Gebi dan Sasa berjalan menuju kantin. Setelah bel istirahat mereka keluar untuk mengisi perut mereka yang sudah berbunyi. Cacing-cacing yang menghuni perut sudah minta untuk diberi makan.
"Gila si Udin ya, Geb," tawa Sasa terdengar di koridor ketika mengingat saat di kelas tadi.
Ketika Bu Dian masuk kelas, dan mereka sudah berdoa untuk memulai pelajaran, Bu Dian menyuruh mereka mengumpulkan buku pr mereka di meja guru. Setelah itu Bu Dian menyuruh mereka mengerjakan soal yang menjadi pr di papan tulis.
Udin dengan niat ingin mencari perhatian Bu Dian sudah menghalal jawaban yang akan dia kerjakan di papan tulis. Dengan percaya diri dia maju kedepan dan menulis jawabannya itu. Setelah semua maju untuk menjawab soal, Bu Dian bangkit dari kursinya menuju papan tulis untuk memeriksa jawaban anak didiknya.
Kebetulan Udin mengerjakan soal pertama, otomaris jawaban dia terlebih dahulu yang diperiksa Bu Dian. Bu Dian mengamati soal Udin, dahinya mengernyit melihat jawaban Udin yang ada di papan tulis.
"Udin!" panggil Bu Dian. "Coba maju ke depan!" perintah Bu Dian.
Udin kelihatan bingung, apa ada yang salah dari jawabannya dia bertanya dalam hati. Dengan ragu dia maju ke depan kelas menghampiri Bu Dian yang masih melihat jawabannya di papan tulis.
"Ini bukannya jawaban minggu kemarin ya?" Bu Dian bertanya kepada Udin yang bingung melihat jawabannya.
Sontak saja seisi kelas tertawa ketika sadar jawaban yang Udin tulis itu adalah jawaban minggu kemarin. Udin yang ditertawakan menunduk malu. Tangannya mencoba menghapus tulisan yang ada ditelapak tangannya.
"Percuma gue tulis ini di tangan gue. Bodoh banget si lu, Din." Udin mengutuk dirinya sendiri di dalam hati.
Kemudian dia mendongak menatap Bu Dian sambil memberikan cengirannya kepada Bu Dian untuk mengurangi rasa malunya. Dia menggaruk tengkuk lehernya yang kebetulan gatal.
"Hehehe... maaf, bu. Saya salah menulis jawaban," kata Udin menyesal. Niat hati ingin mencari perhatian Bu Dian tapi yang dia dapat malah rasa malu.
"Ooh... kalau begitu kamu tulis lagi jawaban yang benar!"
"Eeh...." Udin pucat mendengar perkataan Bu Dian. Bagaimana mungkin dia bisa menjawab kalau tadi saja dia menyalin jawaban dari buku Caca.
"Kenapa?" Bu Dian bertanya kepada Udin yang menampilkan raut muka enggan.
"Saya mau ke toilet, bu. Saya permisi udah enggak tahan, bu." Udin bergegas lari keluar kelas. Dia tidak tau mau kemana yang penting dia tidak mengerjakan apa yang diperintahkan Bu Dian.
Seisi kelas mentertawakan kelakuan Udin. Mereka mengerti kenapa Udin berlari keluar dengan alasan ingin ke toilet. Pada dasarnya dia tidak tau jawaban apa yang akan dia rulis di papan tulis.
Gebi juga tertawa ketika mengingat kelakuan Udin yang selalu membuat mereka tertawa. Sasa yang dari tadi juga tertawa menghapus sudut matanya yang berair.
Mereka memasuki kawasan kantin, tawa mereka sudah mereka coba hentikan meski sesekali mereka masih terkekeh. Gebi mencari tempat duduk sedangkan Sasa memesan makanan mereka. Setelah mendapat tempat duduk Gebi menunggu Sasa. Matanya mengitari tempat duduk kantin yang sudah hampir penuh.
Mata Gebi bertatapan dengan mata Putri, anehnya Putri tidak memandangnya sinis seperti yang sudah-sudah. Walau pun Putri langsung membuang muka ketika melihatnya. Gebi menggedikkan bahunya acuh. Toh itu bukan masalah buat Gebi.
"Gila rame banget yang antri," keluh Sasa yang tiba-tiba datang membawa pesanan mereka.
"Namanya juga kantin, Sa. Tapi lo termasuk cepat dapet pesanan," kata Gebi sambil mengambil mangkuk baksonya. Dia tadi memesan bakso beserta air mineral pada Sasa.
"Iyalah gue cepat, orang tadi si Bilal ngalah sama gue." Sasa mendudukkan pantatnya di kursi depan Gebi.
Gebi yang mendengar nama Bilal di sebut mendongak menatap Sasa. "Bilal?" tanyanya heran.
Sasa hanya mengangguk untuk memberi jawaban kepada Gebi. Dia sudah fokus untuk melahap baksonya. Lagian perutnya juga sudah minta diisi makanan dari tadi.
Gebi menatap antrian tukang penjual bakso. Matanya berkeliaran mencari Bilal, tapi tidak ditemukannya. Gebi beralih menatap penjuru kantin tapi juga tidak menemukannya. Merasa usahanya sia-sia, Gebi beralih menatap baksonya kemudian menyuapkannya kedalam mulut.
****
Gebi sampai di rumah dengan selamat diantar oleh Adi. Dia pulang bersama sepupunya itu karena Adi tidak ada kegiatan lagi di sekolah.
Gebi masuk ke dalam rumahnya kemudian menuju kamar untuk berganti baju. Dia berjalan menuju meja belajarnya untuk meletakkan tasnya. Gebi melihat kertas berisi tulisan tangan mamanya.
"Uang untuk beli sepatu yang kamu bilang kemarin sama mama ada dilaci meja belajar kamu sayang." Gebi membaca pesan yang ditulis mamanya.
Kemudian dia membuka laci meja belajarnya. Di sana sudah ada uang ratusan ribu lima lembar. Gebi tersenyum melihat uang tersebut. Akhirnya dia dapat membeli sepatu yang dia inginkan.
Dia bergegas mengganti baju untuk pergi ke mall. Dia sudah tidak sabar ingin memegang sepatu idamannya. Sebenarnya sepatu itu biasa saja tidak ada istimewanya. Hanya saja Gebi sudah jatuh cinta ketika melihatnya di mall minggu kemarin saat menemani mamanya belanja keperluan dapur.
****
Gebi sampai di parkiran maal yang ada di Bandung. Dia melepaskan helmnya setelah mendapat tempat parkir. Dengan semangat dia berjalan memasuki mall tersebut dengan hati gembira. Senyumnya juga mengembang disepanjang perjalanan menuju mall. Rasanya dia sudah tidak sabar.
Gebi menaiki lift menuju lantai tiga, di sana tempat dia melihat sepatu tersebut. Tapi dasarnya Gebi, dia lupa letak toko sepatu tersebut. Jadi dia memilih berkeliling lantai tiga untuk menemukan sepatu yang dia lihat.
Matanya melirik ke setiap toko yang dia lewati. Dia terus berkeliling mencari sepatu itu, sesekali dia mendesah karena tak kunjung juga menemukannya. Matanya melirik ke segala arah, dia terdiam di tempat ketika melihat sepatu yang dia inginkan berada di depan toko yang jaraknya dengan dia sekitar lima meter.
Gebi berlari dengan riang untuk menggapai sepatu yang sebentar lagi menjadi miliknya. Sepatu itu berwarna putih polos, tapi Gebi sungguh menyukainya. Saat tangannya sudah menyentuk permukaan sepatu itu, ada tangan lain yang juga memegang sepatu itu. Gebi mendongak untuk melihat si pemilik tangan.
Dia seorang cewek, sepertinya dia juga seumuran dengan Gebi. Di sebelah cewek itu ada seorang cowok yang berdiri menatap Gebi. Dia Bilal Saputra teman sekelasnya dan juga orang yang membuat Gebi terbawa perasaan akibat perlakuannya.
Gebi kembali melihat sepatu yang ada di tangannya. Dia menarik sepatu tersebut, tetapi seseorang juga menariknya. Terjadilah tarik-menarik di antara mereka berdua. Di saat Gebi ingin menarik sepatu tersebut dia terjatuh. Tangannya terasa licin saat menarik sepatu itu, akibatnya dia terjatuh. Cewek itu tertawa menatap Gebi.
Gebi mendesis marah. "Sialan!!" rutuknya.
Dia bangkit membersihkan pantatnya yang jatuh, matanya melirik sinis cewek yang masih tertawa itu. Kemudian matanya beralih menatap Bilal yang tengah menahan tawa. Dia melihat Bilal dengan sinis kemudian dia berdecih.
Gebi berjalan meninggalkan pasangan tersebut. Dia kesal, malu, jengkel semua menjadi satu. Dia kecewa karena tidak jadi mendapatkan sepatu yang diinginkannya.
"Dasar cowok!! udah punya cewek tapi masih juga ngebuat cewek lain baper. Kalau udah punya pacar jangan bersikap manis sama cewek lain dong!! dasar playboy sok kecakepan," Gebi menggerutu di sepanjang jalan menuju motornya. Dia kesal tidak mendapat sepatu dia juga kesal melihat Bilal bersama cewek lain. Di dalam hatinya yang terdalam, dia merasa ada secuil hati yang sakit.
****
Maaf typo dan kekurangan yang ada di dalam cerita ini.
Dumai, 4 April 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Gebi #ODOCTheWWG
Teen Fiction[BELUM DIREVISI] Ini lucu, sungguh menggelikan, di saat aku berjuang untuk mendapatkan sesuatu malah orang lain yang mendapatkan. Bukankah takdir ini lucu. Gebi salah satu siswi di SMA Harapan Jaya, sekarang duduk di bangku XI Ipa 1. Kebiasaan Gebi...