Eyang

2.7K 119 14
                                    

      Dua hari menjalani perawatan di rumah sakit membuat kondisi ibu mulai membaik. Ibu sudah bisa diajak ngobrol, ketenangan mulai terlihat dalam pembicaraan kami. Meski begitu, kami berusaha tidak menyinggung masalah bapak atau siapa ibu. Aku pesan serius pada perempuan pemilik kontrakanku itu, untuk tidak bercerita tentang obrolan kami dua hari lalu.

       Penjagaan aku lakukan bergantian dengan bu Ratmi yang sudah menyadari sepenuhnya siapa ibu. Saat aku kerja, pagi sampai sore bu Ratmi yang menjaga, malam ganti aku. Setiap hari Bu Ratmi diantar jemput Ridwan cucunya yang sekolah di SMA tidak jauh dari rumah sakit. Kebetulan sekolahnya siang, setiap pulang bisa sekalian menjemput neneknya.

       Selama dua hari itu, mbak Denta masih suka menelpon tetap dengan tujuan yang sama memintaku untuk melihat Sasti. Aku pun masih memberi jawaban yang sama, tidak bisa. Aku tidak mengatakan ibu sakit karena tidak mau menambah pikiran mereka. Masalah Sasti sudah cukup berat buat keluarga mereka, nyatakan sudah lima hari sejak peristiwa hari itu bapak tidak mencari kami lagi. Menghubungi saja tidak, apalagi mencari. Mungkin bagi bapak, Sasti putri bungsunya lebih penting daripada adik yang katanya sangat disayanginya. Darahnya mengalir dalam tubuh gadis yang aku yakini saat ini sedang terbaring di rumah sakit. Kenyataan itu, selalu membuat dadaku terasa sesak.

       Pulang kerja aku langsung ke rumah sakit, kubuka pintu ruang rawat inap ibu. Ibu terlihat sedang berbicara dengan bu Ratmi yang setia mendampinginya. Perempuan tua itu segera menyingkir melihatku datang.

       "Ibu lebih enakan?" Tanyaku begitu masuk ruang rawat inap ibu. Kucium punggung tangannya seperti biasa. Seberkas senyum hangat menghiasi wajah tirusnya sebagai jawaban.

      "Sudah pulang kamu, Nang?" Ibu balik bertanya.

      "Iya Bu," jawabku singkat. Setelah bersalaman dengan kedua perempuan itu, aku masuk ke kamar mandi sebentar untuk membersihkan badan seperti yang ibu ajarkan.

      "Ridwan belum pulang Bu Ratmi? Sudah jam enam lebih," Tanyaku pada perempuan luar biasa baik itu.

      "Sudah Mas, ibu suruh pulang saja. Ibu ingin menginap di sini malam ini," sahutnya sambil memijat kaki ibu.

       "Kenapa Bu?" Perempuan itu tersenyum.

      "Gantian, Mas Ito saja yang pulang, biar bisa istirahat di rumah," jawaban tidak terduga keluar dari mulut perempuan yang hanya tetanggaku itu.

       "Tidak usah, Bu Ratmi saja yang pulang. Ibu sudah seharian di sini. Ito mau menemani ibu," jawabku tidak mau kalah. Bu Ratmi sudah berumur, kasihan tubuhnya butuh istirahat.

       "Kamu pulang saja Nang, sepanjang hari kamu harus kerja di bengkel. Kamu pasti lelah," Ibu ikut mengusirku dari rumah sakit.

       Sepertinya mereka sudah bersepakat membuatku pulang ke rumah. Tetapi aku bukan anak kecil lagi yang bisa menerima belas kasihan orang begitu saja. Apa pun alasannya, ibu adalah tanggungjawabku jadi aku tetap harus di sini.

       "Kalau Bu Ratmi tidak mau pulang, ya udah kita bertiga di sini," Putusku akhirnya, kedua perempuan itu menatapku. Aku tersenyum kecil lalu keluar meninggalkan mereka berdua yang mungkin masih bertanya-tanya.

       Kubawa langkahku menuju kantin di lantai bawah. Aku butuh kopi untuk memulihkan staminaku,  analisis ngawur pencinta kopi  Sejak lulus SMK yang membawaku menjadi teknisi, bergaul dengan penyuka kopi dan rokok menjadi hidupku tergantung dengan kopi. Untungnya aku tetap tidak mau mencoba rokok, cukup kopi saja yang membuatku tergantung.

      Keluar dari lift, aku dikejutkan oleh keberadaan mbak Denta yang mau masuk ke dalam ruang besi itu. Saudara tuaku itu pun sama terkejutnya.

      "Ito, kamu..," pertanyaannya menggantung di udara. Aku baru menyadari, mbak Denta tidak sendiri. Tangannya menggandeng seorang laki-laki tua dengan wajah keras, yang saat ini menatapku tidak berkedip. Laki-laki yang seharusnya aku panggil eyang itu menepuk lengan cucunya lembut.

       "Siapa Den?" Tanyanya menyelidik. Mbak Denta menatapku tanpa kata, aku balik menatap saudara tuaku itu. Eyang menatap kami curiga.

        "Denta, kamu tidak ada main dengan laki-laki ini kan?" Aku hampir tertawa mendengar pertanyaan konyol laki-laki tua itu.

       "Tentu tidak Yang, Ito teman Sasti," jawab mbak Denta yang disambut dengan geraman bapak ibuku itu.

       "Jadi kamu yang membuat cucuku menderita. Siapa kamu berani melakukan itu pada keturunan Susastro Hadi Suryaningrat. Kamu tidak tahu siapa aku?" Teriaknya lantang. Beberapa orang di sekitar kami menoleh, menatap aneh laki-laki ningrat yang terlihat arogan.

       "Eyang, bukan begitu. Ito bukan..."

      "Bukan apa? Dia bukan pacar Sasti karena pemuda tidak tahu diri ini menolak adikmu?" Katanya emosi. Amarahku mengelagak, kubalas tatapan matanya dengan berani. Laki-laki tua itu terlihat sangat sombong.

        Aku tidak bisa membayangkan seperti apa kemarahannya kepada ibu waktu itu, 22 tahun lalu ketika usianya masih cukup muda. Di usianya senjanya saja, suaranya masih sangat memgintimidasi. Membayangkan penderitaan ibu waktu itu membuatku ingin membalas perbuatannya, tetapi dia eyangku. Darahnya mengalir utuh dalam tubuhku.

       "Eyang, dengar Denta dulu," pinta cucunya sabar. Mbak Denta pasti malu dengan perilaku arogan kakeknya.

        "Eyang tidak mau dengar. Dan kamu, ikut aku!" Perintahnya tidak terbantah lagi. Mbak Denta menghela napas panjang, dari matanya aku tahu betapa besar beban saudaraku itu. Aku mengangguk, mencoba mengurangi bebannya.

       Laki-laki itu membalikkan badan, tanpa bersuara dia melangkah meninggalkanku. Mbak Denta menepuk pundakku lembut, sebelum berlari mengejar langkah panjang eyangnya. Kuikuti langkah mereka  masuk ke kantin, yang terletak di sudut lantai ini.

      Eyang menarik kursi putih paling pojok, lalu duduk dengan kasar. Aku dan mbak Denta saling memandang tidak bersuara.

      "Kenapa diam saja, duduk!" Perintahnya tegas. Aku sangat ingin menolak keinginannya, tetapi lagi-lagi akal sehatku berkata lain. Percuma melawan orang yang sedang putus asa.

       "Apa yang kamu inginkan dengan permainan murahan ini!" Suara beratnya langsung menyerang begitu aku duduk. Mbak Denta memilih pergi meninggalkan kami, untuk memesan sesuatu. Aku masih diam, sebagai cucunya aku malu dengan sikap arogan laki-laki beruban didepanku.

       "Berapa yang kamu minta?" Geramnya dengan mata nyalang. Sedikit pun tidak ada kerendahan hati. Dari mana sifat lembut ibu?

       Aku tidak paham cara berpikir eyang, apa yang dia maksudkah? Apakah semua masalah dapat diselesaikan dengan uang? Pantas ibu memilih pergi, daripada mengalami menderita karena ulah ayah kandungnya sendiri.

       Mbak Denta datang dengan tiga gelas minuman yang dibawanya sendiri. Melihat kami sama sama terdiam, mbak Denta ikut duduk tanpa komentar. Laki-laki angkuh itu mendengkus kesal.

       Dalam hati aku ingin tertawa, lucunya keluarga terhormat ini. Lima hari yang lalu bapak datang marah-marah pada adik kesayangannya yang hilang 22  tahun lalu. Hari ini, laki-laki yang notabene adalah eyangku sendiri, marah-marah dengan arogan kepada cucu yang tidak dia kenal.

                   ***
Sore reader, aku senang cerita ini ternyata banyak yang menunggu dengan berbagai harapan dan alasan.
Maafkan author, jika tidak sesuai ekspektasi sampai ada yang merasa diphp in... padahal beneran author lagi repot dengan kerjaan dunia nyata. Sampai melupakan kesehatan sendiri.
Doakan author cepat pulih agar bisa update sesuai jadwal. Anak lanangku juga lagi sakit. Mohon doanya.
Terima sudah sabar menunggu.

Salam literasi
      
     

Namaku DaitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang