21 Jangan Sekarang

9.2K 1.1K 18
                                    

🌟

HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT

Chapter 21 Jangan Sekarang

🌟

"Putri Keraton, ndang habisin nasgornya. Perlu dipanggilin pawang ganteng mata biru di seberang rumah?"

"Ini lagi ngabisin, bawel," decakku, bercampur rintihan, mengaduk nasi goreng telur buatan Elia yang masih segunung di piringku.

Aku bukannya ingin berlama-lama sarapan, tapi ada desak aneh di perutku yang menyulitkanku menerima asupan. Bibirku gemetar setiap bersinggungan dengan sendok. Begitu pula tangan kiriku yang mengusap rahim, dengan harapan dapat menenangkan badai.

Jangan sekarang, Nak.

Kuletakkan sendok, kuganti dengan segelas air mineral yang segera kutenggak separuh. Sebelum Elia protes karena nasi gorengku tersisa banyak, kukatakan, "Aku bungkus bekal aja ya? Ntar dimakan pelan-pelan kok di kampus."

Rupanya Elia tidak mengomeliku. Dia justru nampak gamang, menggamit kelima jemariku. "Kalo ada apa-apa, telpon aku. Kalo kamu nggak bisa, suruh Joko Tingkir yang nelpon. Pokoknya, harus bilang sama aku."

Aku mengangguk siap. Untuk keadaan darurat, kemarin Bu Dewi mempersiapkan sebuah tas besar berisi perlengkapan yang (kata beliau) pasti kubutuhkan saat persalinan, seperti pakaian untukku dan bayi, dan perintilan puerperium seperti pembalut. Sumpah dari ujung kaki ke ujung kepala, aku sangat malu, sekaligus terharu karena diberi perhatian seperti anak sendiri.

Namun kalau boleh aku meminta, tolong jangan sekarang.

Jumat ini adalah hari terakhir kuliah minggu ini. Aku harus melaluinya supaya presensi kehadiran kuliahku mencapai 80%: memenuhi syarat UAB dan OSCE. Tapi kalau tidak, aku hanya bisa berharap dokter McFord bisa meyakinkan dokter Riskita memberiku kelonggaran presensi.

Setelah memasukkan bekal ke ransel, aku keluar rumah dengan rahim bergejolak. Masih bisa kutahan dengan menarik napas dalam. Elia tengah mengeluarkan Beat-nya ketika kulihat di seberang, dokter McFord keluar rumah menyeret sebuah koper hitam. Seorang pria berseragam membantunya, memasukkan koper itu ke bagasi taxi. Menyadari eksistensiku di depan pagar rumah adiknya, dokter McFord mendekat semringah.

Anehnya, dia tidak berpakaian seperti mau ke kampus atau rumah sakit. Dia nampak casual dengan kaus hitam berbalut jaket jins cokelat gaya militer, menyandang ransel di bahu kanan.

Alisku naik sebelah. "Dokter minggat?"

"Iya, tapi Selasa balik lagi," jawabnya bercampur tawa. "Kongress di Dubai. Tetanggaku mau oleh-oleh apa?"

"Mau Dokter." Aku menggeleng keras. "Mau Dokter pulang dengan selamat."

Aku berbalik memunggunginya, menapuki si lambe suwek berulang. Maunya mengucap dalam hati, kenapa lolos filter juga sih?! Dasar lidah tidak bertulang.

Desak dahsyat itu meradang lagi. Aku mencengkram ujung blus. Punggungku tidak bisa menegak lagi. Pelupukku memejam keras hingga otot mataku ngilu.

Sakit… Mama, Papa, Fikar… sakit.

"Melati?"

Kedua bahuku digenggam dokter McFord di belakangku. Aku mengangkat tangan, kutepis kasar agar dia menyingkir, namun alih-alih pergi, dia mendekap punggungku. Dia, hangat tubuhnya, debur jantungnya, serta aroma citrusnya.

Jemarinya menyelipkan selembar plastik bertekstur yang menimbulkan sensasi lucu di genggamku.

"Aku kalah, Mel. Aku nggak bisa memenuhi janji untuk menahan perasaan. I just simply can't, I'm terribly sorry about that. Tapi kamu, perempuan yang paling kuat." Peluknya mengendur, sebuah kecup ringan dibubuhkan di bahu kananku. "Apapun tantangannya, Melati pasti bisa."

Hangover #1 [Repost Non-Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang