Berkunjung

2.8K 94 13
                                    

     Hai hai hai... Daito setor wajah nih... ganteng-ganteng ngangeni. Eh, ada yang kangen gak sih? Dari kemarin ada yang kejar-kejar buat update tapi gak tahu kangen apa kagak. Habis gak ada jejaknya!!! Maafken kalau ada yang bakal nangis di part ini.. aku gak janji siapin tisu..
Buat yang mau, mas Ito muncul dua hari sekali, tinggalin jejak dong... bilang kangen gitu atau kritik kelakuan si mas yang lagi bikin gemes, ngaduk2 perasaan. Aku juga janji tiap update min. 1000 kata, puas dong...
Yuk mare.. hepi hepi reading aja..
                    ****
      Semalaman kami terus mengobrol, aku mencoba menyakinkan ibu, bahwa ini jalan terbaik buat kami untuk kembali. Aku paham kekuatiran perempuan yang sudah melahirkan dan membesarkanku sendirian itu, bayang-bayang penolakan dari keluarga yang tidak mengharapkannya lagi.

      "Kalau mereka masih menginginkan ibu, bukan hal yang sulit buat eyangmu mencari ibu saat itu. Nyatanya mereka tidak pernah mencari," Aku bisa menangkap kegetiran dari keluhan itu. Keluhan yang tidak pernah beliau ungkapkan. Aku terdiam mendengarnya, mencerna sakit yang ibu rasakan saat, memahami luka yang ditanggungnya. Sungguh bukan hal yang muda untuk seorang putri ningrat, tercabut dari akarnya dan hidup menderita sendirian, jauh dari semuanya. Juga jauh dari laki-laki yang dicintainya dalam diam, yang membuatnya terluka. Laki-laki itu bisa jadi tidak tahu apa yang terjadi pada adik kesayangannya, hingga menghilang dari hidupnya.

       "Nang, kamu yakin tidak akan terluka dan membuat luka pada orang lain?" Ah ibu, kenapa harus memikirkan orang lain. Bukankah ibu bilang mereka tidak peduli, kenapa ibu masih peduli perasaan mereka?

     Sejenak aku berpikir, adakah ibu melakukan  itu semua karena cintanya pada bapak dan keluarganya? Atau hanya pelampiasan kekecewaannya karena terbuang dari mereka? Pertama kali ibu membongkar rahasia ini, beliau bilang, bukan mereka yang membuangnya tapi dia yang pergi dengan kerelaan sendiri. Setelah eyang putri tahu, ibu pamit untuk pergi karena tidak mau mengotori keluarga terhormat itu. Eyang mengizinkan, bahkan memberi bekal untuk hidup.

      "Sejak pergi dari rumah, Ibu masih berkomunikasi dengan eyang putri?" Tanyaku menebak. Sesaat ibu terdiam, matanya menerawang jauh.
      "Pernah sekali ibu berkirim kabar pada eyang, setelah melahirkanmu. Eyang sempat datang sendirian melihat kita di Surabaya. Ibu tahu yang eyangmu lakukan itu beresiko, tetapi beliau melakukannya demi melihatmu. Cucu pertamanya," Airmata ibu mulai turun membasahi pipinya.
       "Eyang tahu Ito anak bapak?" Ibu mengangguk. Jawaban yang tidak pernah aku sangka, berarti ada yang tahu tentang asal usulku selain ibu.
       "Makanya eyang mengizinkan ibu pergi, karena tidak mungkin memaksa bapakmu menikahi ibu, adiknya sendiri. Kepergian ibu adalah jalan keluar untuk menghindarkan aib keluarga. Perempuan seperti apa ibumu ini Nang, perusak rumah tangga kakaknya sendiri. Ibu...." kudekap erat perempuan yang kini tampak rapuh.

      "Sudah Bu, jangan diteruskan lagi," lirih aku berbisik. Aku tidak ingin lagi mendengar kelanjutan potongan cerita masa lalunya yang kelabu. Sebenarnya, aku sendiri tidak paham bagaimana bisa mereka melakukan hal itu. Pentingkah pemahamanku? Faktanya aku terlahir dari hubungan terlarang kedua orang tuaku. Bukan saja karena mereka saudara, juga karena bapak bukan laki-laki bebas lagi. Bapak sudah beristri dan sudah mempunyai seorang anak perempuan cantik, mbak Denta.
      "Maafkan ibu Nang, ibu bersalah padamu. Kamu harus menanggung malu karena kelakuan perempuan tidak bermoral ini," Emosi ibu semakin tidak terkendali. Dadanya dipukul berulang kali, isaknya membuat hatiku nyeri. Kudekap ibu semakin erat, agar tangannya tak lagi memukul.
      "Ibu tenang ya, Ito tahu ini berat. Tapi Ito yakin semua bisa diatasi, minimal mereka tahu keberadaan kita. Ibu harus bertemu eyang," kuelus punggung Ibu perlahan. Sisa isakannya masih terdengar.
       "Eyang putri sudah meninggal delapan belas tahun lalu, karena sakit yang berkepanjangan. Sepertinya eyang tertekan, ibu yang membunuhnya," tuturnya dengan pandangan kosong. Berita apalagi ini, eyang sudah meninggal? Bagaimana ibu bisa melewati semua ini sendirian? Kepergian eyang putri adalah pukulan terberat yang perempuan dalam dekapanku ini alami. Keadaan itu yang akhirnya membuat ibu betul-betul membuang diri jauh dari keluarganya. Ibu membawaku ke tanah seberang, baginya tidak ada lagi yang dikuatirkan selain aku, anaknya.

                      ***
       Pulang kerja, aku berencana mampir menemui Sasti. Kangen juga dengan adik manjaku. Sudah lama dia tidak menghubungiku, seharusnya aku senang tidak terganggu lagi. Faktanya, sekarang aku  merindukan gangguannya. Dua puluh tahun hidup sebagai anak tunggal, melakukan segala sesuatu sendiri tanpa ada perebutan apa pun. Kehadiran Sasti yang sering merepotkan, memberi warna sendiri. Aku merasa dibutuhkan. Aku ingin hanya sebagai saudara.
        Pak Dibyo tergopoh membukakan gerbang, begitu aku menampakkan kepalaku di lubang gerbang kayu pelindung rumah bapak. Laki-laki beruban itu kembali menutupnya, lalu menghampiriku di tempat parkir. Mobil Sasti ada di sana, berarti dia ada di rumah.
       "Sore Den, mencari den Sasti ya?" Sapanya membungkuk sopan.
      "Gak usah begitu Pak, biasa saja," sahutku tidak enak hati, pak Dibyo sudah sepuh tapi menunduk hormat. Mungkin karena aku sekarang teman Sasti.
      "Den Ito, teman keluarga ini. Jadi saya harus hormat,"  jawabnya tersenyum. Aku balas senyumnya tanpa berkata-kata lagi, percuma. Seorang abdi dalem selalu bisa meletakkan dirinya, terkadang mereka menghargai bendoronya secara berlebihan. Bendoro juga manusia, sama seperti mereka.
       "Den Ito kemana saja, apa tidak kangen dengan den roro. Kasihan den roro Sasti," abdi dalem itu bertanya lirih.
      "Lagi banyak kerjaan Pak, maklum kuli bengkel," jawabku asal. Si bapak terkekeh, menampilkan gigi ompongnya.
      "Duduk dulu Den, saya panggilkan den Roro," Aku mengangguk, mengikuti pak Dibyo duduk di teras. Setelah aku duduk, laki-laki itu berlalu ke dalam rumah. Sebentar kemudian dia kembali menghampiriku.
       "Tunggu sebentar ya Den, den roro lagi beberes diri. Biar kelihatan cantik ketemu pujaan hati," ledeknya membuatku kikuk.
      Apa yang sudah aku lakukan, sampai seisi rumah ini berpikir, ada sesuatu diantara kami. Padahal, aku hanya beberapa kali datang untuk membantu gadis itu. Emang harus selalu ada hubungan istimewa antar laki-laki dan perempuan?

      Pak Dibyo sudah pergi, meninggalkanku sendiri, mengamati semua dengan kagum. Di ujung sana, ada  kursi jati ukiran naga yang sangat elegan, lampu hias yang menggantung di atap membuat suasana senja semakin syahdu. Pilar-pilar besar dari kayu jati berukir. Aku masih   mengagumi apa yang dimiliki keluarga bapak, hingga tidak menyadari seseorang memelukku dari belakang. Kepalanya disandarkan pada punggungku. Aku membeku, dadaku berdebar cepat. Apa yang dilakukannya membuatku tidak berdaya.
       "Sas, jangan begini," kucoba mengurai pelukannya. Sasti bergeming, pelukannya terasa semakin erat.
       "Mas, Sasti kangen," lirih suara lembutnya menyapu telingaku. Kuhela napas panjang. Kubalik tubuhku untuk menghadap padanya, wajah ayunya terlihat pucat tidak bersemangat. Keinginan gila bergejolak. Aku Ingin  memeluk dan mencium kening gadis didepanku. Mengurai kesedihannya, mengembalikan senyum cerahnya. Ah, itu gila. Tidak mungkin melakukan itu sekarang, ketika dia masih berharap padaku. Aku tidak mau semakin menyakitinya.
       "Dik, kamu sakit?" Tanyaku lembut. Sasti mendongak, menatapku lalu menggeleng lemah. Tangannya menyentuh dadanya sendiri, seolah mau berkata ini yang sakit. Maafkan masmu Dik, mas merusak mimpi indahmu. Sayangnya mimpi kita berbeda.
                  ****

Namaku DaitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang