Hari ini aku harus pulang malam karena ada permintaan khusus seorang pelanggan untuk memperbaiki mobil antiknya di rumah. Jam 10 malam, aku baru keluar dari komplek perumahan mewah yang agak keluar pinggir kota Solo. Sepeda motor kukendarai dengan kecepatan sedang sambil menikmati suasana malam kota Solo yang sangat jarang kulakukan. Aku termasuk anak rumahan, yang tidak terlalu suka keluar kecuali ada keperluan seperti sekarang. Aku sudah memberi kabar kepada Ibu tentang keterlambatanku hari ini.
Jalanan lumayan lenggang, lalu lalang kendaraan sudah mulai berkurang. Maklum sudah malam, hawa dingin menusuk kulitku yang hanya terlindung jaket tipis. Di ujung jalan kutemukan pedagang wedang ronde yang sedang mangkal. Kuhentikan motorku di dekat pedagang wedang itu.
"Mas satu ya," pesenku pada pedagangnya yang ternyata masih muda. Dengan sigap si mas nya meracik minuman pesananku.
"Monggo mas, selamat menikmati,"
"Matur nuwun Mas," Aroma jahe wanginya menguar tercium hidungku. Perlahan aku mulai menikmati minuman khas Jawa yang memghangatkan itu.
"Tiap hari mangkal di sini mas?" Tanyaku basa basi.
"Iya Mas, lagi sepi ini. Biasanya rame, kayaknya suhu dingin membuat orang males keluar," keluhnya. Tanpa permisi, si mas melanjutkan keluhannya dengan cerita tentang dua orang adiknya yang minta bayaran uang sekolahnya. Sekolah terus menagih karena sudah menunggak tiga bulan. Sekolah swasta cukup berat buat mereka dengan ekonomi pas-pasan. Untung aku dulu selalu sekolah negeri, gak terlalu merepotkan ibu.
"Sabar Mas, mungkin nanti ada yang datang lagi," hiburku tersenyum. Si mas tertawa getir, aku memahami keresahannya.
Kuedarkan pandangan mataku ke sekeliling, sebuah yaris merah baru saja berhenti tak jauh dari tempatku duduk. Kayak kenal, nomornya.. benar itu mobil mbak Denta. Seorang perempuan keluar dari dalam mobil tampak memeriksa ban mobil. Bukan mbak Denta tapi Sasti? Sasti mempunyai tubuh yang lebih tinggi dan rambut panjangnya sedikit bergelombang.
Ada yang gak beres dengan mobil itu, gadis itu kembali masuk mobil. Aku pamit pada si mas pedagang wedang ronde berjalan mendekati mobil itu. Sasti terlihat sedang menelpon, Kuketuk pintu mobil perlahan. Saudara sebapakku itu menoleh, matanya menatapku tajam. Kuketuk sekali lagi, baru dia membuka jendelanya.
"Ada yang gak beres mbak?" Tanyaku sopan. Sasti masih diam menatapku.
"Saya Ito mbak, kita pernah ketemu di rumah ketika saya mengantar mobil ini dari bengkel Tridaya bulan lalu," wajah gadis itu seketika berubah. Senyum samar muncul dari wajah cantiknya."Bannya kempis, tadi jalan sedikit oleng. Untung tidak terjadi apa-apa dan masih bisa minggir," ujarnya sambil membuka pintu mobil.
"Ban serep ada kan mbak?"
"Ada," Aku segera bergerak ke belakang mengambil dongkrak. Dengan cepat kuambil ban serep dan mengganti ban depan yang kempes. Sasti menungguku sambil bermain gawainya.
"Sudah selesai mbak, mbak pulangnya ati-ati," kataku datar, mendorongnya untuk segera pulang. Malam sudah semakin larut
"Terima kasih ya, Kamu pulang naik apa?" Tanyanya clingukan melihat sekitar kami.
"Saya bawa motor, itu di sana," Matanya mengikuti arah yang kutunjuk tempat sepeda motorku terparkir.
"O Kamu tadi lagi minum ronde di situ?" Aku mengangguk, Sasti tersenyum.
"Ya udah, aku pulang dulu. Kamu hati-hati ya," Dia masuk ke dalam mobil dan bergerak menjauh.
Aku segera kembali ke gerobak ronde, membayar minumanku dan berpamitan mengejar Sasti. Aku tidak akan membiarkan adik perempuanku pulang malam sendirian. Dari jauh aku melihat mobil merah itu, aku hanya mengikutinya dari belakang sampai mobil itu membawa Sasti masuk ke dalam halaman rumahnya.
***
"Pagi To, ini aku Sasti," Terdengar suara lembut dari seberang, suara adik perempuanku. Aku tersenyum, sudah beberapa kali ini dia menelpon untuk berbagai alasan."Iya, ada apa mbak?" Aku masih memanggilnya dengan panggilan mbak, sebuah kesopanan. Ibu menatapku lembut, sorot matanya bertanya siapa yang menggangguku di hari liburku ini.
"Lagi sibuk gak?"
"Gak mbak, aku lagi libur," sahutku jujur. Kudengar suara lain sedang menjeda pembicaraan kami. Sepertinya Sasti tidak sendiri di sana.
"Bisa tolong ke kampusku gak? Mobil temanku mogok," Oh, mobil temannya bermasalah. Satu alasan bagus untuk bertemu dia lagi.
Tadinya aku berharap bisa masuk ke dalam keluarga Bapak lewat mbak Denta, ternyata melalui Sasti jauh lebih mudah. Adikku itu tak seperti yang dibilang teman-temanku, dia baik kelewat manja malah hanya tidak mau dengan sembarang orang. Sejak kisah ban kempis malam itu, Sasti terus "menggangguku". Katanya dia mendapat nomor telponku dari bengkel, sebuah usaha yang perlu diwaspadai.
"Baik mbak, saya ke sana," Sambungan telpon aku sudahi, gawai sudah berpindah ke dalam kantong celanaku.
"Nang, jangan bermain api," Aku tidak mengerti maksud Ibu.
"Ito gak main api Bu, Ito hanya menjaga dia," Ibu tersenyum samar.
"Kalau dia jatuh cinta bagaimana?"
"Gak mungkin Bu, gadis sekelas Sasti tidak akan pernah jatuh cinta dengan laki-laki seperti Ito. Dia hanya butuh kacung yang mau melayaninya setiap saat," Ibu menggeleng mendengar jawabanku.
"Jangan membuatnya masalah yang sama. Cukup Ibu saja," katanya lirih. Ada nyeri kurasakan dari ucapan Ibu kali ini. Aku mengerti apa yang beliau pikirkan, masa lalunya dengan Bapak membuat beliau kuatir.
"Percaya sama Ito ya Bu, doalan tidak akan terjadi hal seperti itu. Ito hanya ingin menjaganya dan masuk ke keluarga itu melalui dia," Ibu menghela napas panjang. Pandangan matanya meredup.
"Ito pergi Bu. Ibu hati-hati di rumah," Aku berpamitan, kucium punggung tangan perempuan terhebat dalam hidupku.
"Kamu hati-hati di jalan," ditepuknya pundakku lembut.
Maaf Bu, itu harus mengambil cara ini.
***
Selamat sore reader, wah seneng aku bisa update lagi...
Cerita yang mulai menarik untuk ditulis dan dibaca
Sasti kayaknya mulai jatuh cinta nih sama si tukang bengkel yang ganteng. Boleh gak ya...Tunggu ya...
Salam literasi
KAMU SEDANG MEMBACA
Namaku Daito
General FictionMaafkan Ibu Nang, Ibu membuatmu menderita... Aku Daito. Aku tidak pernah menyalahkan Ibu atas hidupku. Ibu segalanya bagiku, milik yang paling berharga yang diberikan Tuhan kepadaku. Bagiku Ibu perempuan luar biasa, tidak ada seorang perempuan pun...