エピローグ : Epilog

116 2 0
                                    

--0O0--

Gue melepaskan pelukan Ryu, lantas menatapnya tajam, "Jadi, lo kemana aja selama ini? Setahun lebih, gue nunggu lo. Kurang setia apa lagi gue."

Ryu nyengir, membuat gigi-giginya yang berjejer rapi terlihat, "masih kangen," rajuknya lantas kembali mendekap gue.

Gue memberontak sekuat tenaga, tapi nggak berguna. Malahan, gue yang makin tenggelem ke pelukan Ryu. Gue menghembuskan nafas, pasrah. "Gue ke Singapura," ucap Ryu. "Dokternya Rein, tiba-tiba nelpon, kalau disana ada dokter ahli saraf yang bisa nyembuhin kaki Rein. Jadi, gue se-keluarga langsung berangkat di hari itu juga," jelas Ryu.

"Trus, kenapa lo nggak bilang ke gue?" Tak sadar, nada suara gue melengking tinggi, membuat Ryu gelagapan.

"Please, don't be mad, baby..." bujuknya.

"Don't baby me!" sentak gue.

"Handphone gue hilang. Trus, gue lupa nomor telpon lo. Gue bingung mau ngontak lo gimana. Medsos lo nggak punya. Jadi, gimana bisa gue pamit ke lo."

Iya, ya. Tapi tetep aja.

"Kalau gitu, gimana caranya lo bisa ada disini? Lo... Bukan siswa disini lagi. Jadi, lo dapet undangan darimana?"

Ryu tertawa, "Dari Bu Dona."

"Bu Dona? Are you serious?" gue kaget. Ternyata, Bu Dona melihara Ryu sebagai berondong. Wkwkwk.

"Yep. Beliau ngundang gue langsung via dm instagram. Katanya, kalau nggak mau Fey diembat Dion, buruan pulang," Ryu berkata dengan nada yang dibuat semirip mungkin dengan Bu Dona, "dan jelas, gue langsung pesan tiket paling awal ke Jakarta. Gila aja, The one and only, Fey, mau diembat. Gue aja, mesti nunggu setahun, baru bisa sukses," terangnya menggebu.

Gue mencubit lengannya gemas, "Gue bukan barang yang bisa diembat."

"Iya, Fey gue emang nggak bisa diembat. Tapi, disayang. Oleh gue. Bukan si Doni-doni itu."

"Dion! Bukan Doni," gue meralat.

"Ya itu! Lo cuma milik gue. My best friend. My best enemy, and my soulmate."

Gue tertawa mendengar gombalannya. Sangat Ryu sekali.

"Jadi, my enemy, would you be my partner in crime?"

Sekali lagi, gue terkekeh, "Yes, I will." Gue meraih tangannya yang terjulur pada gue.

Semenjak mengenal Ryu, gue selalu bertanya pada diri gue sendiri, "Bener nggak sih, antara benci dan cinta itu beda tipis?" Karena gue selalu mensugesti diri gue; gue benci dia. Gue nggak suka sama dia. Tapi semakin kesini, gue jadi sadar, sebesar apapun gue benci sama dia, dia tetep selalu ada buat gue. Nemenin gue. Support gue. Dan mungkin karena itu juga, gue jadi sayang bahkan cinta sama dia.

Sama Ryu. My Best Enemy.

--0O0--

Her Theory : Best Enemy [Saikō no Teki
] ✔✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang