22 Jangan Teriak

9.9K 1.2K 101
                                    

🌟

HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT

Chapter 22 Jangan Teriak

🌟

"NGGAK KUAT, DOK!"

"Kuat Bu. Ayo dorong lagi ini belum maksimal,"

"Aaarrgghhh—NGGAK BISA, DOK! AKU MAU SESAR!"

"Bisa Bu. Makanya Ibu jangan teriak-teriak itu tenaganya habis buat teriak."

"AYAH, BUNDA MAU SESAR AJA!"

"Bunda yang sabar, itu tadi kepalanya udah kelihatan. Tahan dikit lagi ya?"

"Yaudah Bu, istirahat dulu. Tunggu kontraksi lagi. Awas lho, ojo bengok-bengok!"

Kulihat Sandra yang pasi dengan bibir terkatup keras di sebelahku. Suster baru saja mengangkat tranduser dan menyeka gel dari perutku dengan kain steril. Selimut hijau tipis ditutupkan lagi di perutku.

Sandra menoleh dengan wajah seram. "Mel, ojo bengok-bengok!"

Aku susah payah menelan batu dalam posisi berbaring telentang. Sudah pernah kubaca dari forum ibu hamil bahwa saat persalinan, haram hukumnya berteriak kesetanan. Selain mengganggu kenyamanan gendang telinga lain, juga menguras energi yang semestinya difokuskan untuk mengejan.

Tapi ibu di bilik bersalin itu pasti sudah tidak kuat lagi, hingga lupa diri. Secara teori mudah, praktiknya belum tentu. Aku meremas lengan Sandra, menahan sakit yang merajam.

Dokter Zesta keluar dari bilik bersalin dengan wajah ditekuk. Beliau menghampiriku seraya menghardik, "Mel, ojo bengok-bengok!"

Nasib. Yang heboh bukan aku, tapi kena semprot juga.

Display pada fetal doppler menampilkan angka 150. Dari balik lensa miopi-nya, dokter Zesta menatap lurus dan mengangguk pada alkes itu.

"Normal. Tolong cek bukaan, Sus."

Ow. Mai. Gad.

Perawat itu memintaku untuk menjangkang lagi. Aku tidak punya pilihan kecuali menekuk lutut dan membuka lebar kedua tungkaiku. Sandra tegang, celingukan antara kewajiban mendampingiku atau ingin mengintip ritual apa yang berlangsung di tengah kedua pahaku.

"Lemes ya, Mbak," begitu instruksinya ketika kurasakan dingin cairan pelumas menggigit organ urogenital di bawah.

"Adu—"

Napasku tersekat. Aku tidak bisa menahan rintih ketika suster melasakkan telunjuk dan jari tengahnya. Ujung jemari kakiku bergetar sendiri. Hanya dua jari yang masuk di serviksku, namun seluruh penampang panggulku serasa di-blender habis.

Udara dapat kuhembus kembali ketika perawat menarik jemarinya, dan berkata, "Enam senti, Dok."

Aku sudah boleh menurunkan kaki dan berbaring menyamping lagi pada Sandra. Saat dokter Zesta mendekatiku dengan wajah serius, instingku berkata ada yang salah.

"Mel, bayinya." Beliau mengunci pandang lurus. "Menurut perkiraan USG barusan, dia besar di atas normal. Sekitar 4.3 kilo."

Dadaku dihantam gada.

Sandra memelotot. "Jadi gimana Dok?" Aku begitu ngeri hingga tak bisa bersuara.

Dokter Zesta tersenyum, menepuk lenganku. "Sepuluh menit lagi kita cek dalam. Kalo memungkinkan, tetep pervaginam. Kalo nggak, kita sesar." Beliau menunjuk bilik bersalin dengan ibu jari. "Saya kelarin lapak sebelah dulu,"

Hangover #1 [Repost Non-Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang