"Ampuni Laksmi Romo?" Mohon ibu dalam isaknya.
"Hush, wis Romo juga salah. Seharusnya romo mendengarkan penjelasanmu dulu. Tidak asal marah," balas eyang tulus.
Di depan ibu, eyang benar-benar menjadi ayah yang baik. Seperti kemarin ketika bertemu denganku, eyang teramat melindungi keluarganya. Butiran airmata yang membasahi pipi ibu disekanya dengan lembut. Sikap yang sama diperlihatka bapak kepada Sasti putri kesayangannya.
Sungguh sikap eyang berlawanan dengan apa yang kubayangkan. Dari cerita yang kudengar dari ibu, aku sempat berpikir pertemuan mereka akan diwarnai emosi yang meledak-ledak. Seperti saat eyang memarahi tempo hari. Apakah eyang masih akan setenang ini jika tahu siapa bapakku?
Bapak masih terpaku di tempatnya, pandangannya tidak lepas dari tubuh ringkih ibuku. Sesekali laki-laki itu menyeka matanya.
"Di mana suamimu?" Tanya eyang setelah beberapa saat mereka hanya berbicara lewat mata.
Ibu kembali terisak, sekilas matanya melirik bapak yang tengah menatapnya. Senyum terpaksa menghiasi wajah lembut bapak.
"Laki-laki itu tidak menikahimu?" Kali ini emosi eyang terpancing naik.
"Romo, bagaimana kalau bicaranya kita lanjutkan besok saja. Kasihan diajeng pasti lelah," saran bapak menyadarkan ayahnya. Laki-laki delapan puluh tahunan itu mengangguk paham.
"Pindahkan adikmu ke kamar yang lebih layak!" Perintahnya tegas.
"Tidak perlu eyang, besok ibu sudah bisa pulang," sahutku memghalangi niatnya memindahkan ibu. Eyang mendengkus.
"Tidak masalah, malam ini eyang mau bersama putriku," katanya tidak terbantahkan.
Aku sudah mau membantahnya lagi, tetapi tatapan mata ibu melarangku. Bapak mengangguk, lalu berbalik meninggalkan kami.
"To, kamu bereskan barang-barang ibumu. Kalau pakdhemu datang kita langsung pindah," Lagi-lagi perintah yang tidak terbantahkan.
Aku menurut, membereskan barang milik kami yang tidak seberapa, karena sebagian sudah dibawa pulang bu Ratmi siang tadi. Eyang masih terus berbicara, ibu sesekali menjawab terkadang diam saja.
Buat orang kaya, semua menjadi lebih mudah. Uang bisa membeli segalanya. Tidak berapa lama, bapak sudah kembali diikuti beberapa suster yang akan memindahkan ibu.
Pak Samsul ikut melonggok melihat suster Ana memindahkan ibu.
"Mau ke mana Mas?" Tanyanya ketika kami mau keluar.
"Eh, pindah kamar Pak. Kami pamit," kuulurkan tangan menyalami laki-laki paruh baya itu yang terus menatapku penuh tanya. Mungkin sepanjang obrolan kami tadi pak Samsul tidak sengaja mendengarnya. Bisa saja beliau mempunyai pandangan negatif terhadap kami. Apa peduliku?
Kamar yang disiapkan untuk ibu, sama persis dengan yang ditempati Sasti. Kamar yang bersebelahan dengan kamar gadis kecilku itu, sangat luas dan mewah. Entah berapa rupiah harus mereka bayarkan untuk satu malam.
Eyang tidak sedetik pun meninggalkan ibu, begitu suster selesai merapikan segala sesuatunya, eyang langsung menguasai ibu. Wajah ibu rampak berseri, tidak ada ketakutan. Ibu menemukan kebahagiaannya.
Ibu duduk bersandar, sedang eyang duduk di sampingnya. Eyang menggenggam erat tangan putrinya. Tatapan mata mereka saling berpautan, seperti dua orang yang sedang jatuh cinta. Sedekat itukah hubungan mereka dulu?
"Tito, kabari orang rumah malam ini Romo tidak pulang. Perintahkan mereka menyiapkan kamar Laksmi dan Ito. Besok mereka langsung ke rumah!"
"Tapi Eyang..." Laki-laki itu melambaikan tangannya memintaku diam, protesku mengantung di udara. Lagi-lagi bapak hanya bisa menghela napas panjang.
Bu Ratmi sudah membereskan rumah, perempuan baik hati itu akan kecewa jika ibu tidak pulang ke rumah. Ibu tidak mengucapkan sepatah kata pun, sepertinya beliau menikmati kerinduan bapaknya.
"Maaf Romo, sebaiknya Romo pulanf istirahat. Nanti Romo sakit, saya yang akan menjaga Diajeng Laksmi," usul bapak mencari peluang.
Aku bisa menangkap cemburu bapak melihat sikap romonya yang overprotektif pada ibu. Eyang mendengkus.
"Sejak adikmu pergi, dua puluh dua tahun lalu Romo sudah sakit. Hanya karena masih ingin bertemu putri kecilku ini Romo masih bertahan hidup," jawab eyang yang membuat kami terkesima.
***
Selamat pagi, tambahan part kemarin ya..
Makasih
KAMU SEDANG MEMBACA
Namaku Daito
Ficción GeneralMaafkan Ibu Nang, Ibu membuatmu menderita... Aku Daito. Aku tidak pernah menyalahkan Ibu atas hidupku. Ibu segalanya bagiku, milik yang paling berharga yang diberikan Tuhan kepadaku. Bagiku Ibu perempuan luar biasa, tidak ada seorang perempuan pun...