

"Baiklah, saya akan memberi waktu kamu dua hari. Kalau dalam waktu dua hari kamu tidak bisa membuktikannya, maka orang tua kamu akan saya panggil," ucap Bu Yanti tak terbantahkan lagi.

Gebi ingin berbicara tapi tidak jadi. Dia takut dalam dua hari belum bisa membuktikan bahwa dia tidak bersalah. Dia ingin meminta perpanjangan waktu, tapi ketika melihat Bu Yanti sudah mau berbaik hati untuk membantunya, dia mengurungkan niatnya.

"Baik, bu," kata Gebi pasrah. Lagi pula dia tidak punya pilihan lain lagi.

"Yasudah, kamu boleh keluar!" perintah Bu Yanti. Setelah Gebi keluar dari ruang BK, Bu Yanti mendesah.

"Maafin ibu, Gebi," katanya pelan sambil melihat pintu yang sudah di tutup Gebi.

***

Gebi berjalan dengan lambat di koridor sekolah. Dia melihat sekitar lapangan yang sepi. Jam pelajaran masih berlangsung tetapi Gebi tidak ingin kembali ke kelas.

Dia berbalik menuju atap sekolah, untungnya pintu itu tidak di kunci. Gebi berjalan menuju kursi yang ada di sana. Kebetulan ada kursi dan meja yang tidak dipakai, tapi masih bisa digunakan.

Dia menatap langit yang bersinar dengan terang. Awan biru dengan tenang di atas sana, sementara awan putih bergerak karena tertiup angin.
Rambutnya yang di kucir satu bergerak kesana kemari terkena angin. Dia menarik napas dalam, lalu membuangnya. Begitu berulang kali.

Dia memikirkan semua kejadian yang terjadi di kelas hari ini. Siapa yang tega melakukan ini padanya. Apa salahnya sehingga mereka menjadikannya kambing hitam. Semua pikiran itu bersarang di kepala Gebi.

Dia bingung harus memulai dari mana untuk mencari bukti. Dia tidak tau. Air matanya sudak menumpuk di pelupuk matanya lagi. Mereka berlomba-lomba ingin keluar. Gebi tidak tahan lagi menahan air matanya. Dia menangis dengan keras, punggungnya bergetar hebat. Dia kebingungan, sedih, kecewa karena teman sekelasnya melihat dia sebagai pencuri. Semua yang dia rasakan campur aduk.

Seseorang masuk ke atap sekolah. Dia menghampiri Gebi yang sedang menangis. Tangannya menepuk-nepuk bahu Gebi pelan. Seolah memberikan Gebi kekuatan.

Gebi mengangkat kepalanya melihat siapa yang berdiri di sampingnya. Bilal tersenyum melihat Gebi yang sedang melihat kearahnya. Sudah tau siapa yang ada di sampingnya, Gebi semakin menangis.

Bilal yang melihat Gebi tambah menangis kebingungan. Dia tidak menyakiti Gebi, tetapi kenapa dia malah menangks pikir Bilal. Dia masih menepuk-nepuk punggung Gebi dengan sabar.

Sekitar setengah jam akhirnya tangisan Gebi berhenti. Dia mengelap air mata dan ingusnya dengan baju Bilal. Dia tidak peduli dengan muka Bilal yang menampilkan ekspresi jijik.

"Ngapain lo ada di sini?" Gebi bertanya dengan suara parau. Suaranya habis karena menangis.

"Suka-suka gue dong," kata Bilal tak peduli. Dia menarik bajunya yang sudah basah dan jorok.

"Lo jorok banget sih, Bi." Bilal melihat bajunya dengan jijik. Matanya kemudian beralih melihat Gebi.

Gebi terkekeh melihat muka Bilal. Apa lagi dia sudah berhasil mengotori baju Bilal. Biasanya dia yang selalu di buat kesal, tapi sekarang terbalik.

"Udah enggak nangis lagi?" Bilal betanya dengan nada mengejek.

Gebi yang mendengar Bilal mengejeknya langsung saja memukul bahu Bilal yang sekarang sudah duduk di sampingnya.

"Sana deh lo jauh-jauh," usir Gebi sambil mendorong Bilal.

Bilal yang di dorong Gebi tidak bergerak sedikit pun. Dia menahan tangan Gebi yang mendorongnya. Kemudian dia genggam tangan Gebi dengan kedua tangannya.

Gebi yang melihat Bilal seperti itu terkejut. Jantungnya tiba-tiba berdetak dengan kencang. Dia melihat tangannya yang di genggam Bilal dan sesekali di elus nya. Kemudian dia melihat Bilal dengan muka yang memerah. Bilal juga tengah menatap ke arahnya.

"Gue percaya sama lo, Bi. Enggak mungkin lo ngelakuin hal kaya gitu," kata Bilal lembut. Dia menatap Gebi teduh, tangannya masih mengenggam tangan Gebi.

Gebi masih belum sadar sepenuhnya, dia masih syok melihat perlakuan Bilal yang selembut ini padanya. Jantungnya juga tidak bisa di ajak kerja sama. Mukanya sudah bersemu. Dia menunduk tidak berani membalas tatapan Bilal yang seperti itu.

"Jangan nangis lagi! gue enggak suka." Bilal melihat Gebi yang hanya mengangguk mendengar perkataannya.

Bilal yang tidak tahan melihat Gebi yang malu-malu seperti itu langsung menarik rambut Gebi.

"Aduuh..." teriak Gebi kesal. Dia tidak malu-malu lagi seperti tadi, rona di wajahnya sudah berganti menjadi merah karena menahan kesal.

"Lo enggak cocok malu-malu kucing kayak gitu," kekeh Bilal geli melihat Gebi yang seperti itu. Dia menarik rambut Gebi lagi lalu berlari.

"Sialan lo, Bilal Saputra," teriak Gebi kuat.

****

Maaf typo dan kekurangan yang ada di dalam cerita ini.

Dumai, 29 Maret 2018

Gebi #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang