Hancur (2)

2.7K 110 14
                                    

       Bapak diam terpekur mendengar akhir cerita ibu. Bapak sempat menyela cerita itu, cerita tentang Bara anak muda yang sempat mengejarnya dan berbicara dengannya.

        "Jadi Bara biang keladi semua ini!" Desisnya marah. Matanya merah memancarkan amarah yang tidak terkendali.

       "Aku yang salah. Seharusnya aku menolak, tidak malah terlena," bisiknya parau. Bapak menoleh, pandangannya kembali kepada ibu yang sedang menangis.

         "Maafkan Kangmas. Bukan maksudku mengabaikan perasaan Diajeng," sahut Bapak mencoba menghibur ibu.

        "Nyatanya memang aku yang tidak tahu malu. Mengaku perempuan terhormat tetapi mencintai kakakku sendiri. Kalau saja..."

        "Cukup Bu, semua sudah terjadi. Penyesalan tidak akan pernah dapat mengembalikan waktu dan kenyataan. Ito tetap bangga menjadi anak ibu," potongku cepat.

         Bapak dan Ibu saling berpandangan sesaat, lalu ibu kembali menunduk. Aku tahu ibu terluka, dan merasa bersalah. Tetapi aku tidak mau ibu terus menyesali kejadian itu. Itu sama artinya menyesali keberadaanku.

         Perjuangan ibu untuk mempertahankan dan membesarkanku sendirian, tanpa satu pun keluarga yang mendukungnya. Menerima hinaan dari banyak orang karena mempunyai anak tanpa suami, tidak sedikit pun mengurangi cinta dan sayangnya padaku. Itu sudah lebih dari cukup.

       Seharusnya ibu dapat memggugurkan aku dan melanjutkan hidupnya sendiri. Menyelesaikan skripsinya, bekerja lalu menikah dengan laki-laki yang dicintainya dan dia bukan bapak. Tanggungjawab yang diambil perempuan tercantik dalam hidupku itu sudah lebih dari cukup.

         Sekarang saatnya bapak yang harus mengambil alih tanggungjawab itu. Tanpa andil bapak, ibu tidak akan pernah mencintainya. Perhatian dan sikap overprotektif bapaklah yang membuat ibu merasa dicintai, dalam bentuk yang berbeda.

         "Sekarang Bapak sudah tahu, siapa Ito. Apa yang akan Bapak lakukan?' Bapak mendongak, menatapku tidak berkedip.

         "Ito, kenapa bertanya begitu. Bapakmu tidak bersalah?" Protes ibu mencoba melindungi kakaknya. Bapak juga salah, kenapa ibu terus menyalahkan diri sendiri? Sementara laki-laki di depanku itu masih diam, entah apa yang dipikirkannya.

         Kalau 22 tahun lalu ibu jujur pada eyang, bisa dipastikan bapak akan menerima amarah yang sama dengan ibu. Bisa jadi, eyang akan membunuh anak laki-laki yang menodai putri kesayangannya.

         Ibu lahir dari perempuan yang sangat dicintai eyang. Perempuan cerdas dari kalangan rakyat jelata yang terpaksa menjadi istri ketiga karena terhalang restu kakek buyutku. Bapak memang anak istri pertama, istri hasil perjodohan yang tidak dicintainya. Begitu juga istri kedua, hanya untuk dijadikan penjaga keningratan dan kekayaan eyang buyut. Aku mendengar semua cerita itu dari bu Ratmi, yang kebetulan mendapat warisan cerita dari ibunya yang dulu mengabdi pada eyang buyut dari kecil.

         "Mau mu apa?" Bapak balik bertanya setelah beberapa menit terdiam.

        Aku terkejut mendengarnya. Tidak menyangka, laki-laki yang kata orang bijaksana itu melempar pertanyaan bodoh itu. Keinginan apa yang dimiliki seorang anak seperti aku selain diakui secara sah?Salahkah aku menginginkan itu?

        Sinar kecewa terlihat jelas di wajah lelah ibu. Dari awal kami sudah menyadari, seperti apa respon bapak dan keluarga besar jika mengetahui fakta tentang aku. Tetapi tanya itu, sungguh diluar nalarku.

         "Sudah malam, Kangmas pulang saja. Lupakan pembicaraan kita. Anggap saja, Kangmas tidak pernah mendengarnya!" Kata ibu bergetar.

         "Ibu..."

         "Apa maksud Diajeng?" Suara kami bertabrakan di udara kamar tamu pavilyun yang aku tempati. Ibu berdiri meninggalkan kami yang masih terpaku dengan pernyataan pasrah ibu.

         "Diajeng tunggu!" Bapak berlari mengejar. Aku langsung berdiri menahannya. Ibu masuk ke kamarku dan menutup pintu rapat.

         "Ibu benar, Bapak pulang saja! Ibu perlu istirahat!" Kataku tegas.

        "Tapi To..."

        "Jangan menambah sakit hati ibu dengan pertanyaan-pertanyaan tidak bermutu itu. Kami cukup tahu, apa yang Bapak pikirkan. Sekarang pergilah!" Kurentangkan tangan kananku mempersilakan laki-laki itu keluar. Bapak masih diam sejenak, menatap pintu kamar yang tertutup rapat.

        "Baiklah Bapak pergi. Biarkan ibumu menenangkan diri dulu. Besok kita bicara lagi," katanya pelan. Aku mengangguk malas.

        Bapak melangkah meninggalkan tempat kami  dengan gontai. Aku melepasnya sampai di depan pintu, Bapak menoleh sekali lagi. Mungkin berharap ibu muncul kembali.

         "Jaga Ibumu baik-baik. Kalau ada apa-apa kabari Bapak," pesannya menepuk pundakku. Aku hanya mengangguk. Tanpa disuruh pun, aku akan selalu menjaga ibu dengan baik.

         Bapak menghela napas panjang, lalu memantapkan diri meninggalkanku menuju rumah induk. Aku kembali masuk, kuketuk pintu kamar ibu.

         "Ibu, buka pintu, ini Ito!" Tidak ada jawaban, tidak pula terdengar pergerakan. Kuketuk lebih keras sekali lagi, tetap tidak ada jawaban.

           "Ibu, tolong buka pintu! Bapak sudah pergi," kataku lagi. Tetap tidak ada jawaban.

          Kuhela napas panjang, kupandangi pintu kayu penutup kamarku sedih. Ibu pasti sedang menangis,  penyesalan menghampiriku. Aku hanya membuat ibu bersedih, tanpa kusadari aku menabur garam pada lukanya.

         Mungkin akan lebih baik kalau aku tidak pernah mengurai masalah ini. Menikmati saja kehidupan tenang kami berdua jauh dari keluarga ibu. Maafkan Ito Bu!

        Beberapa menit kemudian, pintu kamar terbuka. Ibu keluar dengan mata sembab.

        "Maafkan Ito, seharusnya kita tidak perlu pulang ke Solo," bisikku lirih. Ibu menggeleng lemah, senyum samar muncul di sudut bibirnya.

          "Gak Nang, Ibu harus pulang. Bertemu eyang, membawamu padanya. Kamu cucunya, anakku," Tubuhku dipeluk erat.

          "Kamu harta termahal yang ibu miliki selain eyang. Tidak masalah, Bapak menolakmu. Dalam hal ini, memang Ibu yang salah. Jangan paksa dia menerimamu, Ibu harap kamu mengerti," pinta ibu tegas.

         Aku tersenyum dalam hati, bangga memiliki perempuan hebat seperti dia. Hanya dalam hitungan menit, ibu kembali seperti dulu, tangguh dan keras kepala. Pengalaman hidup membuatnya kuat.

         "Ibu kembali ke rumah induk ya?"

         "Bagaimana kalau masih ada bapak?" Tanyaku kuatir. Ibu tersenyum.

         "Memang kenapa? Bapakmu tidak akan berani, ada eyang yang akan melindungi ibu," jawab ibu mantap.

        Sayangnya aku masih tidak percaya, beberapa kali bertemu laki-laki yang dicintainya itu, ibu selalu sakit bahkan sampai dirawat. Akankah ibu mampu melewati masalah ini?

        "Yakin Ibu bisa?" Tanyaku memastikan.

        "Yakin. Kalau kelamaan di sini eyang malah akan curiga,"

        "Curiga apa? Apa yang eyang tidak boleh tahu?" Suara berat eyang mengagetkan kami. Laki-laki tua itu berdiri tegak di tengah pintu.
                   
                     ****
Yeay bisa update lagi! Yang keki sama si Bapak boleh tuh dilanjutin hahaha...
Prahara apalagi yang bakal terjadi kalau eyang tahu ya...
Boleh tebak dan kasih masukan buat endingnya.

Salam literasi

Namaku DaitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang