Mendekat

2.6K 92 5
                                    

      Hampir satu minggu ini, waktuku lebih banyak untuk menemani Sasti. Setelah melalui banyak pendekatan, akhirnya dia mau kembali ke rumah sakit untuk memeriksa kesehatannya, dengan syarat harus aku yang mengantarkan. Aji mumpung juga itu anak.. Biarlah, yang penting dia mau berobat, aku ingin dia pulih kembali menjadi Sasti yang ceria lagi. Berkat koneksi bapak di bengkel, hari ini aku bisa keluar dari bengkel saat jam kerja untuk melakukan tugas mulia itu. Mas Bagas menatapku tak berkedip ketika aku berpamitan, tetapi dia tidak dapat melakukan apa-apa karena bos sudah mengizinkan. Lagi-lagi aku harus mengabaikan perasaannya demi Sasti dan kebahagiaan ibu.

Bapak minta aku yang memegang kemudi, dia duduk di kursi penumpang disebelahku, sedang Sasti duduk di belakang dengan ibunya. Sepanjang perjalanan, bapak banyak bertanya tentang aku dan keluargaku. Sepertinya dia ingin tahu siapa aku? Dari awal aku sudah mengantisipasi kemungkinan ini, jadi sudah mempersiapkan kemungkinan jawabannya. Apalagi ketika bapak tentang bapakku.

     "Orang tuamu kerja apa?"

     "Ibu menjahit di rumah," jawabku hati-hati. Jantungku berdenyut lebih cepat.

       "Kalau bapak?" Deg, jantungku berhenti berdenyut. Ternyata persiapanku belum maksimal, aku tak mampu berkata-kata. Dari sudut mata, kutangkap bapak menatapku lama.

      "Maaf To, kamu tidak perlu menjawabnya," katanya tidak enak hati. Mungkin karena aku diam terlalu lama, dia jadi berpikir aku punya masalah tentang bapakku. Nyatanya memang begitu? Laki-laki ini bahkan tidak tahu dialah bapakku.

        "Tidak apa-apa Pak, saya..." jawabku menggantung kalimat. Laki-laki berkacamata itu masih menatapku, seperti sedang menunggu.

      Kuambil napas panjang, mengisi rongga dada yang terasa sesak. Untunglah cerita itu tidak berlanjut karena kami sudah masuk halaman rumah sakit. Sampai di lobi, bapak sibuk menuntun anak bungsunya, lalu menuntunnya bersama istrinya. Keluarga yang bahagia, aku iri melihat pemandangan indah itu. Tidak membiarkan pikiran buruk meracuni hati, aku segera berlalu mencari tempat parkir. Lalu mengejar mereka yang sudah lebih dulu masuk.

     Sasti harus melewati banyak pemeriksaan, kedua orangnya dengan setia mendampinginya. Aku pun harus ikut kemana pun mereka pergi, Sasti tidak mau lepas dariku. Hal ini nampaknya yang membuat bapak ingin tahu lebih banyak tentang aku.

      Setelah semua selesai, kami kembali ke rumah mereka. Mungkin karena efek obat yang diminumnya, gadis itu cepat tertidur. Kesempatan itu aku gunakan untuk segera pamit pulang, kasihan ibu pasti sudah menunggu. Niatku tertahan karena bapak masih ingin mengobrol denganku.

      Bapak membawaku ke teras samping, suara gemericik air dari pancuran menyejukkan hati. Dua cangkir kopi dan sepiring pisang goreng sudah terhidang di meja. Bapak menyulut rokoknya, lalu bersandar. Netranya menerawang jauh,  tatapan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Sepertinya bapak sedang berpikir keras, diembuskan asap rokoknya ke udara  yang membuat dadaku sedikit sesak. Sebenarnya aku tidak suka berbicara dengan perokok, tetapi apa hakku melarang pemilik rumah melakukan hobinya di rumahnya sendiri. Hobi inilah salah satu penyebab sakit Sasti.
       "To, kamu menyukai Sasti?" Tanyanya membuyarkan lamunanku. Kali ini bapak menatapku tajam. Aku masih diam, tidak siap menjawab pertanyaan yang seharusnya sudah terdeteksi. Aku ragu, jawaban seperti apa yang diharapkan laki-laki di depanku itu? Apakah dia mau aku menyukai anaknya atau sebaliknya? Siapa aku di mata keluarga hebat ini? Aku sama sekali tidak sebanding dengan bangsawan kaya ini? Mereka terlalu tinggi untuk dijangkau dan aku memang tidak ingin menjangkaunya melalui Sasti, aku hanya menginginkan pengakuan bapak.

      "Kenapa, apakah kamu terpaksa melakukan ini semua karena kasihan padanya?" Kuberanikan diri memandang laki-laki yang sangat kurindukan itu. Dari pertama melihatnya, aku tersadar kami sangat mirip. Benar kata pak Beno, wajah kami sama. Tidak sadarkah bapak akan hal itu?

       "Saya bukan siapa-siapa dibandingkan dengan putri Bapak. Saya hanya..."

       "Kamu bicara apa? Menurutmu kami orang seperti apa? Kami tidak melihat orang dari pekerjaan atau kekayannya. Semua itu semu To," katanya terlihat sedikit gelisah.

     Aku ingat cerita teman-teman tentang mas Soni, suami mbak Denta yang katanya bermasalah. Aku belum pernah bertemu iparku itu, beberapa kali ke rumah ini   dia tidak pernah ada di rumah bahkan ketika aku sampai malam sekali pun.  Mungkinkah itu yang disesali bapak? Menantu yang digadang-gadang ternyata bermasalah.

       "Kalau kamu menyukai Sasti, Bapak akan merestui kalian. Sasti sangat mencintaimu," Dadaku semakin sesak mendengar pernyataan bapak. Kalau Sasti bukan adikku, itu berita yang membahagiakan. Tetapi dia adikku, aku mencintaimya bukan sebagai laki-laki.

      "Saya tidak berani Pak. Saya hanya anak haram," tidak sengaja pengakuan itu keluar dari mulutku. Laki-laki itu kaget, diraihnya batang rokok yang tergeletak di asbak dan dihisap kuat. Aku sendiri kaget dengan apa yang kukatakan.

       "Saya tidak pernah tahu siapa bapak saya. Namanya tidak ada dalam daftar surat penting saya. Kata ibu, bapak sudah meninggal. Tetapi saya tidak percaya, ibu menutupi sesuatu dari saya," Aku terus bercerita sambil terus memperhatikan perubahan  wajahnya. Bapak gelisah, adakah dia tahu keberadaanku atau dia menyesal mengatakan akan menyetujui hubungan kami jika aku menyukai Sasti? Aku masih ingin menguji hati dan pikiran bapak.

       "Saya menyayangi Sasti, tetapi saya sadar itu tidak mungkin. Saya tidak pantas," laki-laki itu masih terdiam. Tidak merespon cerita konyolku, sepertinya beliau terpancing dan mulai bimbang.

       Bapak kembali menghisap rokoknya, mengembuskan kepulan asap yang menyesakkan lalu mematikannya dalam asbak. Menatapku sebentar tak berkedip. Tiba-tiba tubuh kekarnya mendekatiku, reflek aku mundur. Aroma rokoknya membuatku berlaku tidak sopan.

       "To, menikahlah dengan Sasti," katanya tenang. Aku tersentak, ada apa ini? Aku harus menjadi tumbal untuk putrinya?

       "Setelah semua yang kamu lakukan satu minggu ini untuknya, dan Sasti terlihat bahagia bersamamu. Bapak ingin menyerahkan kebahagiaannya padamu. Bahagiakan dia, Nak," Aku terhenyak kaget, laki-laki di depanku terlihat pasrah.  Bapak melempar bola api yang sangat besar kearahku. Apa yang harus aku katakan sekarang?
                     ***

Hai Daito dan Sasti lover... maaf mas pengagum Sasti, hari ini doi gak nongol ya lagi sakit... gak papa ya, kapan-kapan si manja aku keluarin lagi.
Segini dulu ya..maaf gak sampai seribu kata, sudah tidak sanggup.. ngantuk..koreksian numpuk...
Bye..bye..

Salam literasi

Namaku DaitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang