Pelan-pelan aku masuk ke kamar Ibu, ternyata beliau sudah tidur. Kupandangi wajah cantik ibu, yang terlihat lebih segar dari kemarin. Kasihan ibu, beban itu terlalu berat untuk ditanggungnya. Kerinduannya akan segera terbayar, sanggupkah ibu membongkar rahasia yang telah disimpan 22 tahun ini?
Wajahnya terlihat damai, aku jadi tidak tega membangunkannya. Bangun tidur bukan waktu yang tepat untuk berbicara tentang masalah keluarga yang cukup pelik.
Kuputuskan untuk keluar, menemui bapak dan eyang menunggu di sana. Kedua laki-laki itu menyambutku dengan antusias.
"Bagaimana, kamu sudah bicara?" Eyang langsung mengejar.
"Ibu sudah tidur," sahutku pendek. Berharap mereka mengerti, ternyata aku salah. Tanpa menunggu persetujuanku, eyang beranjak masuk ke dalam kamar ruang rawat ibu.
"Tunggu Romo..." bapak mengejar masuk, aku pun mengikuti dari belakang.
Pak Samsul, suami pasien di sebelah ibu melonggok melihat huru hara yang dibuat eyang. Aku meminta maaf suara langkah kami membuat gaduh. Untungnya beliau mengerti. Selama ibu dirawat tidak pernah dikunjungi siapa pun, di dekat ibu hanya ada aku dan bu Ratmi.
Di depan ranjang ibu, eyang berhenti. Memandangi anak perempuannya yang terbujur lemah di depannya. Tangan keriputnya bergetar, memegang ranjang besi itu erat. Bapak menopang tubuh eyang dari belakang.
"Laksmi," suaranya bergetar. Bapak masih diam di belakang eyang, aku bergerak ke samping bed ibu. Berjaga-jaga, kalau-kalau eyang kehilangan kendali.
Lama eyang hanya memandangi ibu tanpa suara. Wajah tua itu terlihat lelah, aku beranjak mendekatinya.
"Eyang duduk saja, nanti capek," Kali ini laki-laki tua itu menuruti permintaanku.
Laki-laki tua itu terus memandangi putrinya, beberapa kali dia menyeka matanya. Tidak ada airmata, mungkin hanya lelah yang menyiksa.
Tidur Ibu terlihat sangat tenang, berbeda dengan beberapa hari lalu setelah bapak datang. Mungkinkah alam bawah sadarnya tahu, saat ini ayah dan kakak yàng dicintainya ada didekatnya?
Hatiku bergejolak, tidak sanggup menebak apa yang akan terjadi nanti ketika ibu terbangun. Apakah ibu akan baik-baik saja atau akan kembali ketakutan? Aku mau ibu bahagia tetapi bertemu kedua laki-laki yang dirinduinya dalam keadaan sakit mungkin tidak baik untuk psikisnya.
Diam-diam aku berharap ibu tidak bangun sekarang agar eyang mau meninggalkan tempat ini dan tidak ada kegaduhan. Tetapi harapan tinggal harapan, ibu mengeliat pelan lalu membuka matanya.
"Romo?" Desisnya ketakutan. Tangannya mencengkeram sisi ranjang kuat-kuat.
"Laksmi cah ayu," eyang mengambil tangan putrinya, digenggam erat seolah takut ibu pergi lagi. Ibu bergerak bangun tetapi eyang menahannya. Butiran airmata sudah mengalir membasahi pipi perempuan kuat yang melahirkanku.
"Jangan menangis lagi, Romo disini bersamamu," kata eyang dengan suara bergetar. Penyesalan seperti mengejar eyang.
Aku pun tidak kuasa menahan tangis. Apa yang terlihat di depan mata tidak seperti yang kami kuatirkan.
***
Sedikit dulu ya...mohon maklum..
Otakku lagi tidak bisa diajak mikir. Anakku sakit lagi, semalaman tidak bisa tidur. Hari ini terpaksa ditinggal lagi dengan bapaknya. Ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.Salam literasi
KAMU SEDANG MEMBACA
Namaku Daito
General FictionMaafkan Ibu Nang, Ibu membuatmu menderita... Aku Daito. Aku tidak pernah menyalahkan Ibu atas hidupku. Ibu segalanya bagiku, milik yang paling berharga yang diberikan Tuhan kepadaku. Bagiku Ibu perempuan luar biasa, tidak ada seorang perempuan pun...