Fakta (1)

945 46 6
                                    

Hai Daito lover, aku seneng deh banyak yang berkomentar minta ekstra part. Memang ini fakta, satu2nya ceritaku yang dirindukan pembaca. Seneng deh.. padahal padahal lho...

Yo wis, selamat membaca saja. Semoga suka!

       Seburuk apa pun sebuah kenyataan, akan lebih baik daripada manisnya sebuah kebohongan. Meski tidak mudah menerima kenyataan pahit itu. Karena masalah itu, semua orang di keluarga kami akan merasakan sakit dengan kadar berbeda. Budhe Adisti, yang tidak tahu apa-apa pasti akan sangat terluka. Mbak Denta dan Sasti mungkin akan membenci kami, karena kehadiran kami membalikkan kehidupan mereka. Aku yakin, mbak Denta hanya tahu kami bersaudara, tetapi bukan saudara seayah. Lalu Sasti? Aku tidak bisa membayangkan reaksi gadis manjaku itu. 

       Waktu terus berjalan tanpa bisa ditahan, cepat atau lambat masalah ini harus segera diselesaikan. Ibu dan Bapak jelas tidak akan bersatu, mereka saudara, dan akan tetap menjadi saudara. Sebenarnya statusku juga gak penting lagi, untuk apa?  Haruskah menghancurkan keluarga besar hanya untuk sebuah pengakuan? Entahlah..

        Aku lebih banyak diam, memberi waktu kepada Bapak  untuk melakukan tugasnya. Ibu juga melakukan hal yang sama, diam. Kehadiran Bapak di rumah besar, membuat Ibu tidak nyaman tetapi tidak mungkin menolak juga. Selama masih ada Eyang, anak-anak nya akan datang bergantian. Tidak terkecuali Bapak.

       Sudah tiga hari sejak obrolan mereka, gak pas juga disebut obrolan ya.. sejak kejadian menyesakkan itu. Aku masih melakukan peran nya sebagai "seseorang" bagi Sasti. Setiap pulang kerja, aku selalu mampir menemaninya. Perhatianku padanya tidak berubah, hanya sedikit membatasi diri untuk menyentuh gadis itu. Perubahan sikapku sempat membuat Sasti curiga.

       "Mas Ito marah ya?" Sasti bertanya lirih. Tangan kurusnya mencoba meraih lengan laki-laki yang duduk di depannya.

       "Marah kenapa? Mas gak apa-apa. Kalau marah, Mas gak akan ke sini." Sahutnya lugas. Sasti cemberut, bibir pucatnya memgerucut panjang

       "Gak usah cemberut, jelek tahu!" Balasku sambil tertawa. Gadis pucat itu makin cemberut. Tubuh kurusnya tergolek lemah. Masih dengan tawa membahana, aku beranjak dari tempat mau mengambil air minum.

       "Mas, jangan pergi!" Sasti merengek lemah.

       "Mas minum dulu," Aku tetap melangkah ke sudut ruangan, mengambil air mineral di atas nakas. Meneguk habis isi botol 350 ml itu.

       "Mas," panggil Sasti lemah. Aku bergeming dari posisiku berdiri membelakanginya. Dadaku sesak, tidak tega melihatnya kesakitan.

        Operasi cangkok sumsum untuk Sasti sedang dipersiapkan tim dokter. Semua sudah sepakat menerima rencanaku. Aku hanya ingin, Sasti kembali ceria seperti pertama aku mengenalnya.

       "Mas, lama banget sih! Sini, peluk aku!" Pintanya manja. Kuhela napas panjang, sebelum berbalik menatapnya. Sasti menatapnya penuh harap, jantungku berdetak cepat. Aku menggeleng lemah

       Aku harus belajar tega, tidak mungkin membiarkan Sasti makin bergantung padaku. Mungkin aku harus mengurangi jadwal kunjunganku agar Sasti tidak berharap padanya.

     Mas sayang kamu Sas, Mas rela melakukan apa saja untukmu, tapi jangan hal yang satu itu. Kamu adikku, kenyataan itu tidak bisa kita hindari. Aku tidak mau menyakitimu.

      "Ito," panggilan lembut seorang perempuan membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, mbak Denta, berdiri tidak jauh dari tempatku duduk. Senyum teduh tersungging di bibir merahnya.

     "Mbak," sahutku pendek. Aku berdiri, lalu mengangguk sopan. Mbak Denta lebih tua, sudah seharusnya diperlakukan dengan sopan.

       Denta mendekat, ditepuknya pundakku hangat. Aku terpaksa membalas perlakuan dengan tersenyum.

      "Kenapa di luar? Sasti dengan siapa?"

      "Ada Pakdhe dan Budhe," sahutnya tawar. Pakdhe, sampai kapan panggilan itu harus keluar dari mulutku untuk Bapak. Laki-laki yang membuatku ada, tetapi tidak pernah ada untukku. Dadaku sesak, emosiku kembali naik. Jantungku berdebar cepat.

        Kuhela napas panjang. Mengambil lebih banyak udara, untuk mengisi rongga dada. Sabar To, tahan dirimu. Berikqn Bapak waktu, kataki dalam hati.

       Aku harus bisa menahan diri. Ibu harus sabar menunggu, Eyang juga melakukan hal yang sama. Kami hanya bisa menunggu, memberi waktu dan ruang kepada Bapak untuk melakukan tugasnya. Mengatakan kebenaran yang pasti akan sulit diterima keluarga Bapak.

      "Mbak boleh ngomong gak?" Tanya mbak Denta setelah beberapa saat hanya diam menunggu. Reflek aku mengangguk.

      "Ke taman saja yuk, biar lebih enak," Lagi-lagi aku hanya mengangguk, lalu mengikuti langkah mbak Denta.

      Mbak Denta adalah anggota keluarga pertama yang kukenal. Sejak awal, dia memperlakukanku dengan sangat baik. Apalagi setelah tahu kalau Ibu adalah buliknya. Mbak Denta juga sangat perhatian pada Ibu.

       Apakah setelah dia tahu siapa Ibu dan aku bagi Bapak, dia akan tetap baik? Aku tidak yakin. Mbak Denta pasti akan membela ibunya, perempuan yang sudah dikhianati ayahnya.

       Mbak Denta terlihat lelah. Aku tahu kehidupan pribadinya tidak bahagia. Sejak anak mereka meninggal, mas Soni suami mbak Denta berlaku seenaknya. Laki-laki itu jarang pulang ke rumah, banyak suara buruk terdengar, kalau laki-laki itu sudah menikah lagi. Mbak Denta tidak peduli lagi.

       Mbak Denta mengajak ku duduk berhadapan di kursi taman. Dari wajahnya terlihat jelas, mbak Denta gelisah. Senyum manis yang dia coba lepaskan sangat hambar. Bukan mbak Denta banget. Aku masih diam menunggu. Mbak Denta menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Seolah ingin mengisi penuh dadanya.

       "Ito, bolehkah sekali lagi Mbak minta sesuatu darimu?" Tanyanya ragu-ragu. Aku mengernyit, tidak paham maksudnya.

       "Minta apa Mbak?" Aku balik bertanya. Lagi-lagi mbak Denta menghela napas berat. Sebelum melepas tanya yang membuatku terdiam.

       "Jangan paksa Romo untuk mengakuimu dihadapan semua orang. Cukup kita saja yang tahu!"

Namaku DaitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang