Laki-laki tua itu melangkah gagah mendekati kami yang masih diam terpaku. Aku memang berharap eyang segera tahu siapa aku yang sebenarnya, tetapi tidak malam ini. Terlalu mendadak dan aku yakin, ibu juga belum siap menyampaikan berita itu.
"Apa yang kamu sembunyikan dari Romo, Nduk? Sudah terlalu lama kamu menyimpan semuanya sendiri, sekarang bicaralah!" Ujar eyang lembut. Ibu menunduk, menyembunyikan airmata yang sedari tadi ditahannya.
"Duduk sini, kita bicarakan semua sekarang. Biar jelas dan apa kamu tidak lelah bersembunyi?" Ajaknya lembut. Ibu masih tegak berdiri, aku pun masih disisinya berusaha menumpuk keberanian. Apa yang harus kami lakukan? Haruskah membongkar semuanya malam ini?
Eyang duduk gagah di kursi panjang tempat bapak duduk tadi. Wajah tuanya menatap ibu lembut, berbeda sekali waktu pertama kali aku bertemu beberapa bulan lalu. Sejak bertemu ibu, dimataku eyang adalah ayah yang luar biasa melindungi. Eyang terlihat sangat menyayangi putrinya. Atau itu bentuk penyesalannya dan usaha menebus kesalahannya 22 tahun lalu?
"Ayolah, kalian kenapa masih berdiri di situ. Eyang gak ngigit kok," selorohnya sambil tertawa. Suara tawanya menggelegar memenuhi ruangan kecil kami, tak khayal memaksaku tersenyum.
Ibu mendongak, wajahnya terlihat lebih cerah. Sepertinya suara lembut ayahnya memberinya keberanian untuk menghadapi kenyataan. Ibu bergerak mendekati eyang, laki-laki tua itu menepuk ruang kosong di sebelahnya. Ibu menurut, duduk manis di samping ayahnya.
Aku duduk di bangku tunggal di satu sisi eyang lainnya. Melihat bahasa tubuh dan tutur kata eyang, sepertinya aku tidak perlu kuatir. Semua akan baik-baik saja To, tenang saja.
"Rahasia besar apa yang masih kalian sembunyikan? Tentang ayah Ito?" Tebak Eyang langsung pada intinya. Ibu melonjak kaget, tatapan netranya beralih padaku.
"Siapa pun dia, Romo tidak akan mempermasalahkannya. Buat Romo, yang penting kalian sudah kembali dan kita bisa berkumpul di sini. Ini rumah kalian." Eyang menatap kami bergantian.
"Siapa pun Romo?" Tanya ibu menyakinkan. Eyang mengangguk pasti.
"Siapa pun dia, tidak akan mengubah keadaan. Kamu tetap putriku, demikian juga Ito tetap cucuku. Darahku mengalir di tubuh anak muda pemberontak ini!" Eyang terkekeh bahagia.
Benarkah eyang tidak apa-apa kalau tahu aku anak bapak, putra sulung kebanggaannya? Meski terlihat bahagia, aku masih ragu menyampaikan kebenaran itu. Eyang punya riwayat sakit jantung, bagaimana tiba-tiba anfal.
"Laki-laki itu pasti hebat, bisa membuat ibumu jatuh cinta, sejatuh-jatuhnya. Sementara banyak laki-laki tampan dan kaya yang datang melamar ditolak mentah-mentah," katanya bangga dengan pandangan tidak beralih dari putrinya. Ibu menunduk, tidak berani lagi menatap eyang.
Aku mengerti ketakutan ibu. Beberapa waktu lamanya kami terdiam, eyang baru saja menutup kembali harapan kami. Keberanian kami berangsur luntur, harapan eyang terlalu tinggi terhadap laki-laki yang berhasil membuat putrinya jatuh cinta.
"Maaf Romo, ini tidak seperti yang Romo bayangkan. Laksmi salah mencintai orang, juga salah menggunakan kepercayaan Romo dan Ibu. Seharusnya Laksmi bisa menjaga martabat keluarga," kata ibu bergetar. Eyang menepuk pundak ibu, seperti hendak menguatkan.
"Cinta tidak pernah salah Nduk! Seperti Romo yang tidak pernah bisa meninggalkan ibumu, perempuan pertama yang membuat Romo jatuh cinta sekaligus tidak bisa mempertahankan cinta kami. Sampai ibumu harus rela menerima syarat gila eyangmu, mengizinkan Romo menikahi perempuan yang disodorkan eyangmu. Tidak hanya satu tetapi dua, semua kegilaan ini karena cinta. Cinta yang kalian tidak akan pahami," sahut eyang pelan. Tatapan matanya menerawang jauh, mungkin sedang bernostalgia dengan kisahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namaku Daito
General FictionMaafkan Ibu Nang, Ibu membuatmu menderita... Aku Daito. Aku tidak pernah menyalahkan Ibu atas hidupku. Ibu segalanya bagiku, milik yang paling berharga yang diberikan Tuhan kepadaku. Bagiku Ibu perempuan luar biasa, tidak ada seorang perempuan pun...