Sejak kepergian bapak hari itu, ibu lebih banyak diam. Mesin jahitnya pun tidak digunakan sejak dua hari lalu. Untung ada bu Ratmi yang mau membantu menjaga ibu ketika aku kerja. Keadaan ibu yang kurang baik membuatku harus minta izin khusus pulang tepat waktu. Untung mas Bagas mengerti, beberapa hari ini dia terlihat lebih bersahabat seperti pertama kali aku datang.
Mbak Denta beberapa kali menghubungiku, memintaku datang melihat Sasti yang terus mencariku. Permintaan itu kutolak tegas, dalam keadaan psikis ibu yang kurang sehat aku tidak mungkin meninggalkannya di malam hari. Bagiku ibu segalanya, aku tidak peduli lagi bapak akan mengakuiku atau tidak.
Hari ini aku izin tidak kerja, karena dari kemarin sore ibu demam. Setelah jam makan sing Bu Ratmi menelpon, memintaku segera pulang. Lagi-lagi mas Bagas yang dasarnya berhati baik, memberiku kelonggaran untuk menjaga ibu.
Semalaman ibu tidak dapat tidur nyenyak, beberapa kali ibu mengigau memyebut nama eyang. Keringat dingin mengucur deras, napasnya tersenggal, wajahnya tampak sangat ketakutan.
"Maafkan Laksmi Romo, maafkan Laksmi?" gumam ibu dengan tangan menyembah layaknya putri kraton.
Kupeluk tubuh ringkik ibuku. Rasanya baru tiga hari berlalu tetapi dampaknya sangat signifikan. Tubuh ibu menyusut dengan cepat.
Sudah jam delapan pagi, ibu masih meringkuk seperti bayi dalam pelukanku. Panas tubuhnya belum juga turun. Aku putuskan untuk membawa ibu ke rumah sakit terdekat.
Ibu bukan perempuan lemah, meski bekerja keras untukku beliau tidak pernah sakit. Kebiasaannya minum jamu seperti yang diajarkan orangtuanya dulu, membuatnya kuat melewati hari-harinya. Kalau hari ini terpaksa terbaring sakit, itu karena tekanan yang beliau terima.
Bu Ratmi membantu membersihkan tubuh lemah ibu, dan menggantikan bajunya. Dengan taksi online, kami membawa ibu. Bu Ratmi dan ibu duduk di belakang, perempuan tambun berhati mulia itu dengan sabar mendampingi ibu. Memeluknya erat, seperti hendak berbagi panas tubuh mereka.
Begitu sampai di lobi rumah sakit, kami langsung membawanya masuk UGD. Bu Ratmi menemani ibu di ruang tunggu, aku mendaftar di administrasi. Tidak menunggu lama, ibu dipanggil masuk. Dengan cekatan perawat dan doktet jaga melakukan pemeriksaan.
"Ambil darah, Sus, Tubex" perintah dokter jaga.
"Siap Dok," seorang perawat segera melakukan pengambilan darah. Setelah pemeriksaan total dilakukan, dokter jaga memintaku menemuinya.
"Ibunya dirawat ya Mas, supaya mendapat penanganan intensif," ujar dokter muda berkacamata sambil terus menulis.
"Ibu saya sakit apa Dok?" tanyaku kuatir. Aku setuju saja ibu dirawat, agar mendapat perawatan terbaik. Kalau di rumah aku malah tidak bisa menjaganya dengan baik.
"Belun bisa dipastikan, kemungkinan tipes," jawabnya tersenyum. Diagnosis sederhana seorang dokter.
"Tolong ini dibawa ke kasir, setelah itu kembali ke sini. Ibu kami tangani dulu ya?" Katanya kembali berdiri, mendekati ibu yang sudah mulai dipasang infus.
Aku bergegas ke kasir, menyerahkan catatan yang diberikan dokter. Pelayanan cepat yang diberikan sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Untuk kesehatan kami, aku persiapkan dengan menggunakan asuransi kesehatan. Pelayanan yang diberikan biasanya lebih baik.
Setelah selesai aku kembali ke UGD, ibu masih tertidur hal yang tidak bisa dilakukan tiga malam belakangan. Agaknya obat yang mereka suntikan salah satunya untuk membuatnya beristirahat lebih baik.
Tubuh lemah ibu didorong dengan menggunakan brankar menuju ruang rawat. Bu Ratmi masih setia mendampingi kami, membawa tubuh lelahnya.
"Maaf ya Bu, jadi merepotkan," kujajarkan langkahku disampingnya.
"Gak apa-apa Mas, saya senang bisa membantu. Ibumu baik banget sama ibu," jawabnya lugu. Ibu memang jarang keluar, sehari-hari teman beliau hanya bu Ratmi dan beberapa ibu di sekitar rumah. Ibu menjaga dirinya dengan caranya sendiri.
Sampai di ruang Anggrek 8A, perawat mendorong brankar ke dalam, kemudian memindahkan ibu di bed elektrik di ujung kamar. Merapikan semuanya, lalu mereka pamit.
"Sudah selesai, kami tinggal. Semoga ibu bisa istirahat dengan nyenyak," pamitnya sopan.
"Terima kasih Suster" jawabku mengantar mereka keluar. Bu Ratmi duduk di dekat ibu, menggenggam tangan ibu erat. Mulutnya berkomat kamit seperti tengah merapalkan doa.
Ruang yang disiapkan untuk tiga orang pasien, saat ini kosong. Hanya ibu dan kami yang ada didalamnya. Aku duduk di kursi untuk pasien lain, memperhatikan interaksi dua perempuan di depanku. Airmata bu Ratmi perlahan turun membasahi pipi keriputnya. Sedemikian dekatkah mereka berdua?
Perlahan bu Ratmi berdiri, berjalan mendekatiku. Sejenak perempuan enampuluhan itu terdiam menatapku. Aku merasa ada yang aneh dari sikap beliau.
"Bu Ratmi mau pulang?" Tanyaku menebak kegalauan sikapnya.
"Tidak, ibu akan menemani ibumu di sini," bisiknya lirih.
"Terima kasih Bu," Perempuan itu tersenyum.
"Boleh ibu bertanya Mas?" Tanyanya ragu. Aku mengangguk, perempuan tua itu sudah sangat baik membantuku menjaga ibu. Apa yang ingin dia tahu, apakah dia mulai curiga siapa sebenarnya ibu?
"Kasihan den Laksmi," desahnya lirih. Laksmi, bu Ratmi menyebut nama ibu? Jangan-jangan benar, pemilik kontrakan kami sudah tahu siapa ibu.
"Bu Ratmi," Perempuan itu melonjak kaget ketika kusentuh tangannya. Dia menatapku iba.
"Ada apa Bu? Ibu tahu sesuatu?" Perempuan itu masih menatapku lekat, mulutnya terkunci rapat.
"Bu Ratmi tahu sesuatu tentang ibu?" Tanyaku memastikan. Airmata yang dia tahan akhirnya tumpah.
"Kita keluar Bu, nanti ibu bangun," kutuntun tetangga terbaik kami itu keluar kamar. Kami kembali duduk di kursi depan ruangan, sambil mengawasi ibu yang masih tidur.
"Apa yang bu Ratmi tahu? Sejak kapan?" Tanyaku gusar. Aku sama sekali tidak menyangka rahasia ibu sudah terbongkar.
"Pertama kali kalian datang, ibu merasa kenal dengan ibumu. Tapi masih tidak yakin, dua puluh tahun tidak bertemu den Ayu banyak berubah. Setiap ketemu ibu menyakinkan diri kalau beliau benar den ayu. Den Ayu juga terlalu menutup diri, keluar hanya seperlunya saja. Menghindari interaksi dengan warga. Tiga hari lalu, ketika den Tito datang ke rumah, ibu baru menyesali kebodohanku sendiri," ceritanya panjang. Aku hanya mendengarkan dengan hati penuh tanya, siapa ibu bagi bu Ratmi.
"Bu Ratmi kenal keluarga ibu?"
"Siapa yang tidak kenal keluarga baik itu. Semua mengenalnya, dari semua saudaranya den Ayu paling baik tetapi paling pendiam juga," Lanjut bu Ratmi dengan mata menerawang jauh, seperti ada yang dipikirkan.
"Neneknya anak-anak kerja di rumah eyangmu. Keluarga heboh ketika den Ayu pergi, kata ndoro den Ayu sekolah lagi ke luar negeri. Tetapi tidak pernah kembali, bahkan ketika ibunya meninggal dunia. Orang-orang hanya berani ngomong di belakang, tanpa berani bertanya lagi," Ibu tidak pernah bercerita tentang detail keluarganya. Rasa ingin tahuku terjawab dari penjelasan bu Ratmi yang ternyata cukup dekat dengan ibu. Apakah selama empat bulan ini ibu berpura-pura tidak mengenal bu Ratmi?
****
Hai hai hai
Daito datang lagi... setelah sepuluh seminggu lebih tidak update. Nulis part ini saja tiga hari gak kelar-kelar. Agak galau sih...
Semoga bisa melepas rindu ya...Salam literasi
KAMU SEDANG MEMBACA
Namaku Daito
General FictionMaafkan Ibu Nang, Ibu membuatmu menderita... Aku Daito. Aku tidak pernah menyalahkan Ibu atas hidupku. Ibu segalanya bagiku, milik yang paling berharga yang diberikan Tuhan kepadaku. Bagiku Ibu perempuan luar biasa, tidak ada seorang perempuan pun...