Sinar matahari mulai turun, aku dan beberapa kawan duduk santai menikmati kopi sore di belakang bengkel. Seperti biasa Sabtu menjadi hari padat kami. Pelanggan datang silih berganti. Hari yang melelahkan, tetapi itulah nikmatnya bekerja. Aku bersandar sambil memejam mata. Semalam, aku susah tidur. Sepertinya, Ibu mulai mencium kedekatanku dengan Sasti. Dengan gaya lembutnya, beliau menegur agar aku menjaga jarak.
"Apa tidak ada cara lain, untuk bisa masuk dalam keluarga Bapakmu?" Tanya Ibu lembut. Aku yang sedang merapikan meja kayu kecil hasil kerjaku kemarin, seketika menghentikan pekerjaanku. Netra Ibu, menatapku lembut. Aku menangkap kegelisahan dari sana. Sebagai anaknya, sebenarnya aku tahu yang Ibu khawatirkan.
"Maksud Ibu?" Tanyaku pura-pura tidak mengerti. Ibu menghela napas panjang sebelum kembali berujar, "Jangan permainkan perasaan Sasti, Nang, kasihan dia. Dia tidak tahu apa-apa." Aku tersentak, tidak menyangka Ibu akan berkata seperti itu. Apakah, ibu berpikir aku sedang membalas dendam?
"Ito tidak mempermainkan Sasti, Bu. Dan Ito tidak punya alasan untuk dendam dengan keluarga Bapak. Dengan Sasti, mbak Denta, istri Bapak, dengan Bapak juga tidak. Ito hanya ingin Bapak tahu, Ito ada. Hanya itu," Ibu terdiam. Penjelasanku mungkin menyakitkan, tapi aku tidak punya cara lain.
"Ibu percaya Ito, ya? Ito janji tidak akan menyakiti siapa pun. Ito hanya ingin Ibu kembali pada keluarga besar Eyang. Sangat tidak adil buat Ibu, untuk menanggung semua ini sendiri. Bapak harus tahu," tandasku yang membuat Ibu semakin terdiam. Kupeluk tubuhnya dari belakang, kurebahkan kepalaku dipunggungnya.
"Ito ingin Ibu bahagia," bisikku lirih. Tangan Ibu menepuk punggung tanganku yang melingkar dipinggangnya.
"Buat Ibu, kamulah kebahagiaan itu, Nang. Kamu anugerah terbesar yang Tuhan berikan buatku," katanya parau. Airmatanya mungkin sudah mengembang dimatanya. Perempuan cantikku ini, sudah terlalu lama menderita. Aku hanya ingin membahagiakannya.
"To, dicari Sasti tuh!" Teriak mas Raji membangunkanku. Beberapa pasang mata menatapku penuh tanya, termasuk mas Bagas. Aku hanya mengaruk kepala, bingung.
"Sejak kapan kamu kenal Sasti?" Tanya laki-laki berkacamata itu curiga. Tatapan matanya sangat tidak enak dilihat.
"Ehm, waktu ngantar mobil itu. Gak sengaja ketemu," jawabku jujur.
"Terus, ngapain dia mencari kamu?" Aduh Mas, mana aku tahu? Tanya Sasti sendiri saja sana! Kataku dalam hati. Kenyataannya, aku memang gak tahu Sasti mau apa?
"Tanya Sasti sendiri saja Gas, Ito kan gak tahu!" Sela mas Samto membantuku. Laki-laki itu mendengkus, lalu berdiri meninggalkan kami. Aku jadi serba salah.
"Sudah sana To, sudah ditunggu itu," ujar mas Samto mengingatkanku.
"Mas, aku gak enak,"
"Kenapa gak enak? Emang kamu pacaran sama Sasti? Pacaran juga gak apa-apa sih! Malah bagus," sambungnya tertawa. Teman-teman lain ikut tertawa.
"Gak mungkin kali Mas," kilahku berdiri.
"Kenapa gak mungkin, kamu ganteng dan dia cantik. Cocok kok! Dah sana, kasihan Den Roro cantik menunggu," ledeknya sambil tertawa. Dengan berat hati, kulangkahkan kaki ke kantor tempat Sasti menunggu.
Adik sebapakku itu duduk anggun sambil membaca majalah di ruang tamu. Pakaian simpelnya tetap membuatnya terlihat cantik, tapi aku tidak suka. Kaos putih berleher rendah dan celana selutut yang memamerkan kulit putihnya. Gimana Mas Bagas tidak klepek-klepek melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namaku Daito
General FictionMaafkan Ibu Nang, Ibu membuatmu menderita... Aku Daito. Aku tidak pernah menyalahkan Ibu atas hidupku. Ibu segalanya bagiku, milik yang paling berharga yang diberikan Tuhan kepadaku. Bagiku Ibu perempuan luar biasa, tidak ada seorang perempuan pun...