Dilema

2.7K 89 10
                                    

"Duduk yuk, biar bisa ngobrol enak," ajakku setelah beberapa saat kami masih berdiri. Sasti menatapku lagi, aku tersenyum mencoba menyakinkannya bahwa kami baik-baik saja. Tanpa kuduga, gadis berambut panjang itu memelukku erat. Apa yang harus kulakukan? Kepalanya menempel didadaku, aroma wangi rambutnya kembali mengacaukan pikiranku. Aku benar-benar kehilangan arah, bukan begini yang kuinginkan. Rencanaku berantakan, Sasti membuatku kehilangan akal. Tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi, kubalas pelukannya lalu kucium puncak kepalanya lembut. Lama kami hanya terdiam dengan pose tidak sewajarnya. Pelukannya terasa semakin erat, kupejamkan mata mengurai debar jantungku yang semakin tidak beraturan. Kurasakan punggung Sasti naik turun dengan cepat, gadis dalam pelukanku menangis terisak. Pundak itu kuusap dengan lembut, isakannya membuat hatiku hancur.
"Jangan menangis, sekarang aku disini," bisikku lembut ditelinganya. Dia mendongak, airmata membasahi pipi tirusnya. Rasanya baru beberapa hari tidak bertemu, tubuhnya terlihat lebih kurus. Perlahan kusapu airmatanya dengan lembut, menangkup wajahnya dalam genggaman tanganku. Tubuhnya terasa lebih hangat daripada tubuh orang normal, sepertinya dia benar-benar sedang sakit. Tatapan mata penuh kerinduan itu, membuatku ingin berbuat lebih dan lebih. Wajahnya pucat, bibirnya sedikit memerah tertutup lipstik sangat tipis, mengundang hasratku untuk menciumnya. Jantungku, oh Tuhan, aku bisa gila jika terus begini.
"Kita duduk ya?" Ajakku lagi dengan suara bergetar. Kali ini Sasti menurut, kutuntun gadis itu duduk di kursi teras. Sasti menggenggam tanganku erat, kepalanya bersandar pada pundakku. Kami terhanyut pada situasi yang berbeda, aku melepas rindu sebagai kakak kepada adiknya sementara dia mungkin berpikir lain. Kubiarkan dia melepas rindunya dengan caranya, meski keadaan mungkin akan semakin buruk.
"Mas kesini karena ibu yang nyuruh ya?" Lirih suaranya terdengar ditelingaku.
"Enggak, pingin sendiri saja," sahutku pelan.
"Mas kangen gak?" Tentu dik, mas sangat kangen. Kamu sudah menguasai hari-hariku, bahkan hampir membuyarkan mimpiku, rintihku dalam hati
"Mas," Sasti menarik kepalanya, mata beningnya menatapku penuh harap.
"Masih perlu dijawab ya," sahutku tersenyum. Sasti ikut tersenyum, kepalanya kembali bersandar. Kutangkupkan tanganku yang bebas di atas pegangan erat tangan kami. Aku jadi bingung mau bicara apa, semua rancanganku hilang. Kemanjaan Sasti merusak semuanya.
"Jangan pergi lagi ya Mas, jangan menghindar. Sasti sayang Mas Ito," gumamnya lirih, namun masih bisa tertangkap jelas telingaku. Aku mengangguk. Aku sudah berjanji dengan mbak Denta untuk menjaga adikku ini. Sasti bangun dan mencium pipiku cepat. Aku melotot kaget, dia malah tertawa lepas. Lalu memeluk tubuhku yang tidak waspada, menengelamkan kepalanya diceruk leherku. Meski tidak menyenangkan buat jantungku, aku senang melihat ekspresi bahagianya. Kutepuk punggungnya lembut. Berbahagialah adikku, supaya penyakitmu tidak bisa menguasai hidup dan tubuhmu.
Bebarapa saat kemudian, Sasti menarik kepalanya lalu bersandar lagi. Kupeluk tubuhnya yang kurus sambil mengelus pundaknya. Tubuhnya terasa semakin hangat.
"Dik, kamu masuk gih, badanmu panas. Beristirahatlah," bisikku lembut yang dijawab gelengan. Aku tahu akan sulit memintanya istirahat, Sasti tidak mungkin melepas kebersamaan kami begitu saja. Sejak aku datang, tubuhku tidak juga dilepasnya, dia terus menempel.
"Jangan bandel kamu sedang sakit, angin malam tidak bagus untukmu," kataku mencoba menyakinkannya. Sasti bergeming, tangannya malah memeluk pinggangku erat.
"Mas mau menemani Sasti tidur?"
"Kamu ngomong apa sih," kutowel hidungnya yang mancung.
"Aku mau masuk, kalau mas Ito ikut masuk. Mas tidak boleh pulang," sahutnya ngeyel.
"Mana boleh begitu, romo sama ibumu bisa marah. Kamu mau mas dimarahi?" Tanyaku dengan wajah memelas.
"Gak bakal, Romo sama ibu kan gak ada di rumah,"
"Makin gak boleh itu, gak sopan laki-laki dan perempuan berduaan dalam kamar," jawabku sedikit malu. Apa yang gadis ini pikiran. Di luar saja aku sudah blingsatan menghadapi sikap agresifnya, apalagi di kamar. Bisa mati kutu aku...
"Kalau gitu kita ngobrol di ruang tamu saja boleh?" Sasti mengangguk setuju. Dia berdiri dengan semangat, sayangnya tubuhnya yang lemah malah terjatuh. Reflek kutangkap tubub itu masuk dalam dekapanku.
"Pelan-pelan saja Dik, kamu lagi sakit," kataku memperingatkan.
"Kalau ada Mas, aku gak jadi sakit," bisiknya nakal di telingaku. Dasar Sasti, badan sudah lemea begitu masih sempat mencari kesempatan.
"Kamu ya, jangan bersikap begini dengan laki-laki lain ya?" Pesanku wanti-wanti. Aku kuatir dengan caranya bersikap. Jangan sampai dia mengalami hal yang tidak diinginkan didepan laki-laki lain. Sasti cantik, menarik dan cukup seksi, siapa yang akan menolak gadis seperti dia. Aku saja tergoda.
"Cemburu ya, gak akan Mas. Sasti begini hanya sama mas Ito," desahnya menggoda. Kuabaikan desahkan, kutopang tubuh kurusnya, dan membawanya ke dalam ruang tamu. Ruang tamu yang luar biasa mewah, ada beberapa pasang meja tamu. Kubawa dia ke sofa empuk agak ke ujung agar dia bisa istirahat. Setelah kurapikan bantal, kuminta dia bersandar dengan posisi tubuh setengah berbaring. Napasnya terlihat turun naik dengan cepat, terlihat sangat capek.
       "Tidur saja, Mas tunggu di sini," aku duduk dipinggir sofa, Sasti menggenggam tanganku erat.
       "Mas jangan pergi ya?" Aku tersenyum.
      "Jangan seperti anak kecil, mas tetap harus pulang. Kasihan ibu sendirian di rumah," kataku memberi pengertian. Tidak mungkin bagiku ada di rumah ini, sementara mereka hanya tahu aku dekat dengan Sasti. Bisa-bisa bapak marah dan mengusirku. Sasti harus belajar memahami situasi tidak mengenakan ini.
       "Mas akan menunggu sampai kamu tidur. Istirahatlah, besok kita bicara lagi,"
       "Beneran Mas besok ke sini lagi?" Aku mengangguk. Sasti tersenyum, perlahan matanya mulai terpejam. Tidak lama, napas halusnya sudah terdengar. Ternyata tubuhnya sudah ingin istirahat dari tadi. Buktinya, baru beberapa menit tidurnya sudah sangat nyenyak. Setelah Sasti benar-benar tidur, aku beranjak berniat mau keluar. Aku akan berpesan pada pak Dibyo agar menjaga Sasti dan menitipkan pesan pada mbak Denta atau bapak. Baru berdiri, aku dikagetkan kehadiran mbak Denta yang duduk di kursi tamu depan.
        "Mbak Denta, maaf saya tidak melihat Mbak masuk," sapaku tidak enak hati. Untung aku tidak melakukan tindakan aneh yang sempat menggoda melihat Sasti terlelap. Kalau tadi aku jadi mencium kening nya, bakal babak belur aku.
       "Kamu fokus banget mengurus Sasti. Terima kasih, kamu sudah membantu?" Katanya mendekati, ditepuk pundakku pelan. Dipandanginya wajah adikku dengan lembut, terlihat betapa mbak Denta sangat mencintai Sasti.
       "Sama-sama Mbak,"
       "Pasti kamu tadi kerepotan ya maksa dia tidur. Tidurnya tenang banget, padahal sudah beberapa hari ini dia tidak bisa tidur," Aku merasa bersalah. Sasti begitu karena aku. Kupandangi sekali lagi gadis manja yang sedang tidur pulas didepanku sebelum pamit pulang.
       "Kalau begitu Ito pulang dulu ya Mbak, maaf Sasti terpaksa tidur di sini," 
       "Gak papa, nanti biar Bapak yang mengangkatnya. Kamu hati-hati di jalan sudah malam," Mbak Denta menyalamiku, mengiringku kekuar, menstater motor. Aku mengangguk sopan, lalu berlalu melewati  pak Dibyo yang berdiri di samping pagar.
               ****

Maafkan updatenya malam banget.. tadi ada kerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.
Semoga suka ya... maaf, Daito sempat terbawa rasa tapi masih sopan kan, gak aneh2...

Thanks sudah sabar menunggu..

Salam

Namaku DaitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang