Mulai usaha

4.1K 122 11
                                    

Berkat pengalaman kerja di bengkel, aku mendapat pekerjaan di bengkel mobil Toyota tak jauh dari rumah Eyang. Aku sengaja memilih bengkel itu karena itu salah satu peluang bisa bertemu dengan keluarga itu. Mobil Bapak Forturner, Eyang menggunakan Alpard hitam kinclong, mbak Denta kakak tiriku Yaris dan beberapa mobil lain yang keluar masuk ke rumah itu sebagian besar keluaran Toyota. Aku pernah melihat mbak Denta masuk ke bengkel itu membawa mobil yaris merahnya.

Sabtu pagi, sebuah Forturner putih memasuki area bengkel. Aku mengenal mobil itu, seorang laki-laki gagah turun dari dalam mobil disambut hangat mas Bagas manager di bengkel kami. Laki-laki tersenyum hangat, matanya diedarkan ke sekeliling sebelum kembali berhadapan dengan bos ku.

"Tumben dibawa sendiri Pak, bukan pak Yono?" Tanya mas Bagas yang disambut senyum lebar oleh laki-laki itu.

"Pak Yono lagi libur, pulang kampung Ibunya sedang sakit," jawabnya menjelaskan alasan kedatangannya.

"Harusnya pak Tito bisa telpon saja, kami bisa mengambilnya di rumah," kata mas Bagas sungkan. Ya, Laki-laki yang baru datang itu bapakku.

"Wis lah, kok manja banget to Mas, sekalian lihat-lihat sudah lama aku gak kemari," ditepuknya pundak mas Bagas pelan. Mereka tampak tertawa bersama, setelah itu mas Bagas memersilakan tamunya duduk.

"Gak usah Mas, Bapak mau lihat-lihat aja," laki-laki itu tersenyum lalu melangkah meninggalkan mas Bagas menuju ke tempat kami bekerja.

Aku segera kembali melakukan tugas yang sempat kuabaikan untuk mengintip apa yang dilakukan laki-laki itu di kantor. Beberapa teknisi berhenti dan memberi hormat ketika Bapak lewat, terasa banget wibawanya. Laki-laki berwibawa berhenti tidak jauh dari tempatku bekerja di kolong mobil. Entah apa yang beliau lakukan, aku tidak tahu.

"Gas, mobil mbak Denta Minggu lalu jadi dibawa ke sini kan?" Suara beratnya membelah suara mesin di beberapa titik bengkel ini. Kudengar suara langkah kaki mendekat, mungkin Mas Bagas yang ditanya tadi.

"Belum Pak, saya sudah telpon kata mbak Denta minggu depan saja. Katanya mobil masih dipake mas Soni," jawabnya.

"Yo wis, jangan lupa tanyakan lagi ya? Sudah harus masuk servis kok belum dibawa," keluh Bapak lirih. Laki-laki itu mendesah sebelum berlalu dari tempatnya berdiri.

Setelah merasa aman, aku keluar dari kolong mobil. Bapak sudah duduk di ruang tunggu dengan koran ditangan. Kuhela napas panjang, mengatur detak jantungku sendiri. Berada dekat dengan fisik laki-laki yang puluhan tahun aku rindukan membuatku jantungku berdebar kencang. Aku tidak tahu apa yang dirasakan Ibu, seandainya bertemu kembali dengan beliau.

***

"Mas, pemilik Fortuner putih tadi siapa sih? Kayaknya semua pada hormat dengan beliau," Tanyaku pada mas Raji saat istirahat makan siang. Aku penasaran kenapa Bapak begitu dihormati di bengkel tempat kerjaku.

"Fortuner putih? O pak Tito," jawabnya sambil mengunyah makanannya.

"Namanya pak Tito to," sahutku pura-pura. Laki-laki kurus didepanku itu mengangguk sambil menelan makanannya.

"Pak Tito itu langganan kehormatan di sini. Bos besar tapi orangnya baik banget, gak kayak orang kaya yang lain. Priyayi yang ramah sama warga sekitar makanya banyak orang suka sama dia. Sayangnya...,"

"Sayangnya kenapa Mas?" Potongku pingin penasaran. Mas Raji menatapku heran, sadar dengan pandangan rekan kerjaku itu aku segera menetralkan rasa penasaranku.

"Penasaran banget To?"

"Pernyataan sayangnya mas membuatku kepo hehehe," sahutku tertawa mencoba menghindarkan diri dari kecurigaannya. Mas Raji terbatuk. Diteguknya es teh manis didepannya.

"Menantunya gak beres, padahal mbak Denta nya juga baik banget. Lha kok dapat laki-laki seperti mas Soni yang ampun dah, pokoknya malu-maluin kaum lelaki," jawabnya dengan ekspresi jijik. Melihat ekspresi tak menyenangkan itu membuatku semakin penasaran ada apa dengan keluarga mbak Denta?

Setelah aku pancing dengan beberapa pertanyaan, laki-laki itu melanjutkan ceritanya hingga semua menjadi jelas dan gamblang. Kasihan mbak Denta. Karmakah itu?

****
Pulang kerja, aku melihat Ibu masih asyik dengan mengukur baju jahitannya. Dua hari setelah di tiba di Solo, aku langsung mencarikan ibu mesin jahit, memesan papan nama untuk dipasang di depan rumah. Esuk harinya sudah ada pelanggan yang memasukan jahitannya. Kata Ibu, setiap hari ada saja orang yang datang menjahitkan baju.

"Ibu, Ito pulang," kusapa Ibu yang masih fokus dengan pola yang sedang dibuatnya.

"Sudah pulang kamu Nang, mandi dulu terus kita makan ya," sahut Ibu. Kucium tangannya sebelum berlalu.

"Oya, Ibu menjahitnya jangan sampai malam-malam. Entar capek lho," kataku balik badan.

"Gak, sekalian menunggu kamu pulang. Kalau bengong malah Ibu capek," Aku tertawa mendengar jawaban santai ibuku.

Seperti biasa, Ibu tetap bersikeras dengan prinsip tidak suka berleha-leha.

"Selama masih kuat, Ibu akan tetap bekerja. Tidak baik badan diam saja di rumah, nanti malah tambah gemuk. Kalau kamu sudah menikah dan punya anak, mungkin Ibu akan momong anakmu saja," begitu kata Ibu ketika aku memintanya untuk berhenti menjahit. Aku hanya tersenyum karena aku sama sekali belum berniat untuk menikah, pacaran saja belum.

Selesai mandi, aku langsung duduk di ruang tamu. Seperti biasa, Ibu sudah menghidangkan makan malam kami di sana. Kami makan dalam diam. Setelah selesai, kubantu Ibu merapikan sisa makan malam kami. Lalu kami duduk santai bersandar di dinding sambil menonton televisi. Meski ragu-ragu, aku memberanikan diri bercerita tentang "pertemuanku" dengan Bapak.

"Tadi Ito ketemu Bapak," sengaja kujeda ceritaku untuk menunggu reaksinya.

Ibu menoleh sebentar lalu kembali melihat acara talk show di tv. Melihat reaksi Ibu, aku tidak berani melanjutkan. Aku tahu, Ibu tidak sungguh-sungguh melihat acara itu. Dua Puluh tahun hidup bersamanya membuatku banyak tahu perasaannya, seperti Ibu tahu perasaanku. Beberapa menit kemudian suara lembut Ibu memecah kesunyian hatiku.

"Kalian sempat berbicara?" Aku menggeleng. Jangankan berbicara, muncul didepannya saja aku belum berani. Aku masih bersembunyi di kolong mobil. Padahal aku keluar pun, Bapak tidak akan mengenaliku.

"Ito belum berani menyapa, mungkin suatu saat nanti," sahutku menerawang.

Keinginan untuk diterima Bapak dan keluarga Eyang tumbuh teramat subur dalam hatiku. Tapi aku harus memikirkannya baik-baik agar tidak salah langkah. Suatu hari nanti, aku harus memberanikan diri untuk melangkah lebih maju.

"Sabar ya, Ibu tahu ini berat buatmu. Maafkan Ibu Nang," bisik Ibu lirih.

"Gak apa-apa Bu. Menurut Ito, ini sudah selangkah lebih maju. Ito bahagia mendengar cerita orang tentang Bapak. Meski ada cerita yang tidak menyenangkan juga," Ibu tampak kaget mendengar penjelasnku.

"Kenapa? Bapak gak sakit kan?" Tanyanya khawatir. Betapa cinta itu sangat terlihat diwajah cantik ibuku.

"Bapak sehat, Ibu tenang saja. Mbak Denta, putri Bapak. Sepertinya kehidupan keluarganya membebani pikiran Bapak," Ibu menghela napas lega.

"Jangan ikut campur, itu bukan urusan kita," ujar Ibu setelah aku menceritakan kisah yang kudengar dari mas Raji.

"Sudah sana istirahat, kamu pasti capek," Ibu menepuk pundakku lau beranjak meninggalkanku yang masih terdiam di ruang tamu.

Buaran, 6 Agustus 2019

****

Berasa kayak drakor ya...
Hehehe gak juga sih, ide cerita ini ada sebelum aku mengenal drakor.

Sudah mulai greget belum sih, komen dong... biar aku semangat nulisnya wkwkwk...

Makasih sudah baca ya..

Happy reading

Salam literasi..

Namaku DaitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang