42 The Man Who Can't Be Moved

8.5K 1.1K 99
                                    

🌟

HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT

Chapter 42 The Man Who Can't Be Moved

🌟

Pulang dari Matos, kalimat berengsek untuk dokter McFord masih bergaung di tempurung kepala. Aku berusaha, sungguh, untuk senantiasa ceria di hadapan Bumi setiap sesi MPASI. Namun realita tidak seindah rencana.

Mendung gelap semakin pekat menyelubungi hatiku. Akhirnya kunyalakan TV agar setidaknya bukan bisu yang menemani Bumbum makan. Puree wortel itu, alhamdulillah, habis dalam 15 menit. Sayang sekali menunggu dokter McFord pulang juga tidak cukup hanya 15 menit.

Sekali.

Dua kali.

Banyak kali, adalah jumlah kakiku mendekati jendela, dan mengintip pemandangan dari celah tirai. Hitam berbintang sudah menyelambu langit, tetapi belum juga ada tanda kepulangan tetangga seberang rumah. Kukembalikan punggungku yang melengkung gontai di atas sofa.

Saat ponsel putih melintasi jangkauan pandang, spontan tanganku menyambar benda itu.

Mel
Dok, pulang jam brp?

Send.

Kemudian, retract. Berhasil.

Kulempar lagi gawai itu ke sembarang sisi sofa. Apa-apaan? Mengirim pesan saja gemetar, bahkan ditarik kembali. Pengecut!

Bumi yang intim mengulum tangan sambil berguling di karpet, berpindah posisi kini dalam pangkuanku. Aku memeluknya, erat. Aku perlu menjaga kewarasanku, sebab sejak tadi, dunia menunjukkan tanda kiamat.

Telingaku tidak lagi mendengar banyak suara. Semua hening.

Mataku tidak lagi melihat banyak warna. Semua monokrom.

Lidah dan hidungku tidak lagi merasa banyak makanan. Semua hambar.

Kecuali kulitku, justru semakin sensitif dengan bulu meremang dan pori-pori mencuat. Udara terlalu dingin hari ini. Aku mencari ponsel lagi, mengintip suhu yang tertera pada widget weather. Malang, Jawa Timur, 25°C.

Tidak ada yang salah dengan suhunya. Itu adalah suhu rata-rata Malang.

"Sedikit pun Dokter nggak akan paham, karena Dokter nggak pernah tau gimana rasanya punya ayah yang sayang sama Dokter!"

Dokter, pulanglah.

Aku ingin minta maaf. Aku menangisimu sebanyak itu hingga kepalaku seakan mau meledak. Terlalu sakit sampai aku harus meremas-jambak rambut berulang kali, berharap kulit kepala tercabut lepas dari tempurung agar berhenti merasa.

Aku tak mampu berhenti karena sekali saja berhenti, sorot kecewa Dokter menggelapkan mataku, memperkeras sakit yang harus kutanggung. Maka ribuan rambut membelit jari-jariku, sekian air mata menumpahi wajahku, erangan tersendat lolos sesekali dari bibirku, semua hanyalah pengalihan sementara. Upaya menimbun lelah batin menggunakan luka fisik yang sudah biasa kuterima.

Sampai seseorang menghentikan paksa gerak menjambakku. Dunia tetap hitam dan putih tanpa warna.

"Mel... Mel, sudah cukup. Mas Luke nggak mau lihat kamu begini. Dia masih di klinik sebentar lagi ke sini. Nanti dibicarakan, ya?"

Elia membenamkan air mataku dalam dekapnya.

Papa, Mama, maaf...

Dokter, maaf...

Hangover #1 [Repost Non-Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang