45 Permintaan

8.1K 1.1K 98
                                    

🌟

HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT

Chapter 45 Permintaan

🌟


Biru, sebiru iris dokter McFord terlihat di mana-mana sejauh mata memandang.

Gulungan renda air yang mencapai kakiku warnanya putih. Bersih. Padahal kalau diamati keseluruhan, warna alami air adalah biru. Kenapa orang terbiasa dengan sebutan "air putih" hanyalah karena jangkauan pandang kita sebagai manusia sangat terbatas. Bukan hanya pandang. Kemampuan pendengar, peraba, pencium, dan perasa manusia sempit sekali. Karena itu setiap individu bisa jadi menginterpretasikan hal yang sama namun dari sisi berseberangan.

Mengapa aku membahas hal ini?

Nggak tau.

Mungkin karena aku tertelan euforia udara asin siang ini. Melihat batas antara laut dan langit yang berkilauan. Bumi yang terpingkal heboh karena Papa menyapukan telapak kaki mungilnya ke air landai di bibir pantai. Mama yang mengangkat-angkat smartphone pada mode kamera depan, setengah memaksa Papa dan Bumi berpose. Fikar yang ngecengin pengunjung lain yang bergender perempuan muda, entah siapa. Biarkan saja bocah itu.

Aku dan Dokter memilih menu untuk makan di restonya Bu Fitri. Mama menyuruh Dokter ikut andil memilih kudapan karena tak mengerti selera Dokter. Selera Dokter yang aku tahu, dia suka keju dan pasta. Tetapi jelas Italian cuisine itu bukan menu pinggir pantai.

Senyum legaku terkembang karena dokter McFord bukan tipikal yang rewel soal hajat lambung dan bersedia mencoba hal baru baginya seperti gami--masakan yang lauknya dibakar langsung bersama bumbu sambal tomat di atas cobek tanah liat. Makin sedap karena yang dipakai untuk membakar bukan arang kayu, tetapi serabut kelapa tua.

Hidungku mengendus aroma kelapa bakar dari balik dapur resto, praktis aku menelan ludah. Di Malang jarang sekali ada rumah makan yang menyediakan ikan segar, kebanyakan ikan beku. Jadi ikan di sini jelas beda karena masih mengandung sensasi segar perairan laut.

Selesai dengan menu makan siang, aku melepas sandal di gazebo sewaan kami dan menyisiri pasir pantai bertelanjang kaki. Dokter masih mengikutiku di belakang. Berkali-kali dia menoleh pada Papa, Mama, dan Bumi. Aku menyaksikan senyum di bibir itu.

"What are you thinking, Dok?"

Aku mendekatinya yang berhenti melangkah. Dia berpaling untukku.

"Bumi termasuk cepat beradaptasi, I sense. Dia pemberani, nggak pemalu, dan suka tersenyum. Kebalikannya kamu."

Sontak aku melebarkan senyum. "Saya bukannya penakut, pemalu, atau nggak suka senyum. Interaksi sama saya harganya mahal, Dok." Aku membusungkan, mengibas anak rambut.

Dia menaikkan satu alis. "Seharga sempol ikan tengiri?"

"Ah, tau, ah."

Kali ini aku benar-benar tertawa, dan kami melanjutkan jalan kaki. Ya, akhirnya Papa ketahuan membelikanku sempol. Mama tidak bisa marah karena ada dokter McFord dan katanya jelas aku boleh mengonsumsi apapun yang aku suka demi kelancaran ASI.

"Saya suka sempol bukan berarti saya terima sempol dari sembarang orang, Dok."

"Jadi untukmu, aku bukan sembarang orang?" Dia memiringkan kepala.

"Bukan, dong!" Aku melompat di depannya, menggenggam tanganku sendiri di depan dada. Aku berjalan mundur, dia berjalan maju. "Dokter itu orang aneh, lancang, penipu karena bohongin saya selama ini, bersekongkol sama Papa Mama saya, tapi anehnya saya nggak bisa marah juga sama Dokter. I wonder why..."

Hangover #1 [Repost Non-Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang