24 BOOM

10.3K 1.1K 53
                                    

🌟

HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT

Chapter 24 BOOM

🌟

Memang, bukan pertama kalinya aku bergadang. Aku hampir selalu bergadang jika keesokan harinya aku akan disodorkan pretest, postest, pleno dan ujian blok. Dan aku tahu betul limit konsentrasiku yang selalu pecah di atas jam 1 malam—pagi, tepatnya.

Jadi itulah batasnya. Belajar apapun di atas jam 1 pagi sudah tidak mungkin kuserap dengan baik.

Hal yang sama juga berlaku dengan menyusui. Setelah video call dengan dokterku berakhir dengan kami masih belum berkesempatan saling pandang, anakku puas dengan ASI yang didapat lambung kelerengnya. Bu Helena menyuruhku tidur, pun beliau tidur bersamaku, mengapit hangat bayiku.

Aku belum di fase REM ketika anakku merengek, sayup di awal, kemudian semakin masif. Tangisnya mendenging bukan hanya di telinga, tetapi juga menusuk tembus di antara kedua pelipis. Jahit episiotomi di bawah serasa terpapar garam. Aku menegak, meraih bayiku, dan membuka kancing piyama lagi. Lehernya memutar lincah dan setelah menemukan payudara kananku, dia mendadak tenang.

Aku mengembus panjang. Lelah.

Sampai pukul 7 pagi, setidaknya aku telah mengalami siklus itu berulang 7-8 kali. Aku mengamati jam dinding analog dan setiap siklusnya, aku hanya tertidur 10 menit. Itupun kalau memang aku benar tidur; atau hanya memejam dengan paksa.

Suster Merita yang menanganiku kemarin, hari ini akan mengajariku cara memandikan bayi. Aku menyeret langkah menuju ruang perawatan bayi, tanpa Elia ataupun Bu Helena. Hanya orang tua bayi yang boleh masuk, mengingat anakku tidak berayah, aku memelajari segalanya sendirian.

Aku bisa. Demi dia yang terlahir putih tanpa dosa, wujud nyata dosa tergelap ibunya.

Kuamati Suster Merita membilas si merah di dalam bak mandi bayi, tubuhnya terendam semua kecuali kepala. Tangan kiri menyangga punggung anakku, jemarinya mencengkram ketiak kiri. Cengkram itu mengamankan jika sewaktu-waktu anakku berontak. Tangan kanan menyiram dan menyeka anakku lembut, sampai kulitnya kesat.

Setelahnya, anakku dikeringkan di atas selembar handuk. Diusap minyak telon yang aromanya mengusik naluri keibuan. Lantas dipakaikan popok, kaus dalam, pakaian lengkap dengan sepasang sarung tangan dan kaki. Yang kulihat agak rumit adalah mengganti kasa untuk umbilical cord, alias tali pusat. Melihat tingkat kerapuhan kecambah itu, aku tak yakin dapat mengganti kasanya sendiri.

Aku menggeleng. Aku harus bisa. Siapa lagi yang dia miliki kalau bukan aku, ibunya. Besok aku masih memiliki satu kesempatan untuk belajar dari Suster Merita, sebelum diizinkan pulang. Aku mengepal, sekali lagi mengukuhkan mindset. OSCE dan asesmen-asesmen lain pernah berhasil kutaklukan, apa kata dokter McFord jika mengganti kasa tali pusat saja aku tidak bisa?

Bisa. Aku harus bisa.

Setelah dimandikan, mata malaikat kecilku membulat sempurna. Segaris kilat membelah miring iris pekatnya.

Persetan ayahnya, anakku sangat tampan. Setampan Papa yang mantan duta anti narkoba pada masa SMUnya.

Seharusnya aku segera kembali ke kamar, sarapan, dan tidur lagi karena aku kurang tidur. Tapi tidur jam 7 pagi nggak-Melati-banget. Maka kupeluk anakku keluar dari paviliun VVIP materna, untuk duduk di tepi kolam bening di taman. Kolam yang warnanya berbanding terbalik dengan kolam depan perpus kampusku.

Aku memosisikan diri menantang matahari, mengizinkan sinarnya memandikan tubuhku dan anakku. Kubuka selimut yang membungkus anakku, meloloskan kehangatan untuknya yang segera menggeliat ceria. Matanya menyabit karena silau. Sedangkan mataku, sekarang memejam. Aku meraup oksigen hangat di sekitar.

Hangover #1 [Repost Non-Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang