Mereka

2.6K 87 2
                                    

Maafkan Author yang molor update.. entah kenapa minggu ini badan lungkrah semua. Ngantuk muluk, mungkin faktor U hahaha... yo wis baca aja, semoga suka.

Happy reading ya...
                  ****
Dari balik jendela aku bisa melihat mbak Denta, Sasti dan Ibu sedang mengobrol. Tidak salah lihatkah aku? Si manja santai bersandar di kursi panjang dengan mbak Denta duduk di dekat kakinya. Ibu menatap keduanya dengan senyum merekah, perempuan terhebat dalam hidupku itu terlihat sangat bahagia. Kerinduanmya terbayar dengan kehadiran dua keponakannya. Saking asyiknya, mereka bahkan tidak menyadari kehadiranku di balik jendela depan. Tidak juga mendengar suara motorku.

Sepertinya ada yang aneh. Mereka terlihat sangat santai, tidak canggung sama sekali. Ibu yang biasanya menutup diri, malam ini kulihat banyak tersenyum. Mbak Denta, apakah dia mengenali ibu?

Setelah beberapa waktu mengintip di balik jendela, kuketuk pintu pelan. Mereka menoleh serempak. Ibu berdiri membuka pintu setelah berpamitan pada keduanya.

"Ito, kamu sudah pulang Nang, ibu tidak mendengar suara motormu," sapa ibu menyambutku.

"Ibu sedang ada tamu?" Tanyaku mengabaikan basa-basi perempuan itu. Kucium punggung tangan ibu lalu melangkah masuk.

"Nak Denta dan Sasti menunggu kamu dari tadi," ibu mengiring langkahku masuk. Sasti yang tadi setengah tiduran langsung bangun begitu melihatku masuk.

"Semangat amat Dik?" Goda mbak Denta, membuat pipinya bersemu merah.

"Sudah lama Mbak?" Kujabat tangan kedua tamuku, mbak Denta memyambutnya hangat sedang Sasti tersipu malu. Tumben, biasanya langsung main peluk saja.

"Kamu temani mereka, ibu siapkan makan malam dulu," ujar ibu pamit ke belakang.

"Saya bantu bulik, biar mereka bicara berdua," mbak Denta berdiri dan mengikuti ibu ke belakang. Menggandeng tangan ibu dengan mesra. Aku mengamati interaksi mereka yang benar-benar aneh. Aku tidak salah dengarkan, mbak Denta memanggil ibu bulik? Sepertinya rahasia ibu sudah terbongkar. Kalau mbak Denta tahu, kenapa dia sengaja mendekatkanku dengan Sasti. Bukankan kami tidak mungkin bersama?

Pelukan manja Sasti membuyarkan lamunanku. Gadis itu berdiri tepat didepanku, aroma wangi menguar membuatku terpedaya.

"Sas, jangan begini. Ada ibu dan mbak Denta. Apa kata mereka nanti," bisikku berusaha mengurai pelukannya.

"Memang kenapa? Mereka tahu aku suka mas Ito," jawabnya nakal. Gadis itu mendongak, membuat bibir merahnya menggoda untuk dicium. Aku menelan ludah, sensasi aneh menjalar liar dari hati. Ingin kukecup bibir itu, memuaskan hasrat yang mendesak. Sepertinya Sasti merasakan debar jantungku yang kian tidak beraturan, pelukannya semakin dipererat dengan senyum menantang. Aku tidak mau beresiko, dengan cepat kukecup keningnya dan melepaskan diri dari pelukan gadis bandel itu. Berhasil, aku segera duduk menghindari kemungkinan buruk yang akan dilakukannya. Sasti cemberut, sesaat kemudian ikut duduk di kursi panjang tempatnya bersandar tadi.

"Kenapa sih Mas, apa susahnya coba," omelnya tidak jelas.

"Apanya yang susah?" Aku bertanya tidak mengerti. Bibir seksinya mencebik. Sial, kenapa suka banget memancing.

"Gak bisa ya cium yang ini," tangannya menunjuk bibir merah itu. Aku menggeleng, edan benar anak ini.

"Mas sudah ingatkan ya, jangan begitu sama laki-laki lain. Bisa habis kamu," omelku hilang akal.

"Sasti rela habis sama Mas,"

"Sasti, kamu...."

"Kenapa, To?" Tanya mbak Denta menghentikan gejolak rasa dalam hati. Sebagai laki-laki aku sangat paham keinginan Sasti. Tapi, haruskah sefrontal itu? Bagaimana kalau dia melakukannya di depan laki-laki lain yang haus akan dirinya?

"Ini Mbak, bandel banget," sahutku asal.

"Siapa bandel? Mas yang gak mau ngerti!" Sahutnya ngeyel, dengan mata menantang. Aku yang masih menatapnya hanya bisa menghela napas panjang. Kamu terlalu mempesona untuk dilewatkan Sas, jangan rusak dirimu sendiri.

"Dik, katanya kangen sama Ito. Setelah ketemu malah berantem?" Mbak Denta mengelus rambut adiknya lembut.

"Habis mas Ito menjengkelkan,"

"Kalau menjengkelkan ngapain dicari," desahku dalam hati. Mbak Denta malah tersenyum, matanya menatapku seolah bertanya Sasti minta apa? Aku menggeleng malas. Gak mungkin menjawab adik sembronoku itu minta dicium, dan gilanya lagi aku ingin menuruti keinginannya. Hasrat laki-lakiku sering tak tertahan menerima serangan bertubi-tubi.

"Sabar ya, dia memang manja," kata mbak Denta meminta kesabaranku, lalu kembali meninggalkan kami. Aku hanya tersenyum kecut. Mau sabar bagaimana lagi, kalau akal sehat terkalahkan oleh napsu. Aku tidak mau incess terulang lagi dalam garis keluarga kami. Beruntung aku terlahir normal tanpa cacat mental atau pun fisik. Anak yang lahir dari hubungan inces, 40 % mempunyai peluang untuk mengalami kelainan. Bagaimana itu bisa terjadi? Saudara kandung atau sepupu, bisa jadi membawa sifat genetik (carrier) yang tidak diharapkan. Sifat itu memang tidak muncul pada mereka, terapi bisa jadi sifat itu akan diturunkan padanya. Aku jelas tidak mau itu terjadi.

Sasti masih cemberut dikursinya. Jujur aku tidak tega, membuatnya bersedih. Sasti tidak tahu siapa aku, dia hanya ingin dicintai. Haruskah aku mengabulkan keinginannya, setidaknya sampai dia sembuh? Aku ingin memeluk tubuh ringkih itu, mendekapnya erat dan memberinya kehangatan. Memberinya semangat untuk berjuang melawan penyakitnya. Logika perlahan menghilang berganti rasa sayang yang salah tempat.

Aku bergerak, mata lentiknya mengikuti gerakanku. Mungkin dia kuatir aku pergi meninggalkannya lagi. Dengan kesadaran penuh, kugeser tubuhku duduk disampingnya. Memeluk tubuh mungilnya masuk dalam dekapanku. Sasti terdiam, menyembunyikan wajahnya didadaku.

"Mas sayang kamu Sas, tapi mas mohon. Jangan seperti ini, kamu tidak boleh melakukan hal bodoh seperti tadi. Mas tidak mau menyakitimu," bisikku bergetar. Nalarku semakin mati, perlahan kukecup puncak kepalanya. Kebisuan melingkupi kami, Sasti memeluk pinggangku erat.

"Sudah ya, gak enak kalau ada yang lihat. Jangan menangis, entar jelek lho," kuurai pelukannya. Kali ini dia menurut, bola matanya menatapku tak berkedip. Senyum manis merekah menghiasi bibirnya.

"Mas, sayang Sasti?" Aku mengangguk mantap. Aku memang menyayanginya, dia adikku. Saudara yang selama ini aku inginkan.

"Nah gitu dong akur, kan enak dilihat," sela mbak Denta tiba-tiba masuk. Aku tidak yakin, saudara tuaku itu tidak melihat apa yang kami lakukan. Aku tidak peduli dengan apa yang dipikirkannya. Bagiku kesehatan Sasti lebih penting.

"Makan yuk, aroma masakan ibu membuat mbak lapar. Gagal deh diet malam ini," serunya heboh. Kehebohan yang tetlihat basa-basi, hanya untuk menutupi gelisahnya.

Aku berdiri, diikuti Sasti yang bergelayut manja. Mbak Denta hanya geleng-geleng kepala meihat kelakuan adiknya. Sementara ibu menatap kami tajam. Tatapan yang belum pernah aku terima bahkan ketika aku melakukan kesalahan. Aku paham kemarahan ibu, Sasti.

"Ayo semua duduk, kita makan seadaannya. Kamu belum ganti baju, Nang?"

"Ito ganti dulu sebentar ya Mbak," aku pamit tidak enak hati.

"Tidak usah, semua sudah menunggu," ibu melarang tegas.

       Jadi serba salah. Banyak sekali kesalahan yang kulakukan malam ini. Berganti baju setelah bepergian adalah kewajiban dalam keluarga ini. Di luar banyak kotoran, jangan lupa membersihkan diri, demikian pesan ibu dari aku masih kecil. Tadi aku memang sengaja tidak ganti baju, karena takut Sasti menyusul masuk kamar. Bisa bahaya kalau dia lakukan itu. Ibu bisa semakin marah.

             ****

Namaku DaitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang