Mas Bagas

3K 108 1
                                    

      Seperti yang sudah aku duga, tidak mudah bersembunyi dari Sasti.  Kuabaikan semua pesan dan panggilan yang dia lakukan. Di bengkel, aku juga berpesan kepada bagian front office dan teman-teman untuk mengatakan aku tidak ada jika dia mencari. Ternyata, usaha sembunyi menuai protes dari seseorang yang berwenang di tempatku bekerja.

      "Ada apa dengan kalian?" Tanya mas Bagas curiga. Agaknya, permintaanku pada teman-teman sudah sampai ditelinganya. Laki-laki berkacamata itu menatapku tajam, kami duduk berhadapan dikantornya. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan bosku ini. Tidak sewajarnya, dia membawa ranah pribadi di sini.  Aku masih diam. Merasa tidak harus menjelaskan urusan pribadiku.

     "Dia mengejarmu dan kamu tidak mau, sampai harus berpesan kepada semua orang kalau kamu menolaknya?" Tatapan tajamnya terlihat semakin menakutkan dengan intonasi suara yang meninggi. Sepertinya dia marah besar, atau mungkin tersinggung merasa kalah denganku?

     "Maaf Mas, masalahnya apa ya?" Sahutku kalem. Aku tidak mau terpancing sikap konyolnya. Laki-laki itu semakin marah mendengar jawabanku.

     "Kamu, bersikaplah dewasa To! Apa yang sudah kamu lakukan padanya?" Aku bergeming. Dalam hal ini, siapa yang bersikap tidak dewasa? Seorang atasan yang marah kepada bawahannya hanya karena merasa kalah dalam percintaan, aneh banget.

       Laki-laki itu masih menatapku tajam, ujung jarinya mengetuk meja tanpa nada. Aku ingin tertawa melihat tingkah gusarnya, tapi kutahan dalam hati. Tidak baik memancing emosinya semakin meninggi. Kasihan kalau darah tinggi.

     "Maaf Mas, kalau boleh tahu. Apa masalah saya dengan Sasti, ada hubungannya dengan pekerjaan?" Tanyaku ingin tahu. Mata didepanku berkilat merah.

     "Menjadi masalah ketika kamu melibatkan banyak orang!"

     "Maksudnya?"

     "Semua orang jadi terganggu dengan pesan yang kamu berikan. Sasti terus menelpon CS, mencarimu ke sini. Bikin ribet!" Aku manggut-manggut.

      "Kenapa tidak dihadapi saja. Memang apa yang sudah kamu lakukan padanya?" Tanyanya menyelidik. Aku semakin tidak paham dengan logika pimpinanku ini. Mas Bagas yang kukenal cerdas, sekarang terlihat bodoh karena cinta butanya pada Sasti.

      "Maaf, aku tidak bisa bercerita," mohonku tulus.

     "Kamu sudah menodainya?" Tuduhan gila terlontar begitu saja. Aku tersentak, tidak menyangka akan menerima tuduhan sekejam itu dari atasan yang selama ini kupandang baik. Sikap Mas Bagas memang berubah, sejak Sasti menemuiku beberapa waktu lalu. Saat terakhir aku bertemu dengannya.

      "Aku tidak pernah diajari ibu untuk menyakiti perempuan," sahutku santai.

     "Nyatanya kamu sudah menyakiti Sasti!"

     "Dari mana Mas tahu? Sasti berbicara dengan njenengan?" Mas Bagas mendengkus kesal.

     "Dia...!"

     "Dia bahkan tidak pernah menyapa Mas Bagaskan?" Potongku penuh kemenangan. Emosiku mulai terpancing. Aku tidak suka dengan tuduhannya. Dibiarkan oleh ibu tunggal, membuatku bertekad untuk menjunjung tinggi martabat perempuan. Aku berjanji dalam hati, untuk tidak akan menyakiti hati mereka. Tentang Sasti, ini kasus yang berbeda. Semakin aku mendekat, dia akan semakin terluka. Apalagi jika suatu saat dia tahu, aku saudara seayah dengannya.

     "Tanpa mengurangi rasa hormat, mohon maaf ini urusan pribadiku dengan Sasti. Mas Bagas tidak berhak ikut campur. Maaf, jika saya lancang,"

      "Kamu! Sadar gak dengan siapa kamu bicara?" Sentaknya gusar.

      "Sadar Mas. Mas Bagas atasanku, bukan orang tuaku atau orang tua Sasti. Jika ada keberatan dari pihaknya, aku akan menjelaskan sendiri kepada pak Tito, bukan kepada njenengan,"

     "Kamu terlalu percaya diri anak muda," ujarnya sinis. Kutanggapi ucapan laki-laki 26 tahun itu dengan senyum.

     "Kalau Mas Bagas menyukai Sasti, bukan begini caranya. Muncul Mas, jangan hanya disimpan dalam hati. Satu lagi, Sasti tidak perlu Mas lindungi dari siapa pun, termasuk dariku. Karena aku sendiri yang akan melindunginya," Muka mas Bagas pias.

      "Apa maksudmu?"

      "Maaf Mas, mari kita kerjakan bagian kita masing-masing. Kejar Sasti kalau dia tujuan hidupmu," Aku berdiri, mas Bagas ikut berdiri tak bersahabat.

      "Aku minta maaf, kalau masalahku mengganggu kerja teman-teman. Terima kasih. Aku permisi dulu," Tanpa menunggu persetujuannya, aku langsung keluar ruangan itu. Di luar ruangan,  beberapa pasang telinga ternyata ikut nimbrung mencari tahu.

      "To, mau kemana?" Tanya mas Samto menutupi rasa malunya. Aku hanya tersenyum berlalu meninggalkan mereka, orang-orang dewasa yang selalu mau tahu urusan orang lain.

                     ***
Segini dulu ya... sing penting update

Salam literasi

27082019

Namaku DaitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang