Waktu itu

3.1K 113 31
                                    

Plumbon, Tawangmangu, 20 April 1997

       Hari masih terang ketika Nala dan Bara tiba di basecamp tempat mereka KKN di desa Plumbon Tawangmangu. Nala turun dari boncengan Bara, mereka baru pulang dari Grojogan Sewu.

       "Nala, ada mas mu menunggu di dalam," Asri tergopoh-gopoh menyambut Nala.

        "Mas Tito?" Asri mengangguk. Di depan teman-teman kampusnya Nala (Laksmi) memanggil Tito dengan mas, bukan kangmas.

        Nala segera berlari masuk menemui saudaranya. Baru sebulan Nala KKN di desa itu, Tito kakak sulungnya sudah sepuluh kali datang. Ada saja alasannya untuk menemui adik kesayangannya itu. Tentu saja Nala tidak keberatan Tito melakukan itu, biasanya laki-laki itu akan membawa makanan kesukaannya.

         "Mas Tito, sudah lama?" Nala langsung menghambur ke dalam pelukan sang kakak. Biasanya Tito akan mencium keningnya dan mengelus rambut panjangnya. Tetapi kali ini tidak, Tito hanya diam menatap adiknya tajam.

        Bara yang baru masuk terpaku di depan pintu, gadis yang baru saja jalan dengannya kini duduk bergelayut mesra pada laki-laki yang dia tahu sebagai kakaknya. Bara mendekat bermaksud menyapa.

        "Selamat sore Mas," Tito hanya menatap laki-laki muda di depan sekilas, tatapannya kembali tajam ke arah Nala.

        "Kalian di sini mau KKN atau pacaran?" Tanyanya sinis.

        "Siapa yang pacaran, Laksmi eh Nala hanya jalan-jalan. Iya kan Bara?" Bara mengangguk.

        "Jalan-jalan? Cuma berdua?" Tatapan tajamnya beralih ke arah Bara yang masih berdiri di dekat mereka. Laki-laki muda itu membalas tatapan Tito, meski tahu siapa yang dihadapinya tetapi Bara tidak mau diintimidasi.

         "Kamu tahu siapa Nala?" Tanyanya dingin dengan penekanan yang sangat dalam. Bara cukup tersinggung dengan pertanyaan Tito, senyum sinis tersungging di bibirnya. Sepertinya laki-laki itu yang tidak tahu siapa dirinya, Barata Samudra putra tunggal pemilik Samudra Jaya Kontruksi. Sebuah perusahaan besar dibidang kontruksi di Jakarta.

        "Saya tahu," jawabnya mantap.

        "Kalau kamu tahu, jauhi Nala," perintah Tito arogan.

        "Kangmas, kok gitu. Apa salahnya kami berteman?" protes Nala. Gadis itu tidak suka sikap overprotektif kakaknya.

        "Berteman? Begitu cara kamu berteman dengan laki-laki? Jalan berdua, berboncengan dengan tangan memegang perut laki-laki itu erar! Apa saja yang kalian lakukan di sana?" Tito semakin marah mendengar bantahan adiknya. Selama ini, Nala selalu menurut padanya.

         "Ngapain ke Grojogan Sewu lagi, kalau ada apa-apa siapa yang akan membantu? Siapa yang akan menjaga kamu?" Kata Tito marah.

         "Ada Bara Mas, dia pasti..."

         "Pasti apa, jagai kamu! Emang dia bisa menjagamu seperti Mas? Dengar, tidak ada yang boleh membawamu ke mana pun tanpa sepengetahuanku!" Tekannya posesif.

          Nala cemberut, tetapi diam-diam gadis itu tersenyum bahagia. Tito selalu melindunginya, gadis cantik berambut panjang itu menatap sang kakak dengan tatapan memuja. Mungkin pipinya memerah karena bahagia.

         Sebaliknya Bara mengeram dalam hati. Tangannya terkepal menahan marah. Harga dirinya sebagai laki-laki terkoyak. Diam-diam, Bara menyukai Nala putri bangsawan yang cantik, supel dan baik hati itu.

          Keinginan untuk memiliki gadis itu hampir saja terwujud. Hari ini, Nala menerima ajakannya untuk jalan-jalan hanya berdua saja.

         Sepanjang hari, mereka menikmati keindahan air terjun bersama banyak pasangan lainnya. Berjalan bergandengan tangan layaknya sepasang kekasih. Nala tidak menolak uluran tangannya, bahkan gadis itu bersandar mesra dibahunya.

         "Dengar, kalau kamu tidak menurut besok mas pastikan kamu akan ditarik dari desa ini. Kembali ke rumah, tidak perlu KKN," desis Tito membuat Nala ketakutan.

         "Jangan Mas, Nala mau menyelesaikan tugas ini," Nala mengiba di depan sang kakak. Airmata mulai membasahi pipi merah sang gadis. 

        Bara semakin marah melihat gadis yang disukainya ketakutan. Ingin rasanya memeluk dan memberikan kedamaian pada gadis itu. Tetapi akal sehatnya melarang,  Bara tidak mau Tito akan semakin marah. Laki-laki muda itu menghela napas panjang, tangannya terkepal semakin kuat.

                     ***

Hey... apa kabar pembaca budiman.
Hahaha maafken lama tidak bisa menyapa. Author sungguh kepayahan membagi waktu antara pekerjaan, tugas negara dan keinginan menulis. Bahkan tugas cerita di lapak sebelah yang harusnya selesai tanggal 30 November 2019 lalu tidak terpegang.
Author menyerah kalah, padahal tinggal 4 part lagi. Gak dapat hadiah deh..
Segini dulu ya... semoga bisa cepat melanjutkan lagi.

Salam

Namaku DaitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang