Gejolak

3.2K 118 12
                                    

       Ibu sedang duduk santai di gasebo ketika aku pulang. Kebetulan, aku berniat membicarakan keinginanku menjadi donor sumsum untuk Sasti. Lebih cepat ditangani akan lebih baik untuk kesehatannya dan kebaikan keluarga.

       "Sudah pulang kamu Nang," sapa ibu melihatku datang. Kucium punggung tangan ibu, lalu duduk disebelahnya.

       "Ibu sehat kan?" Perempuan paruh baya yang selalu mendampingiku itu tersenyum lembut.

       "Ada apa, kamu ada masalah?" Tanya ibu menempuk tanganku yang terkulai di pangkuan.

        "Ito senang, Ibu bahagia sudah berkumpul keluarga di sini," sahutku setelah beberapa saat hanya diam.

       "Denganmu Ibu juga bahagia Nang. Kamulah semangat hidup Ibu, kalau tidak ada kamu entah bagaimana jadinya hidup ibumu ini," bisik ibu lirih. Kusandarkan kepalaku di pundaknya, ibu mengusap kepalaku lembut.

       Waktu kecil, aku paling suka tiduran di pangkuan ibu. Lalu ibu akan mengelus rambutku sampai aku tertidur pulas. Ibu tidak akan bangun sampai aku terbangun sendiri. Terkadang dalam duduknya, ibu ikut tertidur. Ketika  terbangun, aku akan pura-pura tidur lagi agar ibu tidak ikut terbangun.

      "Mikir apa Nang?" Aku bangun dari posisiku.

       Ada kebimbangan saat menatap netra ibu yang memancarkan kebahagiaanku. Tegakah aku menghancurkannya? Tetapi rahasia ini tidak bisa selamanya kami simpan, cepat atau lambat eyang dan bapak harus tahu. Mereka pasti akan mencari tahu, kalau sekarang eyang tenang itu karena menunggu kondisi ibu.

        "Sasti Bu," Kuberanikan diri memulai pembahasan tentang adikku itu. Dahi ibu mengeryit sangat dalam.

       "Ada apa dengan Sasti? Kamu tidak berniat melanjutkan perasaan kalian kan?" Tanya ibu gusar.

        "Ibu tenang. Bukan itu masalahnya. Kondisi Sasti sudah cukup parah dan harus segera ditangani," Kujeda ucapanku agar ibu dapat mengerti.

        "Bukankah dia sudah ditangani dokter yang tepat?" Aku mengangguk.

        Ibu benar, Sasti sudah dirawat dokter yang tepat, tetapi dokter saja tidak cukup. Sasti butuh cangkok sumsum, dan milikku yang cocok.

       "Sasti harus dioperasi Bu, dia butuh cangkok sumsum tulang belakang. Kebetulan, sumsum Ito yang cocok,"

       "Terus maksudmu, kamu mau jadi donor untuk Sasti?" Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Kenyataan itu yang ingin aku lakukan.

       Ibu diam memandangku dengan netranya. Aku tidak tahu apa yang beliau pikirkan. Tetapi dari tatapannya, aku bisa sedikit meraba perasaan perempuan yang membesarkanku sendirian itu. Kekuatiran.

        Kuraih tangan Ibu, kucium lalu kutaruh di dada. Ibu menggeleng pelan, butiran airmata mulai keluar dari sarangnya.

       "Ibu kenapa, Ito gak apa-apa Bu. Ini hanya..."

       "Nang, Ibu hanya ingin kamu bahagia,"

       "Ito bahagia Bu, di sini bersama keluarga besar kita. Rasanya Ito akan lebih bahagia lagi, kalau Sasti bisa sembuh dan berkumpul bersama kita," jelasku yang membuat airmata ibu semakin deras mengalir.

        "Tetapi tidak dengan mengorbankan dirimu, Nang. Bapakmu bahkan belum melakukan apa -apa untukmu," ujarnya lirih. Emosi melihat di wajah sendunya.

        Aku terkejut ibu mengucapkan kata-kata itu. Ternyata ibu menyimpan sakitnya sendiri, senyum yang diberikan buat kami selama beberapa minggu ini hanya untuk menutupi lukanya.

Namaku DaitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang