prolog

2.4K 337 34
                                    

"Terkadang, gue pikir gue dikutuk. Mata gue, terutama."
Raka Angkasa, Diary of the Cursed Eyes.

***

Minggu, 2014.
Untuk siapapun yang membaca buku harian terkutuk Raka hari ini,

Hai. Gue Raka.
Banyak orang yang mengira nggak ada hal menarik yang bisa ditulis tentang masa-masa SMP kayak gue begini.

Bukan gue. Karena di sini, gue nggak mau cerita tentang cinta monyet yang nggak penting. Bukan juga tentang satu-satunya sahabat gue, Leony, yang jelas-jelas bukan kisah tentang, "Gue suka dia tapi dia nggak peka."

Ini soal mata gue yang terkutuk.

Bukan liat hantu. Kayaknya itu lebih mending, karena di beberapa film hantu bisa diajak kompromi. Tapi kutukan gue nggak bisa ajak kompromi siapapun.

Gue dikutuk untuk melihat pembunuhan setiap hari Minggu.

Akhir pekan gue diisi dengan melihat orang-orang mati di depan mata gue sendiri. Pasti yang terpikir adalah, "Raka pasti psikologinya udah keganggu." Ya, memang begitu kayaknya.

Kutukan itu ada dari gue lahir. Mengingat kata Mama, di depan ruang persalinan gue waktu itu ada penembakan. Gue nggak nangis waktu lahir, dan yang bikin gue akhirnya nangis itu suara tembakan.

Leony yang menyadarkan gue waktu kita kelas tiga SD, "Kayaknya, kamu dikutuk."

Nggak ada yang salah dari kata-kata dia. Dia akhirnya nyuruh gue nulis buku harian ini.

"Biar kamu nggak nanggung beban kutukan kamu sendirian," katanya.

Tapi, ini nggak lagi gue tulis untuk melampiaskan beban kutukan gue yang membuat gue kehilangan kepercayaan akan takdir baik.

Ini ditulis untuk Leony,
yang berkata bahwa menerima takdir akan membuat segalanya lebih baik, kemudian pergi.

Ini juga untuk dia, Naela,
satu-satunya pertanda, bahwa pandangan dan takdir gue yang berbeda bukan lah sesuatu yang sebegitu buruknya.

Diary of the Cursed Eyes | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang