Hai hai hai... Daito datang nih, setelah lama gak tersentuh akhirnya ada waktu buat nulis Daito lagi.
Berhubung proyek dilapak satunya sudah beres, doakan bisa membereskan ini juga ya... sudah ngregetan mau menyebarkan kebaikan buat banyak orang. Benerkan, tulisan yang benar menyebarkan kebaikan?
Okey, happy reading aja deh...
Aroma wangi dari dapur membangunkanku, pasti Ibu sudah masak. Perut tak tahu maluku langsung merasa lapar. Aku segera turun dan keluar kamar. Benar dugaanku, wanita hebat kebanggaanku itu sudah berkutat di dapur.
"Pagi banget Bu masakannya?" Kupeluk tubuh kecil ibu dari belakang. Aku sangat menyayangi Ibu, buatku Ibu segalanya.
"Gak malu sudah gede manja begini?" Kugelengkan kepala yang masih menempel pada punggungnya.
" Sudah siang Nang, sana mandi dulu. Kita sarapan bareng," perintah Ibu lembut. Ibuku sangat baik hati dan lembut, aku bangga jadi anaknya.
"Siap ibu suri, ananda mandi dulu," kukecup pipi tirus ibuku sebelum masuk ke kamar mandi. Ibu geleng-geleng melihat tingkahku.
Selesai mandi, kami segera sarapan di ruang tamu. Ibu sudah menyiapkan makanan di atas tikar. Tak ada makanan istimewa disana, hanya ada ikan dan tempe goreng, sayur lodeh, sambel korek dan oseng tahu cabai ijo. Meski tidak istimewa, makanan itu membuat air liurku keluar apalagi sambelnya. Uh pasti nikmat..
"Mau makan apa, ikan apa tempe?" Tanya Ibu sambil menyiapkan nasi dipiring.
"Ikan dan tempe, pasti lezat sama sambel koreknya," jawabku sambil mengambil tempe goreng.
Ibu menatapku lembut, aku terkekeh melihatnya. Gaya makan seperti itu sangat tidak beliau suka. Meski jauh dari keluarganya, cara hidup keturunan priyayi yang banyak aturan kesopanan Ibu ajarkan kepadaku. Mana yang pantas dan tidak pantas, tanpa mengembar-gemborkan garis keturunannya. Diam-diam ajaran itu masuk dalam hidupku. Termasuk cara makan yang sopan. Makan tidak boleh menghasilkan suara apa pun, tidak ada kecap lidah, tidak ada denting bunyi sendok, tidak juga komentar tentang nikmat makanan yang tersedia. Setelah selesai baru boleh berbicara, berbeda dengan cara makan keluarga modern yang menggunakan meja makan sebagai tempat interaksi keluarga.
Acara sarapan sudah selesai tapi Ibu masih diam menatap mangkok sayur yang sudah ludes beberapa menit yang lalu. Pandangan matanya menerawang entah kemana?
"Ibu sakit?" Kugeser tubuhku mendekatinya. Tak ada jawaban, Ibu bergeming dari posisinya.
"Sayur itu kesukaan Bapakmu Nang, lodeh kacang, tempe goreng dan sambel korek. Biar pun banyak makanan lain, menu itu yang paling beliau suka, keturunan ningrat kok sukanya sayur murahan," kata Ibu parau. Dadanya terlihat turun naik dengan cepat. Satu rahasia lagi diungkap Ibu tentang bapak, rahasia yang telah disimpannya puluhan tahun lamanya.
"Ito juga suka Bu, enak," sahutku menimpali ucapannya.
"Terpaksa suka kan? Karena Ibu terlalu sering memasaknya untukmu demi mengingatnya dalam hidup Ibu," Perempuan tangguh itu tersenyum getir.
"Ibu kangen Bapak?" Pertanyaan bodoh, sudah pasti beliau kangen laki-laki yang sangat dicintainya itu. Demi cintanya bahkan Ibu rela pergi untuk mempertahankanku.
"Tidak lama lagi kita akan bertemu dengan mereka," jawabku mantap. Kupegang tangan keriput itu. Deritanya karena kehadiranku teramat panjang, aku ingin menghapusnya dan memberinya kebahagiaan.
"Ibu gak mau merusak keluarga mereka, Bapakmu sudah menikah dan punya keluarga sendiri. Ibu gak tahu bagaimana caranya memberitahukan keberadaanmu didepan mereka semua," Keluhnya pasrah.
"Kita tidak akan merusak keluarga siapa pun Bu, tidak juga keluarga Bapak. Ito hanya ingin Ibu kembali pada Eyang,"
"Iya kalau diterima, mereka bahkan tidak peduli Ibu ada dimana, ibu masih hidup atau tidak. Tidak ada yang mencari," Kembali perkataan Ibu terdengar pasrah. Baru sekarang Ibu memperlihatkan kelemahannya.
"Ibu percaya Ito kan? Biar Ito yang melakukan semuanya untuk Ibu," kupeluk Ibuku erat. Aku hanya ingin Ibu bahagia, bisikku dalam hati.
Bekasi, 1 Agustus 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Namaku Daito
General FictionMaafkan Ibu Nang, Ibu membuatmu menderita... Aku Daito. Aku tidak pernah menyalahkan Ibu atas hidupku. Ibu segalanya bagiku, milik yang paling berharga yang diberikan Tuhan kepadaku. Bagiku Ibu perempuan luar biasa, tidak ada seorang perempuan pun...