Senja

3.3K 103 5
                                    

Kampus Universitas Sebelas Maret tempat Sasti kuliah tampak ramai. Lha yo pasti ramai, namanya juga kampus banyak mahasiswa kuliah di sana. Seharusnya aku juga kuliah, cita-citaku masih aku tunda sampai tugasku selesai.

"Mbak maaf numpang tanya, fakultas kedokteran sebelah mana ya?" Tanyaku ramah pada gerombolan mahasiswi yang sedang mengobrol. Mereka menoleh, menatapku dengan pandangan yang tidak kupahami.

"Fakultas kedokteran? Mas nya lurus, ada kantin belok kanan. Entar tanya aja lagi kalau sudah sampai sana," jawab seorang gadis berhijab biru muda ramah. Temannya menyenggol gadis itu, yang disenggol cuek saja. Dua gadis lain berbisik di belakang gadis berhijab itu.

"Terima kasih ya mbak. Saya permisi," Kulempar sebuah senyuman sebelum meninggalkan gadis-gadis yang asyik berbisik.

"Lha kok pergi," celetuk seseorang.

"Hus, malu-maluin Tan!" Masih bisa kutangkap bisik-bisik usil mereka sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu.

Belok kanan terus ke kiri dua kali, Aku menemukan fakultas yang kucari. Gawai di kantong celanaku bergetar, Sasti calling.

"Di mana Mas?" Suara diseberang sambungan terdengar merdu. Dia panggil aku Mas? Gak mungkin dia tahu aku kakaknya kan? Edan, hatiku berdebar tak beraturan. Benar kata Ibu, aku tidak boleh bermain api.

"Eh saya di parkiran, Mbak Sasti di mana?" Tanyaku balik.

"Tunggu di situ aja Mas, cari mobil Yaris Hitam no AB 1245 JA, parkirnya di bawah pohon kamboja. Aku ke situ sekarang," Ampun ini cewek, aku malah disuruh mencari mobil temannya segala. Bener-bener deh.. untung adikku! Segera kutelusuri tempat parkir yang lumayan luas itu. Tidak lama, aku berhasil menemukan mobil dengan dua gadis berdiri didekatnya, Sasti dan...

"Mas, kenalkan ini Senja teman kuliahku," katanya manja. Matanya berkedip kearahku, entah apa maksudnya. Tanganku ditarik untuk bersalaman dengan temannya.

"Halo mbak Senja, saya Ito," Kujabat tangan Senja yang tersenyum manis.

"Kok mbak sih, panggil saja Senja," kilah Sasti genit. Beneran aku gak ngerti apa yang terjadi pada gadis cantik di depanku. Tingkahnya aneh banget, habis makan apa sih! Memanggilku mas dan nadanya, manja banget. Apa yang mau dia tunjukan dihadapan Senja temannya. Ya Tuhan, jangan sampai terjadi apa yang Ibu takutkan.

"Mobilnya kenapa? Coba saya lihat, minta tolong dibuka kap depan ya," Kataku mengakhiri basa-basi tidak jelas ini. Senja masuk ke dalam mobil melakukan yang kuminta. Hanya sebentar nyecek ketemu sebab mogoknya mobil mahal tak terawat itu.

"Coba dihidupkan, bisa gak?" Kataku memberi kode kepada gadis manis berlesung pipit di belakang kemudi. Sempat-sempatnya ya, melihat lesung pipit Senja? Mobil berhasil dinyalakan, Senja tersenyum puas.

"Kok cepat, apanya yang bermasalah?" Sasti mendekatiku dengan senyum manisnya.

"Businya kotor," sahutku singkat. Senja keluar, wajah senyumnya membuat jantungku berdebar.

"Terima kasih, Mas Ito," Tangannya terulur mengajak bersalaman, tapi kutolak dengan menunjukkan tangan kotor.

"Maaf, jadi membuat tangan Mas kotor," Gadis itu terlihat tidak enak hati.

"Gak apa apa mbak, sudah biasa. Namanya juga orang bengkel," Senja menatap Sasti bingung, yang dipandang mengangkat bahu cuek. Dilembar tisu basah diulurkan padaku. Sasti, ada apa denganmu?

"Sekali lagi terima kasih ya Mas. Maaf, berapa Mas?" Tanyanya ragu-ragu. Aku cukup terkejut dengan pertanyaannya, meski sebenarnya wajar dia bertanya.

"Gak usah Mbak, saya tidak ngapa-ngapain tadi." Jawabku sopan.

"Jadi gak enak." Gadis cantik itu tersipu malu.

"Dibuat enak aja, bener kan mas Ito baik," Lagi-lagi Sasti membuatku terkejut, tanpa malu gadis mungil itu memegang tanganku dengan gerakan cepat. Seperti takut aku diambil orang. Memang ada yang mau.

"Yo wis kalau gitu, terima kasih banget. Saya pamit ya," Senja membungkuk sopan.

"Jangan lupa dibawa ke bengkel ya Mbak, takut ngadat lagi. Sudah waktunya servis itu," Senja mengangguk, tak lupa sambil tersenyum manis.

"Pulang bareng kan, Sas?"

"Gak, aku sama mas Ito aja," jawab Sasti santai. Maksudnya apa ini? Pulang bareng, kan gak bawa helm? Aku mau protes, tapi si nona besar menatapku dengan mata memohon. Tanpa bicara aku mengikuti saja permintaan tidak wajarnya. Kuhela napas panjang, sepertinya rencanaku berantakan.

Setelah berpamitan, Senja membawa mobilnya menjauh dari kami. Aku masih diam, bingung mau ngapain. Bingung dengan kelakuan gadis aneh disebelahku.

"Yuk, pulang," Dengan santai Sasti menarik tanganku, berjalan ke arah tempat parkir motorku.

"Mbak, saya gak bawa helm," kataku mengingatkan.

"Gampang, nanti beli di jalan," sahutnya santai sambil tetap menggandeng tanganku. Aku tidak mungkin menolak, dihadapan banyak pasang mata yang sedang menatap kami. Aku tidak mau menjadi bahan tontonan mereka, dan tidak mau mempermalukan adikku sendiri. Terpaksa aku mengalah, membawanya keluar dari kampus itu, dengan tangan memeluk erat pinggang dan kepala bersandar dipunggungku. Sasti, apa yang kamu lakukan adikku?

***
Sikap manja Sasti siang tadi mengganggu pikiranku. Aku senang menerimanya tapi dia adikku? Bagaimana mungkin, aku membalas sikapnya? Apakah ini karma? Tidak, aku harus bersikap lebih hati-hati dengannya.

Ibu lebih banyak diam malam ini. Sepertinya, beliau marah aku mengikuti kemauan Sasti siang tadi. Untuk tidak menambah pikirannya, aku merahasiakan sikap aneh adikku itu. Ibu juga tidak bertanya apa-apa, sampai makan malam selesai. Kemudia, Ibu langsung pamit masuk kamar. Katanya mau istirahat lebih cepat, aku hanya mengiyakan dan ikut masuk kamar. Aku juga lelah, ingin tidur.

Ting, satu notifikasi masuk. Kuabaikan tanda itu, aku malas membukanya. Beberapa menit kemudian, notifikasi beruntun masuk. Siapa sih, yang mengganggu istirahatku? Dengan malas, kuraih gawai yang tadi tergeletak di nakas. Kubuka pesan-pesan itu, Sasti.

"Mas, sudah tidur belum?"

"Mas, tidur ya?"

"Mas, aku pingin ngobrol,"

"Sudah tidur beneran ya?" Kuhela napas panjang, tanpa berniat menjawab pesan itu, kuletakkan gawai kembali ditempatnya. Akibatnya bisa diduga, notifikasi kembali masuk terus menerus. Kali ini kuabaikan saja. Tidak mau menyerah, suara panggilan masuk terdengar. Lagi-lagi, kuabaikan panggilan itu. Aku sedang tidak ingin ngobrol dengannya, hari ini cukup sampai disini.

****

Namaku DaitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang