Keluar

2.6K 100 9
                                    

Ibu masih marah karena kejadian semalam. Setelah mereka pulang, ibu langsung masuk kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Tadi pagi juga begitu, ibu hanya menyuruhku sarapan tanpa menunggui seperti biasa, lalu sibuk dengan jahitannya. Hal langka yang beliau lakukan sepanjang hidupku. Aku tidak berani bertanya, takut membuatnya marah pagi-pagi.

Hari ini aku sengaja izin kerja setengah hari. Aku harus menyelesaikan masalah semalam, supaya masalah tidak berlarut-larut. Jam dua belas tepat aku membawa motorku keluar dari bengkel, pulang ke rumah. Sebelumnya aku mampir membeli soto kuali depan stasiun Balapan yang terkenal enak. Warung sederhana itu selalu ramai pengunjung, jadi harus sedikit bersabar menunggu. Dua bungkus soto aku bawa pulang, kami akan menikmatinya berdua, sebelum memulai pembicaraan serius kami.

Sampai di rumah, sudah jam satu lebih. Rumah tertutup tetapi tidak dikunci, tanpa bersuara aku mendorong pintu dan masuk. Ibu tidak ada di kamar depan tempat beliau biasa menjahit. Di kamar tidurnya juga tidak ada.

"Ibu?" Akhirnya kutemukan perempuan penenun hidupku itu sedang melamun di dapur. Beliau tersentak, menatapku bingung.
Aku berjongkok didepannya, memegang tangannya erat.

"Maafkan Ito, Bu,"

"Kamu kenapa pulang jam segini?" Tanyanya mengabaikan permintaan maafku.

"Ito gak mau Ibu terus marah," Kucium tangan dalam genggaman, Ibu mengelus rambutku. Kebiasaan Ibu yang paling aku suka, tenang itu yang kurasakan setiap menerima perlakuan lembutnya.

"Duduk sini," Ditepuk bangku kosong di sebelahnya. Aku menurut, kami masih berpegangan tangan.

"Ibu takut kalian mengulang kisah lama kami, Nang. Ibu tidak mau, Sasti menderita karenamu," katanya lembut. Aku mengerti yang ibu takutkan, aku juga tidak menginginkan itu mesti hatiku kadang berkhianat melihat Sasti begitu manja.

"Percaya Ito, Bu. Pengalaman buruk itu tidak akan terulang lagi. Ito hanya ingin menjaganya. Sasti memang terlalu berani, kadang Ito takut dia melakukannya kepada laki-laki lain,"

"Bukan karena kamu cemburu kan?"

"Bukan, Ibu tahu kan laki-laki? Hanya kuatir dia kelepasan dan kecewa setelahnya,"

"Tapi kamu juga harus hati-hati. Kamu juga laki-laki,"

"Ito janji," kucium punggung tangan ibu. Meresapi keterbukaan kami hari ini.

"Kita makan Bu, Ito bawa soto kuali depan stasiun," ajakku setelah menyelesaikan pembicaraan kami.

"Jauh amat belinya?"

. "Lagi pingin, ibu juga kan?" Ibu tersenyum.

" Terima kasih sudah menyiapkan makanan kesukaan ibu. Sotonya ibu panaskan dulu ya," ujar ibu langsung berdiri untuk menghangatkan soto aku bawa. Aku ikut berdiri merapikan meja makan, terus ganti baju. Aku tidak mau ibu marah lagi.

Kami menikmati makan siang dalam diam. Nikmatnya soto kuali legendaris, disempurnakan ibu dengan mendoan hangat dan secangkir teh panas. Ibu paling tahu memanjakan lidahku. Ibu tidak berhenti tersenyum melihatku makan dengan lahap. Aku memang sudah lapar dari tadi, ibu juga terlihat menikmati.

"Ito saja yang membereskan ini, Ibu ganti baju saja," cegahku ketika ibu mau merapikan meja makan.

"Ganti baju buat apa?" Tanya ibu bingung.

"Ito mau mengajak ibu jalan-jalan. Sekalian ke Klewer mencari bahan baju, sudah lama Ibu tidak menjahit baju untuk Ito," Ibu tertawa mendengar jawabanku.

"Kalau hanya bahan, banyak di sekitar sini," katanya berkilah. Agaknya ibu masih enggan keluar. Hampir empat bulan kembali ke tanah kelahirannya, ibu belum berani keluar terlalu jauh dari rumah. Setiap hari hanya berkutat di sekitar rumah, Mungkin masih takut, kalau bertemu dengan orang yang mengenalnya.

"Sudah saatnya Ibu keluar. Jangan bersembunyi lagi. Cepat atau lambat, Bapak akan tahu ada ibu di sini. Mbak Denta dan Sasti sudah ke sini. Siapa yang bisa menjamin, bapak tidak melakukannya juga?" Ibu menatapku bimbang.

"Gak apa-apa Bu, ikut Ito saja," bujukku menyakinkan. Akhirnya ibu setuju dengan usulanku.

***
Pasar Klewer, surganya kaum ibu yang hobi belanja aneka batik, daster, juga kain. Kata orang, pasar ini adalah pasar tekatil terbesar di Jawa Tengah. Pengunjungnya bukan hanya orang Solo saja tetapi juga pedagang atau pelanggan di sekitar Solo. Ibu tampak bimbang mau masuk ke dalam pasar. Aku bisa mengerti kekuatirannya, pasti beliau takut ketemu orang yang mengenalnya, karena lokasi pasar berada satu komplek dengan kraton Solo. Kekuatiran yang wajarkan? Kurangkul pundak ibu menguatkannya.

"Santai saja, sudah dua puluh tahun berlalu. Ibu harus bisa melewati semua ini," bisikku lembut. Ibu mengangguk. Kami beriringan masuk, sesekali ibu berhenti di depan sebuah kios. Mengamati dalam diam lalu berlalu, aku masih terus menggandeng tangannya.

"Kita masuk ke toko itu Bu, Ito mau lihat kain biru yang di ujung," Ibu tampak ragu-ragu, melihatku sejenak lalu melangkah masuk.

"Cari apa Bu, ini batiknya bagus-bagus. Motif baru ini," si encik menawarkan dagangan dengan ramah.

"Lihat-lihat dulu ya, Cik," sahutku minta izin.

"Monggo-monggo, gak usah sungkan," Logat medoknya membuatku tersenyum, empat bulan di Solo aku sering berinteraksi dengan warga keturunan yang fasih berbahasa Jawa kromo. Bahasa yang sudah dilupakan oleh mereka yang mengaku Jawa asli, termasuk aku. Dibesarkan di tanah Sumatra membuatku hanya mengenal sedikit bahasa Jawa, itu pun Jawa kasar.

"Ito mau yang ini, Bu," Aku menunjuk kain biru kotak-kotak yang kumau. Ibu tersenyum sambil memeriksa kain yang kumau.

"Boleh, mau berapa meter Bu?" Tanya si encik tersenyum penuh arti, mata sipitnya sesekali melirikku. Aku merasa ada yang tidak beres dengan senyumnya. Apakah aku dianggap anak tidak normal? Melihat interaksiku dengan ibu, bisa jadi orang menganggap aku demikian.

Interaksi terjadi antara Ibu dengan si encik, yang masih mencuri pandang kearahku. Selain kain itu, ibu juga membeli beberapa potong kain yang lain. Setelah selesai, aku segera mengeluarkan kartu debitku. Biar si encik tahu, aku laki-laki normal.

       "Maaf, malah bengong. Sebentar ya Mas," perempuan bermata sipit itu segera memproses transaksi kami. Aku pura-pura cuek, jengkel aja dengan wajah menuduhnya itu. Atau aku yang terlalu baper?

       "Ini Mas, silahkan pin nya," disodorkan mesin EDC, segera kutekan pin dan mengembalikan kepada si empunya. Si encik menekan tombol hijau, dengan cepat kertas bukti pembayaran keluar. Setelah selesai, disodorkan kartu debit dan belanjaan kami.

       "Terima kasih sudah berbelanja. Ibu, putranya ganteng. Boleh gak dikenalkan anak saya?" Tanya si encik yang membuat ibu terpana. Aku kaget juga, ternyata dari tadi lirak lirik itu mau jodohin anaknya.

       "Ah encik bisa saja. Kami permisi," ibu langsung pamit meninggalkan toko tersebut.

       Kami masih mencari beberapa barang lagi sebelum keluar meninggalkan pasar. Dengan dua tentangan di tangan, kami beriringan ke tempat parkir. Baru mau merapikan belanjaan di motor, sebuah tangan menepuk pundakku.

      "Den Ito, lagi belanja?" Aku menoleh. Di depanku berdiri pak Beno, tukang becak yang pernah menemaniku nonton wayang di rumah bapak enam bulan lalu.

      "Pak Beno, lagi ngapain Pak?" Sebuah pertanyaan bodoh meluncur dari mulutku. Tukang becak di pasar, pasti sedang kerja.

       "Biasa den, kerja. Lama gak ketemu,"

       "Iya Pak, sibuk kerja. Bapak sehat?" Kutepuk pundaknya pelan. Laki-laki tua itu terkekeh. Bicara dengan pak Beno membuatku mengabaikan ibu.

       "Oya Pak, kenalkan ini ibu saya. Ibu, ini pak Beno," Ibu terlihat enggan. Aku terlambat menyadari keengganannya, hingga sebuah pernyataan terlontar dari mulut laki-laki tua itu.

        "Den ayu Laksmi? Benarkan ini den Ayu?"

                    ****

Yes...update!
Mau segera dikelarin mau melangkah ditulisan lain.
Semoga senang ya.

Salam

Namaku DaitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang