Pulang

2.7K 115 16
                                    

       Sampai ibu pulang ke rumah, eyang tidak lagi menyinggung tentang kehidupan kami selama ini. Eyang seperti berusaha menjaga perasaan putrinya, menebus kesalahan yang pernah dilakukannya 22 tahun lalu.

        Guncangan yang ibu alami setelah bertemu bapak, membawanya ke rumah sakit yang akhirnya mempertemukan kami dalam emosi tidak terkatakan. Banyak cerita yang pasti ingin eyang tahu tentang putrinya, sementara harus ditahan dalam-dalam agar tidak membuat ibu kembali lemah.

        Malam itu, setelah ibu tertidur aku mengajak eyang bicara dan meminta beliau  untuk tidak menyinggung hal itu sampai ibu benar-benar sehat. Bersyukur eyang mau mengerti, dan menepati janjinya sampai hari ini.

        Bapak juga lebih banyak diam, hanya overprotektifnya semakin terlihat. Hampir setiap hari bapak datang menemani ibu, alasannya membantu memulihkan kesehatannya. Ayah dagingku itu tidak pernah menyadari bahwa kehadirannya hanya akan menyakiti hati ibu. Melihat ibu diam, aku pun mengabaikannya.

        Satu minggu sejak kepulangan ibu di rumah mewah berbahan kayu jati itu, ibu sudah terlihat jauh lebih baik. Saudara-saudara kandungnya menerima ibu dengan baik. Bisik-bisik miring  pernah kudengar keluar dari mulut ipar-ipar perempuannya, istri paklik Seno dan Projo adik-adik seayah dari istri kedua eyang.

       Ternyata ibu anak tunggal eyang putri kandungku, bapak 3 bersaudara kandung, kedua adiknya tinggal di Jakarta. Sedangkan istri kedua mempunyai dua anak paklik Seno dan Projo yang hidupnya bergantung eyang. Wajar kalau mereka tidak suka ibu kembali pulang.

       Aku pura-pura tidak mendengar, toh aku tidak minta makan mereka. Meski eyang melarang, aku masih tetap bekerja di bengkel. Apa salahnya jadi teknisi, yang penting halal. Aku bangga dengan pekerjaanku.

        Beberapa sepupu diam-diam nyinyir  mempertanyakan siapa bapakku. Lagi-lagi aku tidak peduli. Mbak Denta menerimaku dengan tangan terbuka, begitu eyang menyebutkan siapa aku dan ibu, perempuan cantik yang sudah kukenal empat bulan itu memelukku erat.

        "Mbak sudah menunggu ini empat bulan lalu," bisiknya lirih. Ternyata benar dugaanku, mbak Denta sudah tahu hubungan kami. Tahukah dia kalau kami saudara seayah juga?

       "Kenapa tidak bilang kalau mbak sudah tahu?"

       "Kamu juga diam saja, mbak pengin tahu sejauh mana usahamu mempertemukan bulik Laksmi dengan eyang," jawabnya yang membuatku bengong.

         "Sejak kapan Mbak?" Saudara perempuanku itu hanya tersenyum mencurigakan.

        Aku sudah mencurigai saudaraku itu sejak kedekatanku dengan Sasti. Dia seperti sengaja mendorongku untuk menjaga dan melindungi adik perempuan kami.

         Selain mbak Denta, ada mas Radya putra sulung paklik Projo yang bersikap lebih dewasa. Laki-laki yang bekerja sabagai jaksa muda di kejaksaan negeri Solo itu, beberapa kali mengajakku ngobrol tentang kehidupan kami. 

       Sejauh ini Sasti belum tahu keadaan kami, aku masih datang ke rumah sakit sebagai mas Ito yang selalu dirindukannya. Mas Ito yang akan selalu menjaga dan menyayanginya.

        "Mas," sebuah tangan kurus menguncang kepalaku yang tertelungkup di atas bed tidurnya. Aku terbangun, senyum cerah menghiasi wajah pucat gadis kecilku. 

       "Kamu sudah bangun?"

       "Mas Ito capek ya?" Tanyanya lemah.

       "Gak, hanya sedikit mengantuk," jawabku tersenyum.

        Mataku memang mengantuk sekali, sudah lima hari ini aku menginap di rumah sakit menjaganya. Sesekali ditemani mbak Denta, ibunya, atau bapak. Kehadiran mereka penting untuk menjaga kenormalan sikap kami, lebih-lebih Sasti. Malam ini aku sendirian, mbak Denta masih ada meeting dengan suplier.

        "Ibu gak papa Mas tidur di sini terus?"

       "Ya, gak apa-apa. Malah ibu yang minta, biar kamu cepet pulih," Kukecup keningnya lembut.

        Sasti mengerjap manja, ekspresi yang kurindukan. Saat tubuhnya masih sehat,  bergelayut manja padaku yang ujungnya mematikan nalarku.  Kusentuh bibir pucatnya dengan jemari tanganku, bibir itu bergetar. Seperti ingin bersuara tetapi tidak ada satu pun kata mengalir dari sana. Butiran bening mengalir di mata sipitnya, kuhapus perlahan dan kukecup mesra.

       Entah kemana perginya nalar itu, sekarang aku yang memberinya kemesraan. Kugenggam tangannya didadaku.

        "Sas, kamu harus sembuh. Biar kita bisa bersama," senyum kembali mengembang  dibibir pucatnya. Semburat merah menjalar di wajahnya. Hasratku tidak terkendali, ingin kumiliki gadis ini seutuhnya. Seperti bapak memiliki ibuku.

        Duh Gusti, kebodohan apalagi yang kubuat. Harapan apa yang kuberikan pada gadis kecil yang jelas-jelas mencintaiku. Cinta yang tidak mungkin bersatu.

         "Sasti sayang mas Ito," bisiknya lirih. Aku mengangguk mengerti. Tanpa diucapkan pun aku tahu perasaannya.

        "To, malam ini kamu istirahat saja di rumah?" Suara mbak Denta mengagetkan kami. Untung aku tidak jadi menyalurkan hasrat mencium bibir pucat di depanku.

        "Kenapa Mbak?" Tanyaku tidak mengerti.

        "Tubuhmu juga perlu istirahat. Jangan memaksakan diri," jawabnya tegas. Sasti mencebik mendengar jawaban kakaknya.

        "Gak apa-apa Mbak, aku...,"

        "Tidak usah membantah, aku dan bapak yang akan menjaga Sasti," kata mbak Denta galak.

       Entah kenapa tiba-tiba mbak Denta menjadi marah. Apakah dia melihatku mencium Sasti? Tanya itu terjawab saat bapak datang, mbak Denta langsung menarikku keluar.

        "Apa yang sudah kamu lakukan?" Mata yang biasanya lembut itu tajam menatapku.

        "Aku kenapa Mbak?" Tanyaku bingung. Kepikiran sih, dia marah karena aku berlaku mesra pada adik kami. Tapi...

        "To, kalian bersaudara. Jangan lakukan itu lagi," Benar tebakanku karena itu, pasti mbak Denta melihat keintiman kami tadi.

        "Mbak sudah tahu kita bersaudara lama sebelum ini. Tapi mbak Denta malah mendorongku untuk dekat dengan Sasti. Kenapa? Bukankah niat kita sama?" Tanyaku balik dengan nada naik.

        Mbak Denta tercekat, mungkin dia tidak menyangka aku akan membalik pertanyaannya. Niat kami memang sama, membahagiakan Sasti. Cara yang kami lakukan juga sama, kenapa sekarang dia marah?

        Beberapa saat lamanya mbak Denta terdiam, aku hanya memandangi wajah lelahnya. Kuhela napas panjang, tidak ada untungnya berdebat dengannya.

       "Maafkan Ito Mbak," Akhirnya aku mengalah, kuberanikan diri memeluk tubuh lelahnya. Mbak Denta balik memelukku, airmatanya mengalir membasahi wajah cantiknya.

       "Mbak, kita hadapi bareng ya?" Entah apa yang bisa kujanjikan padanya, mungkin ini jalan keluar paling baik.

       "Mbak, aku sudah konsultasi dengan dokter yang menangani Sasti," Mbak Denta langsung melepas pelukannya.

       "Maksudmu bagaimana?" Tanya mbak Denta penasaran.

       "Kita duduk dulu Mbak," Kubawa saudara tuaku itu duduk di bangku tidak jauh dari kami berdiri.

       "Gini, Ito sempat diskusi dengan dokter Edi yang merawat ibu. Lalu Ito dikenalkan dengan dokter yang menangani Sasti. Kemarin, Ito sudah cek semuanya dan hasilnya positif,"

       "Apa yang positif?"

      "Kondisiku dan sumsumku cocok dengam Sasti," mbak Denta melonjak bangun.

      "Serius To? Kamu mau jadi donor untuk Sasti?" Aku mengangguk mantap. Bagiku, tidak ada yang lebih penting daripada keluargaku. Sasti salah satunya.

                      ***
Satu persatu rahasia terbuka, semoga cepat selesai.
Melawan kesibukan muncullah Daito padahal lapak sebelah dah ngutang 3 part. Terus soal buat PAS 1, belum lagi tugas PKP. Numpuk kabeh... Gimana dong..
Wis lah, satu satu dijalani pasti kelar
Salam literasi

                     
        

       

Namaku DaitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang