Sudah satu minggu sejak kembali ke sini, aku belum berani menyampaikan rencanaku kepada Ibu. Banyak hal harus aku pikirkan agar Ibu bisa menerima rencanaku ini.
Setelah makan malam waktu itu aku langsung menceritakan temuanku pada Ibu. Biar Ibu tahu, keluarganya baik-baik saja. Ibu selalu menempatkan kepentingan orang lain daripada kepentingannya. Ibu hanya menyimak tanpa memberi tanggapan berlebihan. Ibuku sungguh berkelas, jauh melebihi keturunan ningrat lain yang mungkin hidupnya lebih baik.
Hari ini setelah berpikir cukup lama, kuberanikan diri membicarakannya dengan Ibu.
"Bu, Ito bisa bicara sebentar?" Tanyaku setelah kami selesai makan malam. Ibu tersenyum mendengar pertanyaanku.
"Bicara saja, pake ijin segala. Kamu mau mengenalkan pacarmu?" Ibu bertanya menggoda.
Aku tahu Ibu mencoba mengalihkan kegundahannya. Tampak dengan gerakan tangannya yang gelisah. Aku hanya tersenyum menanggapi godaan Ibu. Kupegang tangan ibu dan kugenggam erat.
"Bu, bagaimana kalau kita pindah ke Solo aja" kataku perlahan.
Ibu tampak terkejut, menatapku dengan wajah penuh tanya. Dengan cepat mata Ibu beralih kembali ke meja makan, tanganku dilepaskan dan mulai merapikannya.
Kutunggu jawaban Ibu dengan sabar. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Ibu. Beliau malah berdiri, mengangkat piring kotor dan bergerak ke dapur. Kuhembuskan napas dan bersandar.
Pindah ke Solo adalah rencana kilatku setelah mengunjungi kota itu dua minggu lalu. Ini salah satu cara untuk bisa mengembalikan Ibu pada keluarganya, pada kehidupan Ibu sebelumnya.
Toh tidak ada hal yang memberatkan kami untuk meninggalkan kota ini. Di kota ini kami sendirian, tidak ada saudara. Masalah pekerjaan, aku yakin bisa mencari kerja di sana. Ibu juga bisa mencari uang dengan keahliannya menjahit. Jadi apa yang memberatkan langkah ibu?
Beberapa waktu menunggu Ibu tak kunjung keluar dari dapur. Aku beranjak ke dapur mencari Ibu. Kutemukan Ibu sedang termenung di depan wastafel. Kusentuh pundak Ibu perlahan, Ibu mendongak.
"Kamu Nang?"
"Ibu kenapa? Maafkan Ito Bu," Ibu menggelengkan kepala.
Kupeluk Ibuku, perempuan hebat yang melahirkanku dan sudah membesarkanku dengan tulus.
"Ibu tidak ingin ketemu eyang lagi?" Pertanyaan retoris.
Tidak mungkin ada anak yang tidak ingin ketemu dan berkumpul orang tuanya lagi. Ibu pasti ingin tapi juga takut untuk mewujudkan keinginannya.
Melihat Ibu hanya diam dan diam aku menjadi tidak enak hati. Sepertinya aku sudah membuka luka lama Ibu dan membuat lukanya semakin dalam. Aku memporak porandakan perasaan ibuku sendiri.
Apakah harus kubatalkan rencana yang sudah kubuat? Aku tidak mau melukai hati ibu.
"Kamu yakin dengan keputusanmu Nang?" Tanya ibu mengagetkanku. Aku mengangguk cepat dan yakin.
"Kalau kamu yakin, ibu ikuti kemauanmu," lanjut Ibu.
Aku melompat gembira. Kupeluk ibu sekali lagi. Kucium pipinya seperti kebiasaanku waktu kecil dulu. Aku bahagia mendengar jawaban ibu.
"Kita akan bahagia bu, Ito akan membuat ibu bahagia" janjiku dalam hati.
****************************
Ibu meminta waktu untuk menyelesaikan jahitan yang sudah masuk. Dengan halus, Ibu terpaksa menolak jahitan baru. Setiap hari Ibu bekerja lebih lama supaya tugasnya cepat selesai.Aku sudah minta ijin keluar dari pekerjaanku sampai akhir bulan ini. Sambil menunggu ibu aku mulai merapikan barang-barang yang akan kami bawa. Hanya pakaian dan beberapa barang penting saja.
"Di Solo kita akan tinggal di mana Nang?" Tanya ibu suatu malam.
"Ito sudah menyewa sebuah rumah kecil Bu, untuk sementara kita tinggal," jawabku. Ibu tersenyum.
"Sepertinya kamu sudah mempersiapkan semuanya dengan baik,"
"Untuk Ibu semua akan Ito lakukan. Semua yang terbaik hanya untuk ibu," jawabku bangga. Saatnya Ito yang berbakti pada Ibu.
***************************
KAMU SEDANG MEMBACA
Namaku Daito
General FictionMaafkan Ibu Nang, Ibu membuatmu menderita... Aku Daito. Aku tidak pernah menyalahkan Ibu atas hidupku. Ibu segalanya bagiku, milik yang paling berharga yang diberikan Tuhan kepadaku. Bagiku Ibu perempuan luar biasa, tidak ada seorang perempuan pun...