Emosi

2.7K 108 2
                                    

       Selamat malam reader, senang banget malam ini bisa update lagi. Secara peneror cerita ini banyak. Tadi di gereja ada teman bilang, "jangan lupa update Daito ya? Aku ngikuti lho"
Waduh, gak nyangka ternyata fans Daito lumayan.
Makasih buat pembaca setia Daito, makasih untuk vote dan komennya. Tambah semangat euy...
Happy reading kawan-kawan. Jangan lupa vote dan komen ya...

Matur nuwun
                      ****
      "Cepat katakan saja, maumu apa?" Sentak eyang mengagetkan kami berdua. Aku  semakin muak dengan arogansinya.

      "Apa maksud Eyang?" Tanya Mbak Denta dengan nada tinggi. Aku bisa melihat sinar marah di wajah cantiknya.

       "Kamu berani membentak Eyang, Nduk? Sudah hebat kamu ya?" Bentaknya marah. Muka eyang memerah, sorot matanya tajam menghujam ke arah cucu perempuannya.

       "Maaf Eyang, tetapi Ito bukan seperti yang Eyang duga. Ito adalah..."

       "Permisi, saya harus kembali," pamitku langsung berdiri meninggalkan kedua kakek dan cucu yang sedang berdebat.

        "Ito, tunggu," Mbak Denta mengejarku.

       "Mau kemana kamu? Anak tidak tahu diri! Tidak punya sopan santun!" Teriakan marah masih kudengar keluar dari mulut laki-laki terhormat itu. Aku memang tidak tahu diri, toh keluargaku juga tidak peduli.

      Laki-laki tua itu tampak terluka, harga dirinya tercabik, karena ulahnya sendiri. Meremehkan orang lain yang baru dia temui, yang dia tidak kenali.

       "Ito, maafkan Eyang. Eyang.." Kakak perempuanku itu terengah mengejarku.

      "Gak apa-apa Mbak, aku ngerti. Derajat kita memang berbeda," jawabku menyindir. Mbak Denta menggelengkan kepalanya berulang kali.

       "Siapa yang bicara derajat? Eyang tidak seperti yang kamu lihat. Beliau sedang bersedih karena Sasti. Mbak harap kamu bisa mengerti," mohonnya lirih. Aku diam tidak menanggapi keluhannya.

       "Ito, tolong temui Sasti. Hanya kamu yang bisa membantunya," Tanganku digenggamnya dengan erat. Wajahnya tampak sangat lelah.

        Sasti, buat Mbak Denta dan semua orang di keluarga terhormat itu, yang terpenting adalah keselamatan gadis manja itu. Mereka tidak tahu, kalau ibu juga sedang terbaring sakit. Mereka tidak peduli perasaanku yang terluka karena ucapan kakeknya.

    Gak perlu baper juga kali To, laki-laki tua itu hanya ingin melindungi cucunya. Lagian dia kakekmu juga, mengertilah," bisik hatiku mengingatkan.

       Aku tersenyum getir. Kenyataannya mereka keluargaku, darah laki-laki yang kutinggalkan tadi mengalir dalam tubuhnya.

      "Sasti dirawat di sini?" Dia mengangguk.

       "Bagaimana keadaannya?" Tak urung aku juga mengkuatirkannya, gadis cantik yang selalu membuat hatiku kacau jika kami berdua. Aku merindukannya, sikap manjanya, celoteh riangnya, semuanya.

        "Denta ayo, adikmu menunggu kita," Tanpa  kusadari, eyang sudah  ada di dekat kami. Melangkah cepat meninggalkan kami yang masih mengobrol.

        "Please To, tolong Sasti?" Mbak Denta masih memohon pengertianku. Aku bergeming, harga diriku terkoyak. Laki-laki itu bahkan sedikit pun tidak melihatku lagi.

      Apa yang  kamu harapkan dari laki-laki tua itu To? Dia bahkan tidak tahu siapa dirimu?

      Perempuan cantik yang tampak lelah masih berdiri bimbang di depanku, antara menyakinkanku atau mengejar eyangnya.

Namaku DaitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang